Malam ini terasa dingin, bahkan di tempatku berdiri, udaranya malah semakin terasa dingin. Sekarang aku berdiri di atas sebuah bangunan kosong yang bersebelahan dengan kantor kepolisian. Aku melihat ke bawah dan tampak dua orang yang sedang berbicara. Aku mengenal salah satu dari orang tersebut, dia adalah Kolonel Sasagi Darius. Sementara untuk orang yang satunya lagi, aku tidak mengenalnya. Setelah beberapa saat, tiba-tiba muncul angin es yang meliputi orang tersebut. Kolonel Darius langsung mengeluarkan pistolnya dan menembak orang tersebut. Namun, pelurunya langsung ditangkis oleh angin es orang tersebut.
Melihat situasi yang semakin memburuk, aku langsung mengeluarkan salah satu pisau dari sarung pisauku lalu melemparkannya ke bawah. Rupanya hal ini langsung mengalihkan perhatian mereka. Aku langsung berteleportasi ke bawah dan mengambil pisauku yang menancap di jalan. Setelah itu, aku mengambil satu pisau lagi dari sarung pisauku yang lain.
“Untunglah, aku datang tepat pada waktunya,” ucapku sambil memasang kuda-kuda. “Kau baik-baik saja, Kolonel?” “Tentu saja,” kata Kolonel sambil masih mengarahkan pistolnya. “Pertarungan ini belum selesai.”
Setelah itu, angin es yang meliputi orang tersebut mulai menghilang. Dia mengeluarkan katana-nya yang muncul dari pusaran air. Sepertinya dia pengguna artefak zodiak sepertiku, pikirku. Tanpa mengurangi kewaspadaanku, aku maju menyerangnya. Dia langsung menahan seranganku. Kolonel membantuku dengan menembakkan pistolnya. Namun, pelurunya ditangkis kembali oleh angin esnya.
Aku terus menyerangnya dengan sekuat tenaga. Aku bahkan menggunakan jurus kombinasi dengan kekuatanku. Namun, dia bisa menangkis dan menahan semua seranganku dengan baik. Aku mundur untuk mengambil napas. Hal ini dijadikan kesempatan olehnya untuk maju dan menyerangku. Aku berusaha menahan katana-nya dengan kedua pisauku. Wah, cepatnya! Kuat lagi! Gua harus bisa nahan, pikirku.
“Kemampuan bertarungmu cukup memuaskanku. Siapa namamu?” kata orang itu. Aku masih menahan katana-nya. “Arnold. Arnold Yesman.” “Aku akan terus mengingatnya sampai kita bertemu lagi.”
Dia menarik katana-nya lalu menendangku. Aku terpental hingga jatuh dekat Kolonel. Setelah itu, dia mengeluarkan bola listrik dari tangan lalu melemparkannya ke arah kami. Aku langsung menyentuh Kolonel lalu berteleportasi ke dalam gedung kosong yang berada di sebelah kantor kepolisian. Dari dalam gedung, kami bisa melihat ledakan listrik yang dihasilkan oleh bola listrik tersebut.
“Kita tunggu sampai dia pergi,” kataku pada Kolonel.
Kami melihat keluar, ternyata orang itu sudah pergi. Tadinya, aku mau berteleportasi kembali ke rumahku. Namun, dia ingin berbicara denganku di mobil sambil mengantarku pulang. Akhirnya kami pun berjalan keluar dari gedung tersebut. Aku masuk terlebih dahulu ke dalam mobilnya sementara Kolonel memasukkan tas besar hitamnya terlebih dahulu ke dalam mobil sebelum akhirnya masuk ke kursi pengemudi.
“Mobil ini masih bisa jalan?” tanyaku ragu-ragu pada Kolonel. “Tenang aja,” katanya sambil menghidupkan mesin mobilnya. “Mobil ini masih bisa jalan.”
Dia menekan tombol start engine pada mobilnya dan akhirnya mesin mobilnya hidup. Setelah itu, kami pun melaju ke jalan utama. Sambil mengendarai mobil, dia berkata, “Jadi lu Arnold Yesman, anak dari pemilik perusahaan Yes Co.?” “Iya, betul.” “Lu adiknya Gydeon Yesman?” Aku terkejut mendengar hal itu. “Kolonel kenal kakakku?” “Ya, gua kenal kakak lu. Kami dulu sempat bermusuhan karena urusan cinta. Ngomong-ngomong, kita juga pernah bertemu.” “Apa? Aku tidak mengingatnya.” “Pastinya, lu masih kecil banget dan gua udah seumuran lu pas itu. Kita pernah bertemu pas acara pembukaan perusahaan paman gua. Keluarga lu pemberi modal terbanyak makanya diundang juga. Lu nempel banget sama ibu lu dan gua main sama kakak lu.” “Jadi kalian dari awal berteman? Kau dan kakakku?” “Ya, kami berteman dari dulu. Setelah permusuhan gua sama kakak lu, akhirnya kami berteman lagi.”
Akhirnya kami sampai di depan gerbang komplek kami. Kolonel membuka kaca mobilnya dan satpam yang menjaga pos mengijinkannya masuk. Kami berjalan melewati gerbang lalu sampai di depan rumahku.
“Terima kasih, Kolonel, sudah repot-repot mengantarkanku pulang,” ucapku sebelum keluar dari mobilnya. “Justru gua yang harus berterima kasih.” Dia mengulurkan tangannya. “Semoga kita bisa bertemu lagi.” Aku menjabat tangannya. “Ya, semoga kita bertemu lagi.”
Setelah itu, aku keluar dari mobilnya. Aku bisa melihat mobil Kolonel berputar arah lalu keluar dari komplek rumahku menuju jalan utama. Aku berbalik dan berjalan menuju pagar rumahku. Pagar dibukakan dan empat pelayan rumahku langsung menyambutku.
“Selamat malam, Tuan.” Keempat pelayanku menyapaku. “Aku mau tidur dulu.” “Baik, Tuan.” Keempat pelayanku pergi meninggalkanku.
Aku masuk ke rumahku lalu naik tangga ke lantai tiga. Aku masuk ke kamarku, mengganti bajuku, lalu tidur. Keesokan harinya, aku bangun lebih siang dari hari sebelumnya karena hari ini adalah hari libur sekolah. Aku pergi ke lapangan basket untuk latihan beberapa teknik basket. Setelah berolahraga, aku beristirahat dan pergi ke mesin penjual minuman untuk membeli minuman. Saat mau membeli minuman, tiba-tiba HP-ku berdering. Aku menjawab panggilan telepon tersebut. Ternyata, yang meneleponku adalah teman masa kecilku.
“Ya, Gen, ada apa?” “Lagi ngapain?” “Biasa, basket.” “Mau bantuin gua ngga kerja–”
Tiba-tiba terdengar suara gangguan dari HP-ku. Tak lama setelah itu, terdengar suara pria dari HP-ku. “Halo, Arnold.” “Siapa ini?” “Masa lupa sih? Baru semalam kita ketemuan.” “Oh, Kolonel. Iya, ada apa? Kok bisa masuk panggilan ini?” “Ngga ada waktu buat ngejelasin. Gua nanti kasih titik di peta. Lu pergi ke tempat yang udah ditandai.”
Sebelum aku menanyakan beberapa hal, panggilan tadi sudah berubah menjadi normal kembali ketika aku berbicara dengan teman masa kecilku. “Halo? Halo, Arnold?” “Oh, ya. Sorry tadi ada gangguan. Ngomong apa lu barusan?” “Mau bantuin gua kerjain PR ngga?” “Gua ada urusan hari ini, maaf banget.” “Ya udah, ngga apa-apa.” Dia mengakhiri panggilannya.
Aku mengambil minumanku dari mesin penjual minuman lalu kembali ke lapangan untuk mengambil jaketku. Aku memasukkan bola basket ke keranjang penuh bola lalu menguncinya. Setelah itu, aku pulang ke rumah untuk ganti baju. Tak setelah itu, Kolonel mengirim peta kota ke HP-ku. Di dalam peta itu, terdapat satu tempat yang sudah ditandai. Aku zoom peta tersebut. Setelah tahu tempat yang kutuju, aku bersiap-siap lalu berteleportasi ke tempat tersebut. Tempat yang kutuju adalah sebuah gang di antara dua gedung. Ternyata, Kolonel sudah menungguku di situ.
“Akhirnya lu datang juga,” kata Kolonel. “Ada perlu apa, Kolonel?” “Gua perlu bantuan lu lagi. Ikut gua.” Dia membuka pintu di salah gedung tersebut.
Aku mengikuti Kolonel masuk. Di dalam gedung, terdapat sebuah counter yang dibatasi besi. Kolonel pergi ke sana dan disuruh untuk mengeluarkan pistolnya untuk diperiksa, sedangkan aku disuruh pergi ke penjaga gedung yang berada tak jauh dari counter untuk diperiksa badannya. Penjaga sempat bertanya mengenai kedua pisauku. Untung saja, Kolonel memberikan izin supaya aku lewat. Akhirnya aku melewati mesin pemindai tubuh sebelum aku masuk lift bersama Kolonel.
Lift ini dilengkapi dengan pemidai sidik jari di setiap tombol lantainya supaya tidak sembarangan orang bisa menggunakan lift tersebut. Kami naik ke lantai 6 gedung tersebut. Sesampainya di atas, kami masuk ke dalam ruang rapat. Di dalam ruang rapat, terdapat meja besar dengan kursi-kursi mengelilinginya. Di sana, sudah ada dua orang. Aku terkejut melihat mereka berdua, satunya guru biologi di sekolahku dan satunya lagi adalah kenalanku sejak SMP.
“Linda mana, Sel?” tanya Kolonel ke guru biologiku. “Tunggu aja, palingan telat.”
Akhirnya kami menunggu kedatangan orang tersebut. Setelah beberapa lama, orang yang kami tunggu datang dengan satu orang bersamanya. Aku sangat terkejut melihat orang yang bersamanya itu. Dia adalah si The Chosen Star, Johannes Mulyadi.
Cerpen Karangan: A. Raymond S. Facebook: facebook.com/andreas.soewito
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 10 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com