Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat. Kamis, 24 November pukul 07.00 WIB.
Sebagai Kepala Penjaga Keluarga Presiden, aku harus memastikan keamanan keluarga presiden yang tinggal di sini. Seperti biasanya, aku berpatroli di sekitar istana. Ketika aku sampai di daerah taman istana, aku bertemu dengan putri presiden. Dia sedang merawat bunga-bunga bersama dengan tukang kebun istana. Dia berbalik lalu menyapaku.
“Pagi, Pak Taufik. Ada apa?” “Saya hanya mengecek keamanan di sini, Nona.” “Sudah kubilang, panggil saya Giana, Pak.” “Maafkan saya, Giana.”
Giana Tricipta, begitulah nama lengkapnya. Dia adalah anak kedua presiden. Saat ini, dia berusia 12 tahun dan bersekolah di SMP Adiwidya. SMP Adiwidya merupakan salah satu sekolah di Jawa Barat di mana para muridnya berasal dari orang tua yang berpengaruh atau berasal dari orang tua yang kaya.
“Kenapa kamu belum siap-siap?” “Sebentar lagi, Pak. Saya mau merawat bunga-bunga ini dulu.” “Jangan sampai telat, Giana. Ingat, kamu sekolah jam delapan.” “Baik, Pak.”
Sudah menjadi kebiasaan Giana setiap pagi untuk membantu tukang kebun istana merawat bunga-bunga ini. Bunga-bunga ini ditanam oleh ibunya. Sejak kecil, Giana memang menyukai bunga, terutama bunga-bunga ini. Semenjak itu, dia sering membantu tukang kebun istana untuk merawat bunga-bunga di istana.
Sesudah itu, aku masuk ke dalam sebuah kantor di dalam istana. Di dalamnya, presiden sedang duduk di meja kerjanya sembari menulis sebelum akhirnya dia menyambutku.
“Selamat pagi, Taufik. Silahkan masuk.” “Saya sudah melakukan patroli di sekitar sini, Pak Presiden. Di sini tidak ada yang mencurigakan.” “Aku percaya padamu.”
Tiba-tiba ada telepon masuk dan presiden mengangkatnya. “Halo.” Sesudah itu, dia memberikan teleponnya padaku. “Sepertinya anggotamu ingin berbicara.” Aku menerima telepon tersebut. “Ya, siapa ini?” “Inspektur Linda.” “Ada perlu apa, Linda?” “Aku hanya akan memberi saran pada Anda. Tingkatkan pengamanan di sekitar istana pada malam ini, terutama di daerah kamar putri presiden.” “Giana?” Aku terkejut mendengar hal ini. “Kenapa begitu?” “Kemungkinan besar, Giana akan diculik malam ini.” “Ada lagi yang mau disampaikan?” “Aku akan datang sebagai bantuan.” Setelah itu, dia menutup teleponnya.
Aku pun mengembalikan telepon itu ke tempatnya. Presiden sempat menanyakan apa yang disampaikan oleh Inspektur Linda. Aku lalu menceritakan semuanya kepada presiden dan berkata kepadanya bahwa putrinya akan baik-baik saja. Setelah itu, aku langsung berjalan keluar dari kantor lalu mengumpulkan semua anggota keamanan untuk membicarakan masalah ini.
Malamnya, aku mengerahkan seluruh anggota keamanan ke sisi-sisi istana, sedangkan aku bersiap siaga di depan kamarnya Giana. Aku duduk di kursi tepat persis di depan pintu kamarnya Giana. Aku menunggu selama beberapa jam sambil melihat-lihat koridor, siapa tahu ada yang mencurigakan, tapi hasilnya nihil. Aku pun mulai mengantuk dan hampir tertidur. Namun, aku dikejutkan dengan suara dari kamar Giana. Aku langsung membuka pintu kamarnya.
Rupanya penculiknya telah kabur membawa Giana lewat sebuah pintu rahasia yang tertutup lemari. Aku langsung mengejar penculiknya lewat pintu rahasia tersebut. Di dalam pintu rahasia tersebut, terdapat tangga yang mengarah ke bawah. Aku langsung menuruni tangga tersebut hingga sampailah aku di depan sebuah pintu. Aku membuka pintu itu. Ternyata, pintu ini mengarahkanku ke pekarangan belakang istana yang langsung menghadap ke hutan.
Ketika aku memasuki hutan tersebut, terdengar suara tembakan dari dalam hutan. Aku langsung mendekati sumber suara. Sesampainya aku di sumber suara, ternyata penculiknya sudah ditembak kakinya dan Giana sudah berada di belakang seseorang. Orang itu adalah Inspektur Linda. Ternyata, dia sudah tahu kalau penculiknya pasti akan melewati tempat ini.
Aku langsung menyuruh beberapa anggota keamanan untuk mengurus Giana, sedangkan anggota keamanan yang lain kusuruh menyisir sekitar istana untuk mengantisipasi penculik yang lainnya. Setelah itu, aku membopong penculik tersebut ke sebuah ruang bawah tanah, tempat interograsi. Di situ, kami mengobati luka tembak pada kaki penculik tersebut. Sesudah kami membalut luka tersebut, kami mendudukkannya ke sebuah kursi dan mengikat tangannya menggunakan tali.
“Kalau soal interograsi, aku serahkan kepadamu, Linda.” “Baik, Komandan.”
Inspektur Linda duduk berhadapan dengan si penculik. “Kami semua mempunyai banyak pertanyaan untukmu. Kau tidak perlu menjawab kalau tidak mau. Pertama-tama, siapa yang menyewamu, Tuan Pramudya?” Penculik itu tampak terkejut. “Bagaimana kamu tahu namaku?”
Aku tidak terlalu terkejut ketika Inspektur Linda mengetahui nama penculik tersebut. Dia mempunyai kemampuan khusus yang membuatnya menjadi seorang inspektur yang dikenal banyak orang. Tidak ada rahasia yang tidak diketahui olehnya, begitulah yang dibicarakan banyak orang. Para penjahat yang berurusan dengannya biasanya dibuat tidak berkutik olehnya.
“Aku hanya tahu saja,” ucap inspektur pada si penculik. “Jadi, beritahu aku, siapa yang menyewamu?” “Aku tidak tahu siapa yang menyewaku. Aku hanya diberikan sebuah surat yang menyuruhku untuk menculik putri presiden. Aku juga dijanjikan uang yang besar kalau aku berhasil.” “Haduh, kenapa kamu berbohong? Aku tahu kamu disewa oleh Nova.” “Aku tidak tahu apa maksud Anda.”
Setelah itu, Inspektur Linda menyadari sesuatu. “Giana bukan target satu-satunya, masih ada yang lain.” “Betul sekali, kamu lumayan cekatan juga.” “Sudah cukup interograsinya. Komandan, kita perlu bicara.”
Akhirnya kami pun mencari tempat yang agak jauh dari si penculik untuk bicara empat mata. “Apa yang mau kamu bicarakan, Linda?” “Seperti yang saya bilang barusan, Giana bukan target satu-satunya.” “Kamu tahu siapa yang mereka incar selain Giana?” “Aku tahu siapa saja yang mereka incar. Jadi, apa perintahmu, Komandan?” “Kamu urus penculik ini dulu. Lusa, kita akan adakan rapat. Oh, jangan lupa, bawa dia bersamamu nanti.” “Anda yakin, Komandan?” “Tentu saja, kalian harus melatih mereka.”
Setelah pembicaraan itu, inspektur pergi membawa si penculik untuk diproses lebih lanjut lagi sementara aku masuk lagi ke istana untuk memeriksa keadaan Giana. Rupanya dia sedang duduk di ranjang kamarnya dengan dua anggota keamanan berjaga-jaga di depan pintu kamarnya. Dia masih shock karena kejadian barusan.
Aku masuk ke dalam kamarnya lalu menenangkannya. “Sudahlah, Giana, anggap saja kejadian ini tidak pernah terjadi. Ayo, tidur sekarang. Besok kamu sekolah.” “Baik, Pak.” Dia bersiap-siap untuk tidur.
Setelah menenangkannya, aku berjalan menuju kantorku lalu menghidupkan komputerku. Lewat komputer, aku memanggil dua anggota organisasi pimpinanku. Mereka berdua adalah sahabat dekat Inspektur Linda.
Setelah tersambung dengan mereka berdua, aku bicara duluan. “Selamat malam, Kolonel Darius dan Canaan Cercilia.” “Malam, Komandan,” ucap mereka berdua bersamaan. “Aku hanya ingin memberitahu kalian kalau lusa kita akan adakan rapat.” “Mengenai apa ini, Bos?” Kolonel Darius bertanya. “Nova mulai bergerak, mereka menargetkan putri presiden. Barusan, Linda mendapatkan info bahwa putri presiden bukan target satu-satunya. Oleh karena itu, kita akan mengadakan rapat untuk membicarakan masalah ini.” “Baik, Pak.”
“Satu hal lagi, bawa mereka berdua bersama dengan kalian.” “Apakah anda yakin, Komandan?” Sekarang Canaan yang bertanya. “Tentu saja, silahkan beristirahat untuk saat ini.” Aku pun mengakhiri panggilanku dengan mereka berdua.
Apa yang akan kalian lakukan selanjutnya, Nova? pikirku. Selama beberapa saat, aku hanya duduk di kursi kantorku sambil meminum kopi.
Cerpen Karangan: A. Raymond S. Facebook: facebook.com/andreas.soewito
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 14 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com