“Sel, lu masih mau di sini dulu atau ngga?” tanyanya sebelum dia pergi. “Ya, gua mau istirahat dulu di sini, boleh kan?” “Ya udah, gua titip rumah dulu,” katanya sambil menutup pintu.
Dia pergi setelah mendapatkan telepon mendadak dari Komandan STAR, tempat kami bekerja. STAR memiliki tiga divisi, Divisi Intelijen, Divisi Taktis, dan terakhir Divisi Kesehatan. Aku memimpin Divisi Kesehatan, sementara kedua divisi lainnya masing-masing dipimpin oleh kedua sahabatku. Orang yang baru saja pergi meninggalkanku adalah salah satu dari sahabatku. Dia memimpin Divisi Taktis, namanya Sasagi Darius. Sasagi adalah tunanganku. Kami sudah berpacaran sekitar 9 tahun sejak kelas 2 SMA.
Setelah dia pergi, aku mengambil remot lalu menyalakan TV. Mungkin aku terkesan tidak sopan di rumah orang, tapi Sasagi telah mempercayakan rumahnya kepadaku begitu pun sebaliknya. Kami saling menjaga rumah kami masing-masing ketika salah satu dari kami pergi. Di sini, aku bebas berkeliaran di area rumahnya. Hanya saja, ada satu ruangan yang tidak boleh aku masuki yaitu ruangan bawah tanah. Di situ, banyak sekali alat-alat elektronik yang tidak boleh sembarang orang pegang. Ruangan itu dibuat khusus sebagai ruang kerjanya. Terkadang, dia suka merakit alat-alatnya di situ supaya bisa dia gunakan ketika sedang bertugas.
Selagi aku menyimak berita malam ini, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Sontak, aku langsung menoleh ke arah pintu depan. Tidak mungkin dia pulang secepat ini, pikirku. Aku langsung berjalan ke arah jendela, dekat pintu depan. Aku membuka tirai sedikit untuk mengintip siapa yang berada di depan pintu. Betapa terkejutnya aku ketika aku mengenali siapa yang telah menunggu di depan pintu. Aku langsung menutup tirai dan berjalan perlahan menuju tasku. Aku merogoh tasku dan mengambil taser gun-ku, cukup untuk pertahanan diri.
Tak salah lagi, perempuan itu adalah Virly Gossandra. Dia masuk ke daftar orang buron atas tindakan penipuan dan pemalsuan. Meskipun dia sudah memakai wig, lensa kontak, bahkan merubah sedikit wajahnya, aku tetap mengenalinya. Setelah siap, aku menyelipkan taser gun-ku ke bagian belakang rokku lalu memutuskan untuk kembali duduk di sofa dan menyimak kembali berita malam ini seperti tidak terjadi apa-apa.
Prang! Ternyata dia memecahkan jendela dapur dan masuk lewat jendela. Gila, ngga ada nyerah-nyerahnya nih cewek, pikirku. Aku langsung berdiri berhadap-hadapan dengannya sambil mengarahkan taser gun-ku kearahnya.
“Dokter, kalau ada orang yang lagi ngomong harus dilihat mukanya, dong. Dokter ngga pernah diajarin sopan santun, ya?” katanya. Sambil menutup mataku, aku bertanya padanya. “Ngapain lu ke sini?” “Saya mau ambil itu.” Aku tahu maksudnya. “Tidak semudah itu.” “Dokter aja ngga bisa lihat saya. Saya bisa aja menghindar, loh, dari tembakan taser gun Dokter.”
Kata-katanya ada benarnya juga. Saat ini, aku hanya bisa bertaruh. Amunisi taser gun-ku cuma ada satu. Aku harus menggunakannya dengan baik kalau tidak, nasibku akan jauh lebih buruk lagi. Dengan mata tertutup, aku berlari menerjangnya dengan menggunakan taser gun-ku sebagai senjata. Kami sempat bergulat cukup lama dan membuat rumah Sasagi menjadi berantakan. Maafin gua, Iggy. Gua janji bakal beresin, kataku dalam hati.
Setelah bertabrakan dengan dinding rumah beberapa kali, Virly mengambil vas lalu memecahkannya ke kepalaku. Kepalaku pusing. Dia mendorongku sampai aku jauh darinya. Dengan sempoyongan, aku berusaha berdiri tegak. Tanpa sadar, aku membuka sedikit mataku, kesalahan yang fatal.
“Akhirnya Dokter membuka matanya.” Dia tersenyum penuh kemenangan.
Semuanya sudah terlambat ketika aku menyadarinya. Seketika, aku berada di suatu tempat yang gelap. Aku berlari sejauh mungkin, tapi hanya ada kegelapan di sekitarku. Tiba-tiba, ada beberapa pisau yang melesat hampir mengenaiku, tapi aku berhasil menghindari pisau-pisau itu. Aku melihat sekitarku dan baru saja aku menyadari bahwa aku memegang sebuah pistol. Aku bisa mendengar suara Virly dari segala arah. Aku berputar sambil mengarahkan pistolku sampai akhirnya terdengar suara Virly di belakangku. Aku berbalik dan menembakkan beberapa peluru. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat siapa yang kutembak.
Seorang pria muncul dari kegelapan. Dia memakai mantel hitam dengan badannya yang sudah berlubang karena beberapa peluru yang baru saja kutembakkan. Dia berjalan ke arahku dengan sempoyongan. Matanya yang penuh tuduhan menatapku lekat. “Lu ngebunuh gua, Sel,” ucap pria itu tanpa ekspresi. Setelah itu, dia terjatuh ke tanah. Aku hanya bisa mematung di dekatnya.
Aku berlutut sambil menyesali perbuatanku. Tiba-tiba, Virly jongkok di sampingku. Dia tersenyum melihat ekspresi wajahku. “Lihat apa yang telah Dokter perbuat. Semuanya salah Anda.” Aku baru saja menyadari bahwa ini semua hanyalah ilusi. Aku langsung berdiri dan mengarahkan pistolku padanya. “Berisik, akan kuhabisi kau!” Dengan cepat, dia menjaga jaraknya dariku. “Masih belum sadar ya? Ini duniaku. Aku bisa mengendalikan segala sesuatu di–”
Belum selesai dia berbicara, tiba-tiba, tempat ini berguncang. Setelah itu, kami terjatuh lalu aku tersadar dari “dunia ilusi” tersebut. Aku melihat Virly sudah menghadap tembok, berusaha untuk melepaskan diri. Di belakangnya, ada seorang perempuan yang menahan Virly dengan kekuatan telekinesisnya.
“Ibu baik-baik saja?” tanyanya sambil masih menahan Virly. “Iya, Nak. Jangan sampai bertatapan dengannya.” Aku memperingatnya. “Apa yang harus saya lakukan?” “Ikatkan dia di kursi lalu tutupi matanya.” “Baik.”
Dengan kekuatan telekinesisnya, dia membawa Virly ke kursi lalu mengikatnya dengan tali rafia. Dia juga menutupi mata Virly dengan kain. Selagi dia mengawasi Virly, aku menghubungi Linda, sahabatku yang memimpin Divisi Intelijen.
Dia mengangkat teleponnya. “Ada urusan apa nelepon malem-malem gini?” “Ya elah, jangan sinis dong. Gua mau ngasih info aja kalau si Virly udah ketangkep.” Dia terdengar terkejut. “Virly Gossandra? Gimana bisa?” “Panjang deh jelasinnya. Pokoknya, lu urus si Virly dong. Gua lagi di rumahnya Sasagi.” Aku langsung menutup telepon.
Setelah menunggu beberapa lama, terdengar suara ketukan pintu depan. Aku membuka pintu dan tampaklah Linda sedang berdiri di depan pintu. Aku menunjukkan tempat di mana Virly diikat.
“Akhirnya ketemu juga, Virly.” Linda berhadapan dengannya. “Inspektur Linda? Jadi, apa yang mau Inspektur lakukan ke saya?” Linda mengangkat kedua bahunya. “Kekuatanku tidak akan mempan untukmu. Jadi, pilihan terakhirku adalah menahanmu untuk beberapa waktu.”
Akhirnya Virly dibawa oleh orang-orang dari Divisi Intelijen ke sebuah penjara khusus di luar kota. Sebelum pulang, perempuan yang mempunyai kekuatan telekinesis itu bertanya kepada Linda. “Anda, seorang Astrologist?” “Kamu sendiri?” Dia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah suling. “Bisa Anda lihat sendiri.” “Oh, Capricorn, kalau saya Libra.” Dia merogoh kantong mantelnya dan mengeluarkan koinnya. “Saya lihat kalian akan menjadi teman yang baik. Sebelum saya pergi, siapa namamu?” “Kaputri.” “Kita akan bertemu lagi, Kaputri. Saya permisi dulu.” Dia keluar dari rumah.
Sepeninggal Linda, Kaputri menawarkan bantuan untuk membersihkan rumah Sasagi. Sembari bersih-bersih, Sasagi masuk ke rumah dengan khawatir. Dia sangat lega ketika melihatku baik-baik saja.
“Astaga, lu udah buat gua mikir yang aneh-aneh, Sel. Gua barusan dapet kabar dari Linda,” katanya. “Gua ngga papa kok. Untung ada Kaputri, kalau gak ada dia mungkin gua bakal kenapa-napa.” “Ya udah, gua ganti baju dulu,” ucapnya sambil masuk ke kamarnya.
Akhirnya kami selesai membereskan segala kekacauan yang telah aku perbuat. Setelah itu, aku mengundang Kaputri untuk berbincang-bincang terlebih dahulu dengan kami sambil meminum teh. Aku menunggu petualangan kita selanjutnya, Kaputri, ucapku dalam hati.
Cerpen Karangan: A. Raymond S. Facebook: facebook.com/andreas.soewito
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com