Padahal, ia masih baru saja menginjak di usia 55 tahun, mengapa sang dewa memutuskan untuk mengambil nyawanya lebih cepat daripada dugaanku?
“Delia, aku ingin kau menepati janjiku, apakah kau sanggup?” Ucap Nyonya Alma kepadaku. Tangisanku terhentikan olehnya. Di saat yang seperti ini, mengapa nyonya ingin aku menapati janji terakhirnya? Pikirku. Tiba-tiba saja, Nyonya Alma menggenggam erat tanganku, dan mengelus-elus sebuah gelang usang berwarna ungu yang terlilit di pergelangan tangan kiriku.
“Kembalikan gelang ini ketika ada seseorang yang ingin mengajakmu ke makam ini ya. Aku akan bersumpah jika kau menepati janjiku, kutukan yang ada di dalam dirimu ini akan menghilang selamanya, dan menyusulku segera nantinya.” Jelasnya Panjang. “Aku yakin kamu dapat melakukannya.” Lanjutnya sambil tersenyum
Mataku terkejut akan janji yang diinginkan olehnya, tetapi, mau bagaimana lagi, aku juga ingin kutukan yang ada di jiwaku ini segera menghilang.
Genggamannya mulai melemah. Senyum hangat yang barusan ia keluarkan seketika memudar. Aku menghapus air mata milik Nyonya Alma yang mengalir dari pipinya. Secara tidak sengaja, aku mendengar hembusan napas terakhirnya. Kehilangan seseorang yang telah aku anggap sebagai keluarga memang menyakitkan. Semoga saja, aku dapat segera menyusulnya lebih cepat daripada yang ia kira.
—
“Eh, kamu sudah mau pulang?” Tanya Muthia. Aku pun segera meraih tas ranselku, dan mengangguk untuk merespon pertanyaan dari Muthia. Setelah ia mendapatkan responku, ia pun menepuk dahinya, dan menggenggam tangan kiriku.
“Kamu seharusnya istirahat dulu dong! Selesain tugasnya nanti saja, lagipula sekarang kan hari libur.” Ucap Muthia tegas. Sepertinya, ia tidak ingin melihat kawan dekatnya terlalu fokus dengan tugas-tugas sekolahnya. Yah, ini memang sudah menjadi kebiasaanku, aku merasa tidak nyaman jika tugas-tugasku masih belum selesai. “Aku tahu niatmu memang baik, tetapi aku ingin tugasku cepat selesai.” Jawabku sambil melepaskan genggaman Muthia. “Sudah ya, aku pulang dulu.” Lanjutku. Aku pun melangkahkan kakiku keluar Café, sementara Muthia hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat kelakuanku yang gila akan tugas sekolah.
Di jalan, aku memandangi langit-langit malam. Sinar bulan purnama membuatku semakin tertarik untuk segera mengerjakan tugas-tugasku. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja aku ingin mengunjungi makam milik Nyonya Alma. Sudah berapa tahun aku tidak mengunjungi nya. Hmmm, kira-kira sekitar 40 abad yang lalu ya? Aku tidak membayangkan seberapa rindunya Nyonya Alma menungguku untuk mengunjunginya. Tetapi, mau bagaimana lagi, tidak ada satupun orang yang mengajakku kesana.
“Ah! Disitu kau rupanya Delia!” Teriak seseorang dari belakang. Lagi-lagi mereka. Mengapa dia selalu saja menggangguku di saat-saat yang seperti ini? “Aku tadi sempat ke Café, tapi kata si Muthia kamu udah pulang duluan. Yaudah aku jalan ke rumah kamu.” Ucap Feronica. “Tak disangka kamu disini ternyata, untung saja aku belok kanan!” Lanjut Ivy. Aku memang memilih untuk mengambil jalan alternatif, aku tidak ingin anak-anak ini menemukanku di jalan yang biasanya aku lewati. Sayangnya, mereka telah menemukanku.
“Kalian maunya apa sih? Padahal aku mau menyelesaikan tugas-tugasku di rumah.” Jawabku tegas kepada mereka berdua. Bukannya malah mengerti, mereka malah tertawa mendengarku. Pasti mereka akan memiliki sebuah rencana aneh lagi. Meskipun sudah menduduki bangku SMA, Ivy dan Feronica memang memiliki sifat yang kekanak-kanakan. Tapi, kepintaran dan kecerdasan mereka membuatku tertarik, Makanya aku memilih berteman dengan mereka meskipun menyebalkan.
“Mumpung kita libur, gimana kalau kita berlibur ke luar pulau? Nanti ayahku yang bayarin liburan kita.” Usul Ivy. “Tadi aku sudah bilang ke Muthia buat nahan kamu, tapi kamu masih saja nolak. Ya sudah kita ke kamu hahaha.” Lanjut Ivy sambil tertawa. Tuh kan apa. Pasti rencana anehnya lagi.
Ivy memang terlahir dari keluarga yang kaya. Ayahnya merupakan seorang CEO dari sebuah perusahaan. Sedangkan, ibunya merupakan seorang penulis terkenal. Beliau memiliki karya-karya yang diakui dan diberi penghargaan oleh pemerintah dunia. Kemungkinan, kecerdasan yang dimiliki Ivy diturunkan dari kedua orangtuanya yang merupakan orang yang sukses.
“Tenang saja kok, tempat kita akan berlibur merupakan tempat yang menyenangkan!” Bujuk Feronica padaku. “Yap! Soalnya kita bakalan berlibur ke pulau Ancelotti!” Lanjut Ivy dengan semangat.
Sial, aku terbujuk ajakan mereka. Dengan bantuan supir pribadi keluarga Ivy, kami pun sampai di Pelabuhan, dan menaiki kapal pesiar untuk sampai kesini. Kebetulan sekali pulau ini merupakan tempat peristirahatan Nyonya Alma. Setelah sekian lama, akhirnya ada satu orang yang mengajakku kesini. Dengan begitu aku dapat beristirahat dengan tenang.
“Yosy! Kita akan melakukan penjelajahan dengan penuh semangat!” Seru Feronica. Ivy dan Muthia pun ikut bersorak. Aku dapat merasakan isi hati mereka yang tidak sabar ingin menikmati liburan mereka. Aku juga sangat tidak sabar. Semoga saja, aku dapat segera mengunjungi makam milik Nyonya Alma.
“Sebelum itu, kita perlu mengambil kunci kamar kita di hotel, apa ayahmu sudah menyiapkannya Ivy?” Tanya Muthia. Ivy mengangguk-angguk. Ia pun mengajak kami untuk segera menuju ke hotel. Aku mengutak-atik gelang yang merupakan pemberian terakhir Nyonya Alma. Entah mengapa aku merasa gugup. Apakah hal ini diakibatkan karena aku akan bertemu dengan Nyonya Alma?
Tiba-tiba saja, Muthia mengulurkan tangannya untukku. Aku menatap ke arahnya. Dengan suasana yang sedikit canggung, aku membentuk wajahku menjadi sebuah pose yang memiliki arti, ‘Untuk apa kau mengulurkan tanganmu?’ Muthia tiba-tiba saja tertawa kecil. Mungkin ia menganggapku sebagai orang yang aneh atau yang lain. Ia pun mengambil paksa tanganku, dan berjalan mengikuti Ivy dan Feronica dari belakang. “Kamu ituloh, padahal lagi liburan kok malah gitu. Tenangkan dulu pikiranmu, kan ada aku?” Bujuk Tia. Aku hanya dapat menghela napas. Muthia memang paling bisa diandalkan diantara Ivy dan Feronica. Ya sudahlah, aku hanya bisa mengalah. Aku pun mengikuti Muthia di belakang. Sambil berjalan, aku berharap dapat mengembalikan gelang ini kepadanya, sesuai janjiku dulu dengan Nyonya Alma.
“Nanti kita tersesat gimana?” Keluh Feronica. Ivy dan Muthia hanya terdiam. Mereka memandangi langit kelabu dengan awan-awan gelap yang akan menurunkan sebuah hujan tepat di atas hutan Beri. Padahal, baru saja mereka memulai perjalanan, tetapi sebuah rintangan yang besar baru saja menghadapi mereka.
“Lebih baik kalian duduk disini, daripada kehujanan.” Ucapku. Seketika mereka menoleh, dan ternganga melihatku. Aku hanya mengajak mereka untuk duduk di bawah sebuah jamur yang ukurannya sangat besar, untuk apa mereka menatapku seperti itu?. Apalagi di bawahnya terdapat sebuah tumbuhan Blueberi yang memungkinkan dapat digunakan sebagai persediaan.
“Eh.. Perasaan tadi nggak ada jamur besar yang kayak gitu deh?” Ucap Muthia tidak percaya. “Untuk apa kalian mencurigai sebuah makhluk hidup yang nggak ada salah sama kalian. Lagipula nanti jamur ini akan menjadi penyelamat kalian, jika hujan nanti.” Jelasku Panjang kepada mereka. Bukannya mengerti dan ikut berteduh, mereka malah mengambil sebuah foto dengan kamera Handphone milik mereka. Duh! Padahal aku bukan seorang model, mengapa harus pakai acara foto segala? Muthia yang terlihat kecapekan mengurus mereka, akhirnya pun duduk di sampingku. Dia mengambil salah satu buah Blueberi untuk dia makan.
Jressssss Tiba-tiba saja, hujan yang lebat turun dari langit. Feronica dan Ivy yang tadinya sibuk mengambil fotoku, akhirnya kehujanan juga. Mereka berdua pun juga ikut berteduh di bawah jamur besar, dan memakan salah satu buah Blueberry yang ada di samping mereka.
“Kata mama, kalau aku makan buah beri setelah basah kuyup, beri ini akan memberikan kehangatan dalam tubuhku.” Jelas Feronica sambil menggigil kedinginan. “Nah, bener kata mamamu! Ayahku juga pernah bilang gitu. Hrrrr” Jawab Ivy sambil menyilangkan tangannya.
Muthia menyerahkan sebuah handuk untuk mereka berdua, agar mereka dapat menghangatkan tubuh mereka dengan sendirinya. Namun, mereka juga perlu sebuah obat, kami hanya takut saja jika mereka berdua demam akibat kehujanan. Siapa tahu, kegiatan kami mungkin saja terbebani.
“Apakah kau sudah menunggu pertemuanmu dengan Nyonya?” Sebuah suara yang berat tiba-tiba saja terdengar dalam kepalaku. Mungkin saja, itu adalah Dewa Beri. Aku pun menjawab suara itu dengan pikiranku, orang-orang dulu menyebutnya dengan Telepati “Entahlah, sudah lama aku tidak menemui nyonya.” Jawabku. “Ngomong-ngomong, terimakasih telah membantuku ya kawan.” Lanjutku sambil tertawa kecil.
Tidak ada satupun suara setelah itu. Sepertinya, Dewa Beri telah mendapatkan suatu jawaban yang Selama ini ia inginkan. Yah, ialah yang menurunkan hujan ini ke permukaan bumi. Seingatku, jika kami berteduh disini, secara otomatis kita dapat menemukan makam milik Nyonya Alma. Jalan yang barusan kami tempuh akan menghilang, karena kami ‘berteleportasi’ melalui hujan ini.
Memang sedikit aneh, tetapi beberapa orang yang pernah mengalami hal ini juga pernah mengunjungi makam milik Nyonya Alma. Tentu saja mereka mengunjungi makamnya karena memiliki maksud tertentu, yaitu mengambil harta peninggalan yang pernah Nyonya Alma tinggalkan. Sayangnya, belum ada satupun orang yang pernah menemukan harta peninggalan milik Nyonya. Bagaimana mereka bisa menemukannya jika harta itu sedang berada di tanganku?
Setelah 2 jam berteduh di bawah jamur yang besar ini, akhirnya hujan pun berhenti. Langit mulai tampak cerah, harum tanah setelah hujan pun mulai menyerbak di sekitar hutan. Kami pun bergegas untuk melanjutkan perjalanan, namun- “Kyaa!” Tiba-tiba saja Feronica berteriak. Sontak, kami pun menoleh ke arahnya, dan mendapati seekor burung merpati sedang menarik-narik gelang miliknya. Karena tarikannya cukup kuat, akhirnya merpati itu berhasil membawa pergi gelang itu ke arah utara. Merasa telah dicuri, Feronica pun mengejar merpati itu untuk mendapatkan gelang kesayangannya kembali. Padahal, gelang itu tidak terlalu penting, untuk apa ia mengejar merpati kecil itu?
“Feron! Jangan pergi jauh-jauh!” Teriak ku. Ia tidak mendengar apa yang aku suruh. Ia tetap bersikeras untuk mengejar burung tadi, Kami bertiga pun terpaksa ikut mengejarnya dari belakang. Dikarenakan hujan yang deras tadi, tanah di dalam hutan sedikit becek. Hal itu membuat kami susah untuk berlari, apalagi Feronica merupakan gadis yang lincah, akhirnya kami tertinggal lumayan jauh darinya.
Aduh, padahal tadi kan Dewa Beri telah memberikan kita ‘teleportasi’ dengan hujan deras tadi, apalagi aku dan Muthia sempat melihat sebuah jalan yang mengarah ke makam milik Nyonya Alma. Ah sudah lah, mereka memang menyebalkan.
Beberapa menit kemudian, Ivy menemukan Feronica berada. Anehnya, Feronica seperti terdiam tak bergerak. Muthia dan Ivy menepuk-nepuk pundak Feronica beberapa kali, hingga akhirnya ia pun tersadar. Ivy bertanya kepada kawannya, Feronica, apa yang membuatnya terdiam kaku seperti itu. Feronica pun menunjuk ke arah burung merpati tadi mendarat, kami semua pun terkejut tak percaya akan apa yang kita lihat.
Sebuah tumpukan batu yang tersusun rapi, hanya saja bebatuan itu terlihat sudah lama ditinggalkan. Di atas tumpukan batu itu terdapat sebuah papan kayu yang telah terukir. Dan disitulah dimana burung merpati tadi mendarat. Ukiran papan kayu tersebut memiliki beberapa huruf bangsa Zephyra kuno yang sedikit memudar. Tidak salah lagi, benda itu adalah sebuah makam!
Burung merpati itu meletakkan gelang ungu milik Feronica di atas papan kayu itu, dan akhirnya burung itu pun terbang menjauh dari makam tersebut. Sayangnya, karena gelang itu ditarik terlalu keras, gelang ungu milik Feronica pun hancur berantakan. Aku menyingkirkan gelang itu dari atas papan kayu usang tersebut, dan membaca huruf kuno yang terukir sedikit demi sedikit. Untung saja Nyonya Alma pernah mengajariku cara membaca huruf kuno.
“Hey Delia, apa yang kau lakukan dengan bebatuan itu?” Ragu Muthia. Mereka menatapku dengan tatapan yang aneh. Bagaimana tidak, mereka sedang melihatku mengusap-usap debu yang ada di atas tumpukan batu itu. Mereka mengira tumpukan batu itu hanyalah sebuah peninggalan orang-orang dulu. Wajar sih, mereka kan berbeda denganku, sudah pasti mereka tidak mengetahui apa-apa.
Aku pun meletakkan sebuah gelang di atas papan kayu itu, sesuai janji yang pernah aku buat dengan Nyonya Alma ketika ia masih hidup. Gelang usang yang berwarna ungu ini akhirnya telah aku kembalikan kepadanya. Sekarang, aku dapat menyusul Nyonya Alma sebentar lagi.
—
“Apa maksudmu kau akan meninggalkan kami Delia?! Jawab kami!” Tegas Feronica. Feronica menggenggam erat kedua tanganku. Saking eratnya, tanganku menjadi kemerahan. Yang lain pun tiba-tiba saja juga ikut mengeluarkan tatapan yang tidak percaya. Mereka tidak mengerti apa maksud ucapan yang baru saja keluar dari mulutku. “Kami kan sahabatmu, mengapa kau tiba-tiba saja ingin berpamitan kepada kami??” Tangis Ivy. “Apalagi di tempat yang seperti ini, kalau ada masalah curhat saja ke kita!” Lanjut Muthia dengan keras.
Sepertinya mereka tidak ingin kehilangan sahabat yang mereka sayangi. Mata mereka berkaca-kaca, Air mata sepertinya akan jatuh Aku memang bersyukur mempunyai sahabat seperti mereka. Tetapi aku benar-benar ingin pamit. “Maafkan aku, pasti kalian sangat terkejut. Apa kalian ingin tahu mengapa aku berpamitan kepada kalian?” Ucapku kepada mereka. Seketika mereka terdiam. Air mata Feronica dan Ivy tetap mengalir, sedangkan Muthia ingin mengusap air matanya, ia ingin mendengar jawabanku dengan serius. Sepertinya mereka sudah siap mendengarkan jawabanku.
Sambil tersenyum, aku pun mengucapkan, “Aku ingin menepati janji 40 abad yang lalu.”
Cerpen Karangan: Puruhitatapin
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com