Rumah Sakit Giovanni, Distrik 7. Sabtu, 26 November pukul 11.20 WIB.
Aku tidak bisa menahan rasa sakit di dadaku ketika aku melihatnya terbaring di kasur itu. Sahabatku satu-satunya, yang sudah bersamaku sejak SMP. Kemarin, kami diculik oleh sekumpulan preman dan disekap di tempat yang berbeda. Ketika aku berhasil keluar, aku mendapati sahabatku terikat di kursi, sudah tidak sadarkan diri dengan luka pukulan yang mengerikan. Aku membopongnya keluar lalu dicegat oleh segerombolan preman. Singkat cerita, aku berhasil mengalahkan mereka lalu menelepon paramedis dan polisi. Sahabatku dibawa oleh paramedis, sedangkan segerombolan preman itu ditangkap oleh polisi.
Saat ini, aku sedang duduk mengamati sahabatku yang tertidur. Seperti merasakan kehadiranku, dia membuka matanya perlahan. “Hei,” sapanya. “Hei,” balasku. “Gimana kabar lu?” “Udah mendingan. Dokter bilang gua cuma gegar otak ringan sama luka luka aja. Ngga ada yang perlu dikhawatirin kok.” “Tapi pas gua nemu lu, luka lu biru banget. Lu yakin lu ngga apa apa?” “Kaputri.” Aku terkejut ketika suaranya mengeras. “Gua beneran ngga apa-apa. Gua ngga nyangka kalau tulang gua ngga ada yang patah, padahal gua udah dipukulin berkali-kali.” “Sorry, Ren. Gara-gara gua, lu jadi kena batunya.” Tak disangka, dia malah tertawa. “Astaga, Put. Lu lupa ya? Pas SMP, lu ngasih tahu gua kalau lu itu Astrolo apalah itu. Lu peringatin gua kalau gua tetap temenan sama lu, gua juga bakalan jadi target. Awalnya gua takut sih, cuma gua mikir ngapain takut kan ada lu.” Seketika itu juga, aku langsung memeluknya. “Aw! Sakit, Put.” Aku buru-buru melepaskannya. “Oh, maaf.”
Tiba-tiba, pintu terbuka lalu masuklah Bu Canaan setengah badan. “Kaputri, kita harus segera per– Oh, rupanya kamu sudah bangun, Lauren.”
“Pagi, Bu.” “Gua duluan ya, Ren. Cepat sembuh.” “Makasih, Put.” Aku pun bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan Lauren.
Balai Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur. Sabtu, 26 November pukul 17.30 WIB.
Aku memandang langit malam yang berada di atasku. Matahari baru saja tenggelam, sehingga langit berwarna hitam kejinggaan. Kami berdiri di taman balai untuk menemui seseorang dari STAR Jawa Timur. Karena bosan, aku menarik sulingku dari saku gaunku lalu memainkan beberapa lagu.
“Bagus sekali, Kaputri. Tidak heran, kamu memenangkan pertandingan musik di Jerman tahun lalu,” puji Bu Canaan. “Terima kasih, Bu.” “Benar sekali yang dikatakannya.” Tiba-tiba, muncullah seorang pria dari kegelapan. “Maaf, Anda siapa?” tanya Bu Canaan. “Saya Benedict Wisnu dari STAR Jawa Timur. Kalian bisa panggil aku Ben. Saya berasumsi kalau kalian berdua dari STAR Jawa Barat.” “Benar. Perkenalkan, saya Canaan Cercilia dan ini Kaputri Cornelia.” “Senang bertemu denganmu,” ucapku. “Saya sudah mendengar informasinya dari atasanku. Jadi, kita masuk aja ke rencananya. Canaan, kamu akan siaga di dekat Theodore, sementara saya dan Kaputri akan mengawasi musuh,” jelas Kak Ben. “Sedikit informasi tambahan, Miranda baru saja memastikan kalau musuh yang akan kita hadapi adalah Leroy Ottodinata dan Virly Gossandra,” kataku. “Perlu diketahui, kalau mau menghadapi Virly Gossandra, jangan pernah sekalipun melihat matanya. Mengerti?” kata Bu Canaan. “Mengerti,” ucapku dan Kak Ben serentak. “Kalau begitu, mari kita mulai misi kita,” ucap Bu Canaan.
Kami memasuki balai tersebut. Udah banyak orang rupanya, pikirku. Bu Canaan mengangguk kepadaku dan Kak Ben sebelum kami berpencar. Aku pergi mengambil sepiring potongan kue yang tertata rapi di satu meja. Ketika aku hendak memakan kue itu, aku dikejutkan dengan suara wanita yang sedang berbisik kepadaku.
“Ketemu lagi kita,” ucap wanita itu. Aku berusaha menjaga ketenanganku sambil memakan kue. “Cepat banget, terakhir kali kita ketemu, lu nemplok di tembok.” “Gua bakal bales perbuatan lu sama dokter itu hari ini.” “Gua ngga bakal ngebiarin itu terjadi.” Aku menahannya dengan kekuatan telekinesisku. Tak disangka, dia malah tersenyum. “Persis kayak apa yang gua duga, lu bakal nahan gua. Oleh karena itu ….”
Aku mendengar suara dentuman yang sangat keras dan tembok di belakangku hancur. Perhatianku teralihkan, sehingga Virly bisa bebas dari kekuatanku lalu kabur. Sontak, aku langsung memberitahu Bu Canaan soal ini. Dari luar, masuklah seorang pria berambut panjang dengan angkuh. Dia nampak biasa-biasa saja ketika para penjaga mengarahkan pistolnya ke arahnya. “Angkat tanganmu,” ucap salah seorang penjaga.
Leroy menarik napas panjang. Kak Ben, yang sepertinya mengetahui pikiranku, langsung berteriak, “Tutup telinga kalian!”
Aku segera menutup telingaku. Sial bagi mereka yang tidak melakukan, mereka langsung berteriak kesakitan sampai kehilangan kesadaran. Ketika aku membuka kembali telingaku, aku mendengar suara dengungan yang sangat kencang. Aku sekelebat melihat pertarungan antara Leroy dengan beberapa penjaga. Setelah para penjaga itu tumbang, Kak Ben akhirnya turun tangan melawan Leroy.
“Bantu Canaan, Kaputri. Saya bisa mengatasi ini,” ucapnya tanpa sekalipun mengalihkan perhatiannya dari Leroy.
Aku bangkit berdiri lalu berlari mencari Bu Canaan. Berkat arahan dari Miranda, aku hampir sampai di lokasi Bu Canaan. Namun, ketika aku berbelok, aku menabrak seseorang. Kami pun terjatuh dan mengaduh. Ternyata orang yang kutabrak adalah Virly. Aku buru-buru mendorongnya dengan kekuatan telekinesisku. Akan tetapi, bukannya dia yang terlempar, malah aku yang terlempar.
“Gua duluan ya,” Virly berlari melewatiku.
Apa-apaan ini? Kok gua malah kelempar? Tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Aku langsung bangkit berdiri lalu berlari ke lokasi Bu Canaan. Ketika aku membuka pintu sisi balai, aku terkejut melihat pemandangan ini. Bu Canaan terbatuk-batuk seperti habis dicekik seseorang, banyak bodyguard yang pingsan, dan juga ada satu mobil yang setengah ringsek.
Aku menghampiri Bu Canaan. “Ibu tidak apa-apa?” “Ya, Ibu tidak apa-apa,” ucapnya sambil batuk. “Bagaimana ini bisa terjadi?” “Begitulah, Leroy menghajar semua bodyguard lalu mencekik Ibu setelah kutembak Virly dengan taser gun-ku. Mereka berhasil kabur membawa Theodore.” “Tunggu, Leroy sempat ada di sini? Sialan, saya harus memeriksa keadaannya Kak Ben. Dia sempat mencoba melawan Leroy.” “Baik, Nak. Saya akan memeriksa keadaan mereka.”
Aku langsung berlari menuju ruangan pesta, tempat aku terakhir bertemu Kak Ben. Ruangan yang tadinya megah sekarang menjadi berantakan. Untungnya para tamu undangan sudah dievakuasi. Aku menemukan Kak Ben sedang duduk di salah satu sisi tembok sambil memegang dadanya.
“Pukulan yang benar-benar mengerikan. Saya kira saya akan langsung mati di tempat. Ternyata saya masih cukup beruntung,” katanya ketika aku menghampirinya. “Kakak tidak apa-apa?” tanyaku. “Dada saya lumayan sakit. Maafkan saya, Kaputri, bisakah kamu membantuku berjalan?” “Boleh.” Aku meraih tangannya lalu membopongnya keluar balai.
Di luar, ada banyak paramedis yang memasuki balai. Kami didatangi oleh seorang paramedis yang langsung membantuku membopong Kak Ben menuju ambulans terdekat. Kak Ben langsung diperiksa oleh paramedis, sedangkan aku pergi dari ambulans itu, menuju Bu Canaan yang sedang berpikir.
“Selama 3 tahun kami memburu kelompok ini, kami masih belum mengenal mereka dengan baik. Setidaknya dengan insiden ini, kita dapat mengenal mereka dengan baik,” ucapnya. “Kita mundur dulu untuk saat ini?” “Ya, kita harus menyusun ulang rencana kita.”
Begitulah akhir dari misi kami pada hari ini.
Cerpen Karangan: A. Raymond S. Facebook: facebook.com/andreas.soewito
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com