Namaku Ache, agak sulit diucapkan memang. Beberapa orang di tempat tinggalku memanggilku dengan cara sederhana seperti As atau Eis. Aku tinggal di sebuah desa bernama Osaen. Sebuah pemukiman yang seluruhnya berada diatas permukaan laut. Suku kami dikenal dengan istilah Albatross. Bukan tanpa alasan kami tinggal diatas permukaan laut bukan di sebuah pulau indah dengan banyak pohon rindang dan berbagai hewan didalamnya. Well, mulanya tempat tinggal kami adalah pulau biasa seperti suku lainnya. Terdiri dari hamparan hijau rerumputan, hutan rindang dan berbagai macam tumbuhan lainnya. Sayangnya tidak ada satupun hewan daratan yang kami temui seperti kumpulan mamalia atau segerombolan burung migrasi. Satu-satunya hewan yang dapat kami jumpai hanyalah Elang laut.
Kami bukanlah suku yang menetap, setiap tahunnya kami akan berpindah setidaknya satu mil dari tempat tinggal kami sebelumnya. Setiap siklus tiga tahun sekali pulau kami akan muncul ke permukaan selama setidaknya enam bulan dan akan kembali tenggelam menunggu tiga tahun berikutnya. Bagaimana itu bisa terjadi? Well, sebenarnya Osaen adalah sebutan bagi kura-kura purba raksasa yang memiliki ukuran setara sebuah pulau. Itulah mengapa seolah-olah kami hidup ditengah lautan, karena si kura-kura sedang menenggelamkan diri dan akan muncul ke permukaan saat siklusnya tiba.
Penduduk Osaen memiliki kemampuan berenang yang hebat, terbiasa berburu dalam air sejak kecil, kami bahkan mampu mempertajam penglihatan kami dalam gelap. Jika bosan dengan tangkapan hasil laut, mata kami akan awas menatap langit menunggu burung migrasi lewat dan dengan sigap membidik mereka menggunakan panah-panah tajam. Kami tidak pernah kekurangan makanan, juga air. Jika hujan tidak turun, maka menguapkan air laut menjadi alternatif terbaik, jika Osaen sedang muncul keatas permukaan maka kami akan mengambilnya dari sungai-sungai kecil. Tak jarang Osaen akan muncul didekat pulau-pulau berpenghuni, dari sanalah kami menukarkan hasil buruan kami dengan bahan makanan lain untuk kebutuhan selama berbulan-bulan kedepan.
Albatross, begitulah suku kami dikenal oleh banyak orang. Artinya Elang laut, penjaga samudera, pengintai. Bukan tanpa alasan mereka memanggil kami demikian. Selain memiliki kemampuan fisik yang kuat, mata yang tajam kami tak jarang ikut memerangi kawanan bajak laut yang sering merebut wilayah tanpa izin. Dengan Osaen yang berpindah-pindah maka kami membantu bukan hanya satu dua wilayah tapi mungkin ratusan pulau-pulau berpenghuni lainnya.
Sejak zaman nenek moyang, suku kami memang sudah tinggal diatas Osaen. Menjelajah samudera luas mengelilingi dunia, dan bertempur melawan bajak laut yang kerap merompak. Hanya ada satu kelompok bajak laut yang membuat kami ngeri, kawanan perompak haus darah dan tak kenal ampun. Senang membunuh, dan selalu meninggalkan jejak pertempuran berupa kobaran api seluas kampung penduduk yang mereka rampok. Kami menyebut mereka Buccaneer.
“Ada apa Ache? Kau baik-baik saja?” Marina, sahabat karibku itu tengah berdiri disampingku. Wajahnya cantik dengan rambut lurus hitam dan mata hazel dengan kulitnya yang kecokelatan ditambah tubuh ramping dan perawakan yang cukup tinggi. Aku berani bertaruh ia adalah gadis paling cantik di seluruh lauran. “Tidak ada, aku hanya sedang berpikir,” jawabku jujur. “Kau tidak sedang memikirkan Buccaneer bukan? Kau selalu berdiri di pinggiran kampung menatap kosong ke arah lautan seolah takut sebuah kapal akan datang dan menyerang kita,” Telak sekali perkataannya. Aku hanya diam, dalam hati mengiyakan perkatakaan sahabatku ini. Entah apa yang menggangguku tapi bukan hanya Buccaneer saja yang aku takutkan.
“Ayolah Ache, cheer up! Kau sudah jarang bermain bersama kami, lebih sering berdiri melamun di pinggiran desa seperti saat ini. Lagipula Buccaneer sudah lebih dari sepuluh tahun tidak pernah terlihat,” Dia benar. Terkahir kali suku kami melawan Buccaneer saat usiaku lima tahun dan itu bukan pertempuran biasa. Tempat tinggal kami hangus dibakar dan puing-puingnya berceceram dipermukaan air.
Kami harus mengungsi selama berbulan-bulan di pulau suku lain sampai kampung kami berhasil dibangun kembali. Aku ingat betul kejadian hari itu walau samar, tapi saat aku dan ibuku berlari menuju pengungsian dan para ayah maju ke pertempuran aku harus kehilangan ayah dan kepala suku kami. Meskipun memiliki kekuatan yang besar tapi tetap saja mereka terbunuh oleh kapten Duncan Si Mata Satu. Kapten Buccaneer yang konon kabarnya datang dari neraka.
Buccaneer meninggalkan trauma mendalam pada suku kami. Sejak hari itu mereka tak pernah terlihat lebih dari sepuluh tahun lamanya. Banyak desas-desus jika Duncan Si Mata Satu telah tewas dan mereka berhenti merampok lagi. Juga kabar jika mungkin kapal mereka telah tenggelam di Laut Hitam dan dimakan oleh monster. Tapi yang aku takutkan, jika kabar itu salah dan suatu saat Buccaneer kembali dengan pasukan yang lebih banyak dan lebih kuat bahkan mammpu meratakan sebuah pulau hanya dengan sekali tembakan meriam. Pikiran itu membuatku bergidik ngeri.
“Sudahlah Ache, berhentilah memikirkan yang tidak-tidak. Lihatlah dahimu keriting begitu sudah seperti rambutmu saja,” ucapnya diikuti tawa yang membuatku kontan melotot. Marina berlari meninggalkanku yang sontak membuatku mengejarnya. Untuk sesaat aku kehilangan pikiran buruk itu dan bermain bersama kawan-kawanku dengan perasaan senang. Seolah memang tidak ada yang bisa menghancurkan kebahagiaanku. Tapi jauh di samudera sana, entah di belahan bumi bagian mana bermil-mil jauhnya dari Osaen ketakutanku sedang terjadi.
—
Malam itu bulan bersinar lebih terang dari biasanya, cahayanya lembut dan tampak langit malam begitu cantik dengan pendar bintang-bintang. Bulan seolah nampak lebih besar dari hari kemarin, seperti sedang mendekat ke Bumi dan seolah seluruh Osaen tak perlu menyalakan lentera malam ini untuk menerangi rumah-rumah penduduk. Fenomena bulan biru, kalian tahu? Itu adalah siklus ratusan tahun dimana bulan akan terlihat lebih besar dan mengeluarkan cahaya biru keperakan. Ketika bulan biru terjadi, suku Albatross akan bersuka cita karena malam itu, Osaen akan keluar kepermukaan semalaman penuh. Orang-orang akan turun dari rumah-rumah mereka, menyalakan api unggun dan akan para ibu akan masak makanan enak sebanyak mungkin.
Siklus itu akan terulang besok, kata ibuku pagi tadi. Sepanjang hari orang-orang sibuk mempersiapkan pesta Bulan Biru. Para ayah dan anak laki-laki akan menyeberang ke pulau sebelah untuk mencari kayu dan menukarkan bahan makanan yang diperlukan bagi para ibu dan anak perempuan dalam memasak hidangan pesta.
Konon, Bulan Biru adalah lahirnya para pemimpin dan hari yang suci. Para leluhur Albatross akan akan mengunjungi Osaen dan memberkati kami semua agar penduduk senantiasa hidup aman dan damai. Malam ini, persiapan sudah hampir selesai tinggal menunggu besok, setelah matahari sempurna tenggelam di ufuk barat Pesta Bulan Biru akan segera dilakukan.
Tepat ketika aku hendak menutup mata menuju lelap, terdengar suara dentuman keras diikuti kobaran api yang menyambar tiang ditengah desa. Selama sekian detik Osaen berguncang cukup kuat sampai beberapa bagian dari rumahku berguguran membentuk kepulan asap debu dan membuat sesak napas. Dengan cepat suasana berubah menjadi panik orang-orang berhamburan keluar dari rumah mereka termasuk aku yang dengan segara ditarik ibuku keluar dari rumah dan menyeberang ke pulau sebelah.
Kami semua berkumpul di pinggir pulau, kulihat semua orang tampak menatap kearah lautan dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan.
Cerpen Karangan: Indar Widia Blog / Facebook: Indar Widiastuti Rahayu pliiss Follow my Ig: @widiaayu.idr
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com