BUM! Sekali lagi suara dentuman terdengar lebih keras diikuti kobaran api yang dengan cepat menyebar. Kali ini bukan Osaen yang menjadi sasaran, tapi pulau tempat kami berlindung. Belum sempat beripikir dengan jelas dentuman sekali lagi terdengar bersamaan dengan suara sorak-sorai dari alarah lautan. Aku memicingkan mata untuk melihat lebih jelas. Didepan sana, beberapa mil dari pulau tempat kami berdiri, sekumpulam kapal tengah mendekat. Mereka bukan hanya puluhan, tapi mungkin ratusan. Diposisi paling depan tampak kapal dengan ukuran paling besar diantara yang lain dengan layar besar bergambar symbol bajak laut dan tulisan besar ‘DUNCAN’.
“Oh Astaga, itu Duncan Si Mata Satu!” seseorang berseru dan membuat suasana pulau semakin panik. Orang-orang tampak ketakutan dan was-was. Jelas sekali mereka tidak memiliki persiapan apapun. Sepuluh tahun menghilang seperti dilahap lautan, kini Buccaneer kembali menyerang pulau-pulau dengan kekuatan armada ratusan kali lebih kuat dari yang sebelumnya.
“Oh matilah kita,” seorang lagi berseru membuat suasana makin kalut. Ditengah kebingungan dan ketakutan penduduk akan serangan Buccaneer, tampak sebuah batu besar seukuran sepuluh rumah penduduk terlontar dari sebuah kapal menuju arah Osaen. Batu itu membara dengan api panas yang siap membakar apa saja.
BUM! Suara dentuman keras diikuti gelombang air setinggi 5 meter menerjang kami. Itu seperti Tsunami dadakan yang luar biasa. Beberapa orang tampak hanyut terbawa arus gelombang laut yang mendadak itu.
Kami sudah kalah, bahkan sebelim pertempuran dimulai. Lihatlah Osaen yang tenggelam dibawah laut yang dulunya berdiri rumah-rumah kayu tinggi menjulang diatas permukaan air kini hanya genangan berisi puing-puing kayu yang gosong. Dibelakang kami, beberapa ratus meter lahan terbakar dan masih membara hingga saat ini.
Buccaneer bukan hanya menang jumlah, mereka menang strategi. Saat orang-orang mulai melupakan mereka dan menganggap mereka bukan lagi ancaman, saat orang-orang tengah sibuk menyiapkan pesta meriah dan bukan mengasah tombak atau pedang, merasa bahwa hidup mereka sudah tenang dan bebas dari ancaman, Buccaneer kembali. Dengan armada lebih banyak, dan kekuatan lebih besar. Seperti yang aku pikirkan sebelumnya, ini adalah ketakutanku selama ini. Hanya dengan sekali lontaran meriam, mereka hendak meratakan sebuah pulau.
Kapal–kapal itu makin mendekat, dan ketakutan kami makin menjadi. Samar-samar kulihat seseorang dengan pawakan tinggi besar, memakai baju seperti baju besi dengan jubbah kulit tebal menutupi punggungnya. Satu tangannya memegang pedang besar, dan tangan lainnya tengah mencengkram tali layar. Rambutnya panjang gimbal sepunggung berwarna hitam legam. Matanya menatap tajam, dan wajahnya tampak menyeringai seram. Salah satu matanya ditutupi penutup berwarna hitam terbuat dari kulit. Ia berteriak, lebih mirip seperti meraung yang diikuti sorak pengikut-pengikutnya dibelakang, kemudian sekali lagi bola api raksasa yang terbuat dari batu yang dibakar terbang mengenai pulau tempat kami berkumpul. Itu adalah Duncan Si Mata Satu.
Bola api mengenai sisi pulau yang lebih jauh dengan suara dentuman yang jauh lebih kencang. Selama beberapa detik tanah terasa berguncang hebat dan orang-orang mulai takut tak karuan. Anak-anak menangis dan berteriak di pelukan ibu mereka, para ayah dan anak laki-laki tampak bersiap dibarisan depan menunggu serangan selanjutnya. Sementara itu di kubu lautan sana, ratusan kapal sedang merapat kearah pulai kami. Obor-obor menyala terang dan suara sorakan kian terdengar kencang.
“Habisi mereka!! Habisi mereka!!” begitulah para perompak itu bersorak dengan senang dan suaranya menggema membelah langit malam. Aku mendongak menatap langit, melihat bulan yang dengan tenangnya menyinari malam mengerikan kami. “Oh, apakah kau tidak mau membantu kami? Lihatlah kami sedang diambang kematian. Kenapa Kau hanya diam dan bersinar seolah tidak melihat dibawah sini sedang terjadi penjajahan?” batinku memelas pada Bulan. Aku tau ini akan sia-sia. Cepat atau lambat Buccaneer akan merapat ke pulau ini dan kami semua akan tewas.
Belum sempat aku menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba tanah tempat kami berdiri kembali berguncang hebat. Lebih hebat dari saat bola api raksasa Buccaneer menghantam bagian pulau. Orang-orang terjatuh dan saling berpegangan. Suara gemuruh terdengar sangat keras memekakkan telinga. Kami semakin ketakutan, detik berikutnya terdengar suara raungan diikuti deru angin kencang yang membuat kami entah sudah keberapa kalinya kembali terjatuh.
RAAAWWWRRR!!! Oh Tuhan, entah dari mana rasa senang ini aku melihat Osaen tampak mengangkat kepalanya dan meraung kencang sampai rasanya kepalaku sakit. Kura-kura raksasa itu melawan. Aku merasa senang sekaligus ngeri. Sesaat aku menatap kearah langit malam tempat bulan sempurna purnama. “Terimakasih,” ucapku tulus. Entah ini berkat bantuan sang Bulan atau leluhur atau apapun itu. Aku bersyukur Albatross diberi kesempatan untuk kembali melawan Buccaneer dan kali ini kami dibantu oleh rumah kami sendiri, Osaen. Situasi menjadi ricuh di kubu Buccaneer. Gerakan Osaen menciptakan gelombang besar yang membuat formasi kapal mereka bubar. Beberapa diantaranya sampai terbalik dan awak kapal tampak tunggang-langgang menaiki kapal lain yang masih selamat.
Sontak kami yang berada di pulau bersorak riang. Hal ini membuat Duncan tampak marah dan meraung sejadi-jadinya. Beberapa detik kemudian lontaran bola api saling susul-menyusul menembak Osaen. Kura-kura itu meraung dan menghempaskan salah satu tangannya hingga membuat gelombang besar yang berhasil membalikkan puluhan kapal-kapal didekatnya.
Melihat itu, kami mengepalkan tangan atas keberhasilan Osaen. Kami semakin optimis bisa mengalahkan Buccaneer untuk kedua kalinya. Kapal Duncan sempat terombang-ambing sesaat sebelum akhirnya kembali menemukan keseimbangan. Duncan tampak tidak senang, perompak tua mengerikan itu kembali meraung sambil mengacungkan pedangnya keatas disusul sorakan serempak dari puluhan kapal yang tersisa.
Kami tahu ini akan menjadi serangan balasan. Kami bersiap dengan yang akan terjadi, berdiri tegak sambil menahan napas menunggu kejadian berikutnya. Tak lama berselang, suara sorakan para bajak laut itu kembali menggema dilangit malam disusul puluhan bola api raksasa yang dilontarkan serempak kearah Osaen. “Oh tidak!” spontan aku berlari kearah Osaen. Semua terasa bergerak lambat, orang-orang memanggilku untuk kembali termasuk suara ibu. Aku tidak peduli, rasanya aku tidak lagi berpikir jernih dan kakiku tidak bisa disuruh berhenti berlari.
Aku tau apa yang akan terjadi berikutnya, aku tau kami kalah telak. Aku tahu. Hanya saja aku tidak bisa berdiri diam mematung.
BUM!!! Belum sempat mencapai jarak 10 meter sebuah ledakan besar terjadi. Pandanganku silau dan kemudian mengabur. Kepala sakit dan telingaku berdenging keras sekali. Untuk sesaat aku merasa seperti melayang diudara, sebelum semuanya menjadi gelap. Aku
THE END
Cerpen Karangan: Indar Widia Blog / Facebook: Indar Widiastuti Rahayu pliiss Follow my Ig: @widiaayu.idr
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com