“Kok lu bisa ada di sini?” Kata-kata itu keluar dari mulut Sasagi ketika dia melihat Johan. Johan hanya bisa gelagapan mendengar pertanyaan itu.
“Sudah, sudah,” ucap Komandan Taufik. “Nanti saja ceritanya. Sekarang, kita harus memberikan keterangan kepada pemimpin STAR Jawa Tengah.” “Kalian semua benar-benar mencari masalah,” ucap pemimpin STAR Jawa Tengah sambil mendekati kami. “Kenapa kamu tidak melapor kepadaku dulu, Taufik?” “Maaf, Barley, kami dikejar waktu. Telat sedikit saja, anak-anak itu akan terancam nyawanya.” “Meskipun begitu.” Dia menatap ke arah Johan. “Kau merekrut orang yang hebat. Berkat penglihatannya, dia dapat membuat dan menjalankan rencananya sendiri dengan baik. Buktinya sebelum kau datang, dia sudah membebaskan 3 anak pejabat dan melumpuhkan 3 penjahat sekaligus. Dia juga yang meyakinkan saya kalau kamu akan menghubungiku, makanya saya tidak mengepung tempat ini.”
Semuanya menatap Johan dengan tatapan takjub.
“Setelah saya siuman, saya menanyakan keberadaan Giana kepada Pak Barley. Pada saat itulah, saya mendapat penglihatan itu,” jelas Johan.
Akhirnya setelah semuanya memberikan keterangan kepada Komandan Barley, kami pun pulang ke kota Stargazing. Komandan Taufik menyuruh kami untuk pulang ke rumah kami masing-masing, sementara beliau akan menulis laporan mengenai kejadian ini. Aku menawarkan Johan untuk kuantarkan pulang. Awalnya dia menolak, tetapi setelah aku bilang kalau aku ingin berbicara dengannya, dia menerima tawaranku. Kami pergi ke mobilku yang terparkir di lapangan parkir.
“Hei!” Aku berteriak kepada Sasagi yang sedang menuju mobilnya bersama dengan Canaan. “Antar dia pulang selamat sampai tujuan. Awas kalau dia sampai kenapa-napa.” “Tenang aja! Gua kan udah janji sama lu,” ucap Sasagi sebelum dia dan Canaan masuk ke dalam mobil.
Di tengah perjalanan, Johan bertanya, “Bu Canaan adalah seseorang yang sangat berarti untukmu ya?” “Iya, dialah yang membuat aku bekerja lagi sebagai inspektur.” “Jadi, apa yang ingin Inspektur bicarakan dengan saya?” “Untuk ke depannya, kamu akan menjadi muridku. Seperti yang sudah kamu ketahui, kamu sudah menjadi Astrologist. Meskipun artefakmu belum terlihat, tapi kekuatanmu sudah terlihat. Kamu mempunyai kekuatan untuk menyalin kekuatan para Astrologist dan menggunakannya sesuai kehendakmu.” “Wow, kedengarannya menarik.” “Dugaanku, kamu bisa menyalin kekuatan para Astrologist dengan cara kontak fisik bukan kontak batin. Karena ketika kita berkumpul tadi, kamu tidak memliki kekuatan mereka, hanya kekuatanku saja yang kamu punya. Kamu ingat? Di gang sempit ketika kamu kabur dari kejaran orang-orang Nova? Aku menarik tangan kirimu supaya kamu bisa bersembunyi.” “Sebenarnya, saya tidak hanya bisa menggunakan kekuatan Inspektur. Saya juga bisa menggunakan kekuatan Akaru Darius.” Dia membuka tangan kirinya lalu muncullah kekuatan es dari tangannya. “Sejak kapan kamu bisa memakai kekuatannya?” “Ketika saya sedang menyelamatkan Giana, saya melawan Virly. Dia berhasil membuatku terpojok. Tiba-tiba, aku mengeluarkan kekuatan es dari tangan kiriku sehingga membuat Virly terpelanting ke tembok lalu tak sadarkan diri.”
Kami pun sampai di depan rumah Johan. Dia berterima kasih kepadaku lalu keluar dari mobilku. Setelah itu, aku pulang ke rumahku. Berhubung hari sudah menjelang pagi dan aku tidak mengantuk, aku memutuskan untuk pergi ke tempat favoritku yang berada di lantai atas rumahku. Aku masuk ke dalam ruangan itu dan menyalakan lampu.
Di depanku terpampang sebuah kanvas baru dan tepat di sebelahnya terdapat suatu meja yang penuh dengan cipratan cat warna, tempatku menaruh seluruh peralatan melukisku. Inilah yang kumaksud dengan tempat favoritku. Aku memang memiliki bakat melukis sejak aku masuk SD. Melukis membuatku tenang dan bisa menyampaikan emosiku dengan baik. Aku biasa melukis pemandangan dan juga orang asli. Semenjak aku menjadi Astrologist, aku juga sering melukis semua penglihatanku, kebanyakan tentang peristiwa-peristiwa besar. Kalau peristiwa-peristiwa kecil biasanya kugambar di dalam sketchbook-ku. Lukisan-lukisan penglihatanku terbagi menjadi dua bagian, sudah terjadi dan belum terjadi. Untuk yang sudah terjadi biasanya aku simpan di dalam lemari kalau tidak biasanya kujual, sedangkan untuk yang belum terjadi biasanya aku gantung di tembok atau kupampang di sekeliling ruangan ini.
Aku duduk di depan kanvas baru itu lalu mulai melukis. Beberapa jam kemudian, aku selesai melukis. Begitu aku sedang membereskan peralatan melukisku, aku ditelepon oleh Canaan. Dia bilang kalau Sasagi mengajak kami berdua untuk makan malam di sebuah kafe yang berada di Distrik 4. Aku pun bilang kepada Canaan kalau aku akan ikut. Setelah menutup telepon, aku keluar dari ruangan itu, meninggalkan lukisanku, seorang pria bertelanjang dada yang memakai selendang dan sarung berwarna putih melayang di atas 9 anak kembar perempuan yang berdiri berjejeran.
Malam pun tiba, waktu menunjukkan pukul 7 malam. Aku sudah sampai di kafe yang Sasagi maksud. Beberapa menit kemudian, datanglah Sasagi dan Canaan berduaan.
“Udah lama, Linda? Sorry kami rada telat,” ucap Canaan. Aku hanya melipat tanganku. “Seru tadi nontonnya?” tanyaku. “Ketahuan deh,” ucap Sasagi. “Bener-bener kita ngga bisa nyembunyiin rahasia dari lu. Iya, filmnya seru banget. Ngomong-ngomong, lu dah pesen makan tadi?” “Belum aku baru datang soalnya.” “Perfect, kalian mau pesan apa?” tanya Sasagi sambil mengamati menu. “Nasi goreng,” ucapku. “Kalau gua, burger sama kentang goreng,” ucap Canaan. “Baiklah, Pak.” Dia memanggil pelayan. “Saya mau pesan nasi goreng telornya 1 ngga pedes, burger sama kentang goreng 1, sama steak tenderloin-nya 1.” “Tingkat kematangan steak-nya mau seberapa matang, Pak?” tanya pelayan. “Medium well aja,” ucap Sasagi. “Untuk minumannya, Pak?” “Jus stroberi 1, jus melon 1, sama jus tomat 1.” “Baik, Pak. Ditunggu ya pesanannya.”
Sepeninggalan pelayan itu, Sasagi berkata, “Tadi malam seru juga pertarungan kita lawan Akaru.” “Kalau saja Canaan tidak menggunakan kekuatannya, kita semua sudah mati,” ucapku. “Betul sekali, makanya gua sangat berterima kasih kepada Sela.” Canaan mulai salah tingkah. “Itu bukan apa-apa kok.”
“Kalian di sini rupanya.” Seketika itu, kami langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita jangkung berambut putih dan bermata biru datang menghampiri kami bersama dengan seorang perempuan yang tingginya lumayan. Rambutnya berwarna emas dikepang samping dan berkacamata. Tunggu, sepertinya aku pernah mengenali perempuan berambut emas itu di suatu tempat.
“Shiro-nee (Kak Shiro)? Ngapain di sini?” tanya Sasagi. Dia merangkul wanita yang bersamanya. “Teman gua perlu bantuan kalian.” “Salam kenal semuanya. Nama saya Clio, Clio Chronos.” “Halo, Clio. Perkenalkan, namaku Linda dan mereka berdua adalah Canaan dan Sasagi.”
Clio pun membungkuk ke arah kami lalu mereka berdua duduk di sebelahku. “Senior Shiro selalu bercerita tentang kalian. Saya ingin meminta bantuan kalian.” “Apa yang bisa kami bantu?” tanyaku. “Aku perlu bantuan kalian mencari saudari-saudariku.” “Memangnya kamu berapa bersaudara?” tanya Canaan. “Sembilan, aku dan saudari-saudariku kembar identik.”
Akhirnya terjawab sudah pertanyaan di benakku. Dia adalah salah satu dari 9 perempuan yang berjejer di lukisanku.
Cerpen Karangan: A. Raymond S. Facebook: facebook.com/andreas.soewito Halo, para pembaca setia The Constellation Stories. Jangan khawatir, cerita ini masih ada kelanjutannya. Ditunggu ya!
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com