Pada hari yang biasa-biasa saja di Benua Ametrine, seorang gadis yang bernama Nacha Carnelian berlari keluar dari rumahnya. Ia lelah dengan peraturan ketat di rumahnya. Nacha merupakan seorang bangsawan, ia anak dari seorang Count. Nacha yang menggunakan gaun polos berenda itu hendak menuju tempat rahasianya. Tempat itu berada di pinggir kota. Bagi Nacha tempat itu lebih nyaman daripada rumahnya, walaupun tempat itu sangat sederhana berbanding terbalik dengan rumahnya.
Nacha sangat menyukai sejarah, contohnya pada ribuan tahun lalu saat benua masih terpisah dan tidak ada yang namanya batuan amethyst. Batuan atau kristal amethyst sangat berlimpah di benua ini. Amethyst sangat indah tetapi juga sangat berbahaya. Batuan amethyst bisa meledak dalam kurun waktu tertentu, ledakannya juga tidak bisa diremehkan.
Di benua ini terdapat puluhan ribu kristal amethyst. Untuk memperlambat ledakannya dibutuhkan kristal citrine, tetapi kristal citrine susah untuk didapat. Nama benua ini merupakan gabungan antara kedua kristal tersebut sehingga dinamai Ametrine.
Untuk mendapatkan kristal citrine, kerajaan melakukan cara yang kotor yaitu dengan memperbudak rakyat yang menentang kuasanya. Mereka dipaksa untuk menambang kristal citrine secara terus menerus. Tubuh manusia yang terlalu sering berdekatan dengan kristal citrine juga akan mengalami masalah. Budak yang tubuhnya sudah tidak kuat biasanya diberi kebebasan sebagai hadiah terakhirnya.
Waktu berlalu, Nacha tertidur lelap dengan wajah yang ditutupi oleh tangan untuk menutupi sinar matahari. Pelayan itu sudah tau tempat persembunyian Nacha, pelayan tersebut membangunkan Nacha dengan halus.
“Nona Nacha bangun, Tuan Arthur akan segera pulang,” ucap pelayan lembut sambil menggoyang-goyangkan lengan Nacha. “Hmmm, biarkan saja,” ucap Nacha acuh Pelayan yang sudah dianggap Nacha sebagai ibu sendiri itu pun mengangkat tubuh Nacha sebagian. Nacha yang malas dimarahi oleh ayahnya itu langsung bergegas pulang. “Huh, padahal lagi asik asik santai,” ucap Nacha. Pelayan itu hanya tersenyum.
Saat berjalan Nacha menabrak seorang gelandangan muda. Gelandangan itu terlihat menyedihkan, Nacha yang merasa bahwa ia orang yang baik hati hendak menolong gelandangan tersebut. “Halo gelandangan!” sapa Nacha. “Halo,” balas gelandangan lunglai. “Jadi begini, saya Nacha Carnelian ingin meminta maaf karena kecerobohan saya, sabagai gantinya tuan gelandangan boleh meminta apapun,” jelas Nacha khawatir jika gelandangan itu meminta semua hartanya. “Hmmm, saya hanya ingin tempat tinggal yang layak,” ujar gelandangan. “Huuftt… untung saja. Eh tapi…” balas Nacha sambil melirik pelayannya yang bernama Vera. Nacha panik karena ayahnya tidak mungkin mengizinkan orang asing masuk ke rumahnya. Seolah meminta bantuan, Nacha menyenggol tangan Vera. Vera membisikkan sarannya. Nacha terlihat bimbang.
“Okay, karena saya orang yang menepati janji saya akan memberimu tempat tinggal. Ada rumah sederhana di pinggir kota, walaupun rumahnya kecil tetapi pemandangan di sana bagus,” ujar Nacha tidak ikhlas. “Terima kasih Nona Nacha,” ucap gelandangan. “Ehh, begini sebenarnya rumah itu sudah ada sejak aku kecil. Jadi apa aku boleh mengunjunginya?” pinta Nacha. “Tentu saja boleh Nona,” ujar gelandangan itu.
Nacha melanjutkan perjalanannya menuju rumah, ia khawatir ayahnya sudah sampai rumah. Untungnya Count Arthur belum sampai rumah. Nacha langsung menutup pintu kamarnya, melanjutkan tidur.
Jam 4 dini hari, Nacha sudah terbangun dari tidurnya. Ia tiba-tiba teringat rumah sederhananya. Nacha memutuskan untuk kabur sekali lagi, sebelum kabur ia membawa beberapa potong roti dan buah. Sesampainya di rumah sederhana, Nacha langsung masuk ke dalam tanpa salam. Nacha baru sadar dan mengulang lagi masuk ke dalam dengan diiringi salam. Nacha kaget melihat orang yang ada di dalam.
“Siapa kamu?” tanya Nacha. “Saya gelandangan yang nona tabrak kemarin,” jawab gelandangan. “Kenapa wajahmu berbeda?” tanya Nacha ingin tahu. “Sama saja nona, bedanya kamarin wajah saya terkena debu dan tanah,” jawab gelandangan. “Kamu cuci muka dengan tanah?” tanya Nacha. Gelandangan itu hanya tersenyum. Nacha yang merasa diabaikan mengeluarkan makanan yang ia ambil tadi. “Itu aku bawa makanan, oh iya nama kamu siapa?” tanya Nacha. “Nama saya Cerano, Cerano Elistial,” jawab gelandangan itu. “Elistial? Terdengar tidak asing. Ya sudah mari makan,” ajak Nacha.
Cerano menerima ajakan Nacha. Bagi Cerano, Nacha adalah anak yang aneh tetapi baik hati. Ia tahu bahwa Nacha seorang bangsawan, tetapi sifatnya sangat berbeda dengan bangsawan yang biasa ia temui. Nacha memiliki rambut indah berwarna coklat dengan mata yang sangat unik, yaitu percampuran sempurna antara kuning dan hijau. Sedangkan Cerano memiliki rambut hitam dengan mata coklat gelap.
“Cerano,” ucap Nacha. “Ada apa?” tanya Cerano. “Apa kamu tidak bosan hidup yang begini-begini saja? Maksudnya setiap hari melakukan aktivitas yang sama,” tanya Nacha. “Sebenarnya aku juga bosan sekaligus bingung,” jawan Cerano. Entah sejak kapan mereka menjadi dekat. “Bingung? Bingung kenapa?” tanya Nacha. “Bingung menghabiskan waktu untuk apa,” jawab Cerano. “Bagaimana dengan cita-cita? Eh sebenarnya umurmu berapa sih?” tanya Nacha. “Hahaha, umurku masih 18 tahun. Kalau membahas tentang cita-cita sepertinya sudah tidak berguna,” jawab Cerano. Menyadari suasana sudah berubah, Nacha kebingungan mencari kata-kata.
Matahari mulai terik, Nacha baru sadar kalau ia kabur dari rumah. “Ceran, nanti aku kemari lagi. Kalau aku kembali, akan aku ajak berkeliling kota deh,” ujar Nacha. “Beneran? Kalau iya cepat kembali ya?” ucap Cerano. Nacha berlari menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, Nacha disambut dengan tatapan yang menusuk. Ayahnya, Count Arthur yang nampak marah. “Dari mana saja kau?” tanya Count Arthur. “Saya dari berjelajah sambil mengamati kegiatan-kegiatan sosial di sekitar lingkungan tempat tinggal, saya melakukan hal itu dikarenakan saya kurang memahami pembelajaran sosial bab 7,” jelas Nacha berbohong. “Oh seperti itu, baiklah gunakan waktu semaumu. Tetapi hanya untuk belajar,” ujar Count Arthur. “Terima kasih ayah,” ucap Nacha bahagia.
Hati Nacha sangat senang, ia berjalan menuju kamarnya. Di dalam kamar, Nacha berencana untuk menemui Cerano besok. Ia harus memikirkan alasan untuk keluar rumah tanpa ditemani penjaga.
Nacha yang cerdik sudah terbiasa mengakal-akali ayahnya. Sedangkan Ibu Nacha tidak pernah peduli dengan Nacha. Terakhir kali Nacha berbicara dengan ibunya saat perayaan ulang tahun raja tahun lalu.
Hari telah berlalu, saatnya Nacha melaksanakan aksinya. Hal pertama yang dilakukan Nacha adalah meminta izin kepada sang ayah. Tentu ia akan berbohong sekali lagi. “Selamat pagi ayah, saya hendak meminta izin untuk keluar rumah tanpa didampingi penjaga,” pinta Nacha. “Kenapa tanpa penjaga? Kamu akan pergi kemana?” tanya ayah Nacha. “Saya akan belajar tentang kemandirian, jadi saya tidak butuh penjaga,” jawab Nacha. “Tidak boleh,” balas Ayah Nacha. Nacha sudah menduga jawaban dari sang ayah. “Ya sudah kalau tidak boleh,” ujar Nacha. Count Arthur heran dengan sikap anaknya hari ini. Seperti tidak biasanya Nacha menuruti omongannya.
“Ayah! Kalau tanpa penjaga tidak boleh, apa boleh aku keluar rumah dengan ayah?” tanya Nacha. “Ayah sibuk,” balas Count Arthur. Wajah Nacha tampak sangat kecewa. “Apakah Nacha tidak senang berada di rumah ini atau Nacha iri dengan teman-teman yang bermain didampingi oleh sang ayah,” pikir Count Arthur dalam hati. “Gotcha!” batin Nacha. Ayah Nacha adalah orang yang sibuk. Akhirnya ayah Nacha mengizinkan Nacha keluar dari rumah tanpa satupun penjaga atau pelayan.
Nacha bersiap-siap di kamarnya. Entah mengapa ia bingung untuk memilih baju. Akhirnya ia memilih memakai gaun sederhana berwarna putih. Nacha membawa sebagian uang dari tabungannya, lalu langsung pergi menemui Cerano. Cerano tidak menyangka bila Nacha menepati janjinya secepat ini. Ia langsung mempersiapkan diri. Nacha berencana membawa Cerano pergi ke pasar untuk mencari makanan, lalu ke taman, kemudian menonton teater.
“Apa sudah siap Ceran?” tanya Nacha. “Sudah, ayo pergi!” ajak Cerano. Mereka berjalan kaki menuju pasar, Cerano hanya memikili uang yang terbatas.
Sesampainya di pasar, Nacha sangat senang melihat banyak orang yang sedang melakukan aktivitasnya. Tanpa sadar Nacha menarik tangan Cerano menuju pedagang gulali. Nacha memesan 2 gulali. Gulali itu untuk dirinya dan Cerano.
Di pinggir pasar mereka memakan gulali itu diselingi oleh candaan Nacha. Ceran meninggalkan Nacha sejenak untuk membelikan bunga untuk tanda terima kasih. Nacha sangat senang menerima bunga itu, bunga lilac. “Terima kasih,” ucap Nacha tulus. Karena lelah, Ceran dan Nacha beristirahat. Mereka berdua duduk bersebelahan di kursi kayu. Ceran kagum pada wajah Nacha. Dia memandangi wajah itu dengan teliti.
Nacha tiba-tiba menoleh. Ceran menjadi bingung dan langsung mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” tanya Nacha. “Oh, tidak apa-apa,” bohong Ceran. “Ceran!” panggil Nacha. “Ada apa?” tanya Cerano. “Jika dilihat-lihat kau tampan juga,” ucap Nacha jujur. Ceran berdiri, lalu berjalan meninggalkan Nacha. Nacha hanya tersenyum lalu mengejar Ceran. Sambil menyesuaikan langkah Ceran, Nacha mencoba berbicara kepadanya. “Ceran, sebenarnya kau datang dari mana?” tanya Nacha. “Dari bumi,” jawab Ceran singkat. “Oh,” ujar Nacha.
Mereka berdua memakan sebuah roti lapis. Nacha sebenarnya penasaran dengan sosok Ceran yang muncul dengan misterius. Dia masih muda tapi sudah jadi gelandangan.
Mereka melanjutkan berjalan-jalan sampai matahari sudah berada tepat diatas kepala. Nacha mengajak Ceran ke taman kota. Dengan menenteng bunga pemberian Ceran, Nacha berlari menuju air mancur. Garis bibir Ceran tak sengaja tertarik ke atas.
Ceran dan Nacha berjalan berdampingan melewati sinar matahari yang tertutupi oleh pepohonan. Daun kering jatuh tepat di rambut coklat Nacha. Ceran dengan sigap mengambil daun itu lalu membuangnya. Ceran menyadari ada seseorang yang sedang mengawasi mereka berdua. Ceran memakaikan topi pada Nacha. Lalu mengajak Nacha keluar dari taman itu. Nacha heran mengapa Ceran mengajaknya keluar dari taman itu.
“Ada apa Ceran?” tanya Nacha. “Ada yang sedang mengawasimu, kelihatannya tidak jahat tetapi tetap saja mencurigakan,” jelas Ceran khawatir. “Hahahaha… tidak usah terlalu cemas seperti itu. Kemungkinn mereka adalah orang suruhan ayahku,” ujar Nacha. “Tetapi tenang saja, kelihatannya mereka baru mengawasiku,” lanjut Nacha. “Huftt… ya sudah kalau begitu,” ucap Ceran. “Ayo kita cari tempat duduk dulu, aku lelah,” ajak Nacha.
Ceran dan Nacha duduk di lantai batu. Nacha memberikan roti lapis yang ia beli tadi pagi di pasar. Mereka makan bersama-sama. “Oh ya, tadi kamu bertanya aku datang dari mana kan?” tanya Ceran. “Iya,” balas Nacha dengan mata berbinar. “Tidak jadi deh,” ujar Ceran. Ekspresi Nacha langsung berubah menjadi murung. Ceran berasa bersalah saat melihat muka masam Nacha. “Maaf Nacha,” ucap Ceran tulus. “Ya,” ujar Nacha.
Jam menunjukkan pukul 3 sore. Mereka berdua berjalan menuju tempat teater. Nacha sudah memesankan tiket untuk dirinya dan Ceran. Ini pertama kalinya Ceran menonton teater. Mereka sangat menikmati pertunjukan teater itu. Nacha baru menyadari bahwa wajah Ceran sangat pucat, padahal saat makan siang Ceran tidak apa-apa. Nacha khawatir, walaupun ia baru saja mengenal Ceran.
“Ceran ayo pulang, mukamu terlihat pucat,” ajak Nacha. “Ha? Oh ayo pulang,” ucap Ceran. Nacha mengantar Ceran pulang ke rumah sederhananya. Saat di perjalanan, Nacha membeli beberapa obat-obatan.
“Ceran, aku pulang dulu ya? Semoga lekas sembuh,” ucap Nacha. “Sudah tidak bisa Nacha,” balas Ceran. “Apa maksudmu?” tanya Nacha. “Sebenarnya aku adalah mantan seorang budak. Aku menambang kristal citrine, kamu tahu sendiri apa dampak jika terus menerus berdekatan dengan kristal itu kan?” jelas Ceran. “Jangan bercanda!” ucap Nacha. “Tidak, ini adalah waktu terakhirku. Aku sangat senang saat kamu mengajakku berkeliling kota hari ini. Kamu adalah orang yang menemaniku di akhir hidupku Nacha. Aku sangat beruntung bertemu denganmu, ntah apa yang terjadi jika aku tidak bertemu denganmu,” jelas Ceran.
Perlahan tubuh Ceran berubah menjadi butiran-butiran cahaya. Butiran-butiran cahaya itu akan menyatu dan akhirnya terbentuk kristal citrine. “Cerano Elistial? Kamu sedang main petak umpet?” tanya Nacha. “Iya aku kalah, sekarang permainannya sudah berakhir… ayo kembali,” ujar Nacha dengan bibir bergetar. “Padahal kamu orang yang seru, kenapa semesta baru mempertemukan kita sekarang?” lanjut Nacha. “Kamu seperti mayfly Ceran, sama-sama memiliki siklus hidup yang rumit dan memiliki waktu hidup yang singkat,” ucap Nacha. Nacha menyeka air matanya dan berusaha mengikhlaskan kepergian Ceran. Walaupun ia baru mengenal Ceran tetapi rasanya seperti kehilangan orang berharga.
Mayat seorang yang semasa hidupnya sering berdekatan dengan kristal citrine akan berubah menjadi kristal citrine yang baru. Kristal Citrine baru biasanya berkumpul di bawah tanah dan ada juga yang terpencar. Maka dari itu, pihak kerajaan tidak perlu khawatir akan kekurangan kristal citrine.
Cerpen Karangan: Intania Aziza Blog / Facebook: Intania Azizaf
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com