Aku berjalan dari balik kegelapan, menuju seorang anak kecil, dia begitu tak berdaya, menangis tersedu-sedu di bawah remang-remang cahaya lampu jalan.
“Adek, jangan nangis ya, kamu tidak perlu takut,” sapaku berlutut di depannya mencoba untuk menghiburnya. Dia terdiam untuk beberapa saat, “Kakak cantik sekali, siapa kakak?” tanya-nya menatapku dengan ekspresi polosnya. “Aku adalah orang yang akan menjemputmu ke rumah,” jawabku tangisannya terhenti saat aku tersenyum. “Jadi kakak tau dimana rumahku? Aku tidak tau kenapa aku di sini, rasanya aku pernah ke sini tapi seolah aku melupakannya, ini membuatku takut,” “Aku tau dimana rumahmu, tapi sekarang kita akan kerumahmu yang baru,” jawabku sembari mengusap rambutnya.
“Apa ayah dan ibuku pindah ke sana? Lalu bagaimana dengan rumahku yang lama? ” tanya-nya masih menatapku dengan wajah polosnya. “Kamu tidak perlu pulang ke rumah lamamu, saat kamu sampai di rumah barumu kamu bisa melakukan apapun tanpa harus memikirkan kedua orang tuamu,” “Apapun? Apakah aku bisa menjadi seorang putri di sana?” satu lagi pertanyaan polos darinya. “Tentu, adek juga bisa buat istana sendiri, mau ke rumah barumu sekarang? Kita bisa main bareng di sana,” bujukku terlihat senyum manis di wajahnya.
“Aku akan ikut dengan kakak, tapi ada satu hal,” ujarnya terhenti untuk beberapa saat. “Apapun yang adek mau kakak kabulkan,” ucapku mencoba meyakinkannya. “Aku ingin pulang ke rumah lamaku dulu, aku juga ingin tau tempat apa ini dan kenapa aku di sini?” pintanya matanya menatapku memohon. “Adek yakin? Akan lebih baik jika semua itu dilupakan,” tanyaku balik memastikan. Dia mengangguk, “aku yakin, setelah ini aku akan ikut pulang ke rumah baruku.”
Aku tersenyum mengangguk, menuntun lengannya menyusuri jalanan yang masih gelap, kutatap langit yang perlahan terang ketika sang surya terbit di sebelah timur bersinar dengancahaya keemasan, tak lama orang-orang satu persatu keluar rumah terlihat mulai menjalankan aktivitasnya.
“Kakak, tolong panggil aku Emilia,” ucapnya menengadah mencoba menatapku. “Baiklah Emilia manis, kita akan segera sampai di rumahmu,” balasku mengucap pucuk kepalanya.
Aku menuntun Emilia ke depan rumah berwarna biru, halamannya hijau dan dipenuhi tanaman namun tak terawat, Emilia berjalan mendahuluiku memasuki rumah. Langkah pertama dia menuju ke sebuah meja makan untuk sarapan, namun tak ada makanan disana hanya ada ibunya yang duduk dalam diam, dia nampak frustasi menggosok keningnya di kepala yang dipenuhi beban pikiran.
Dari balik pintu tak jauh dari sana sosok pria yang merupakan ayahnya Emilia muncul dari balik pintu menuju meja makan, untuk sesaat dia melihat Emilia dan istrinya dalam diam.
“Mana makanannya?” tanya ayah Emilia kepada istrinya, tatapannya tajam “Suruh buatin aja sama calon istri barumu,” jawab ibu Emilia tak peduli.
Brak… “Istri gak guna!” teriaknya memukul meja tepat dihadapan Emilia dan ibunya itu. “Ayah, ibu aku lelah melihat kalian seperti ini terus, tolong berhentilah,” lerai Emilia mulai menitikan air mata. “Kalau kamu udah besar jangan jadi seperti ibumu, dia tidak berguna selalu berfoya-foya,” jawab ayahnya. “Kau malah memberi kesan negatif kepada anak kita tentangku, apa itu yang kau sebut mendidik? Padalah kau sendiri mabuk-mabuk gak jelas sama perempuan-perempuan gak bermoral itu,” balas istrinya.
Brak… Kali ini meja makan itu terbalik, Emilia yang menyaksikan itu segera pergi meninggalkan mereka berdua menuju kamar dalam ketakutannya, duduk memeluk lututnya di atas kasur, percuma kalau sudah begini mereka tak akan berdamai, dari balik pintu terdengar suara barang pecah dan teriakan dari kedua orang tuanya, Emilia menutup telinga berharap tak dapat mendengar suara bising itu.
“Kamu pasti merasakan ketakutan dan kesedihan Emilia,” ucapku saat duduk di sampingnya. “Kakak tau, aku seharusnya sudah terbiasa dengan ini, seharusnya perasaan itu telah hilang, tapi rasanya semakin hari aku semakin tersakiti,” keluhnya kepalanya bersandar di bahuku.
Anak yang malang, sedari dulu dia belum pernah sekalipun mendapat kasih sayang kedua orang tuanya, kehadirannya saja bahkan tidak diinginkan oleh ibunya. Ibunya hamil di luar nikah awalnya ada niat menggugurkan kandungannya namun karena pria yang menghamilinya berjanji akan segera menikahinya dia membiarkan Emilia lahir ke dunia, tapi pria yang katanya akan menikahinya itu tak pernah datang kembali.
Tak lama dia menikah dengan seorang pria yang sekarang merupakan ayah tirinya Emilia, ayahnya itu setelah menikah dikenal sangat keras, sering pulang dengan keadaan mabuk, pernah kepergok main perempuan dan tidak memperdulikan istrinya termasuk Emilia.
Akibat semua itu ayah dan ibunya itu sering kali bertengkar, terkadang Emilia yang terkena imbasnya, tubuhnya lebam terkena lemparan barang, meski begitu Emilia yang harus memulihkan dirinya sendiri, biasanya Emilia akan pergi ke kamar lalu mencoba tidur berharap kedua orang tuanya segera berhenti bertengkar.
“Kakak, mampir ke sekolahku dulu yuk, di sana ada Mr John yang sangat baik,”ajak Emilia menyeka air matanya. “Tentu manis, kemanapun aku akan mengikutimu,” jawabku tersenyum kali ini Emilia mencoba menghindari suara cekcok orang tuanya dengan pergi ke sekolah.
Dia beranjak menuju lemari pakaian, segera mengganti bajunya dengan seragam sekolah, aku membantunya berdandan, kuikat rambutnya dan merapikan bajunya, setelah itu dia keluar kamar, memandangi ibunya yang nampak terdiam di wastafel dalam kesendirian suasana hening seketika.
“Ibu, aku berangkat ke sekolah dulu ya,” ujar Emilia namun ibunya memalingkan wajah, “aku akan menjadi anak yang baik dan suatu hari membuatmu kembali tersenyum,” lanjut Emilia lalu pergi dari rumah
Kami berjalan menyusuri jalanan yang cukup berisik, kendaraan lalulalang disekitar jalan, Emilia menyebrang ke arah berlawanan dia tidak menuju sekolah dan malah memasuki sebuah taman yang hijau, aku tak menghalanginya dan terus mengikutinya.
“Pus, kamu udah nungguin ya? Pasti lapar,” ucapnya kepada seekor kucing di dalam kotak. Dia mengambil sesuatu dari tasnya, sebungkus makanan kucing yang dia beli kemarin, kucing itu segera memakan makanan yang diberikan Emilia, hewan itu memang sedang kelaparan sepertinya, terlihat dengan jelas begitu lahapnya kucing itu makan.
“Kakak tau, aku menemukan kucing ini sendirian di sini, dulu dia begitu kurus sampai pada akhirnya aku yang setiap hari memberinya makan, meski cuman sekali sehari setidaknya kucing ini tidak terlalu kelaparan,” curhat Emilia sembari mengusap kucingnya, “kucing yang malang, sendirian tak ada tempat untuk pulang, dunia ini memang kejam ya,” lanjutnya lalu beranjak kembali menggenggam telapak tanganku.
“Siap ke sekolah manis?” tanyaku sembari menuntunnya. “Kakak, tolong panggil aku Emilia, aku bukan anak yang manis,” ujarnya sedikit mengeluh. “Baik Emilia sayang, mulai sekarang kakak akan memanggil dengan namamu,” jawabku mengusap pucuk kepalanya.
Kami pergi setelah Emilia berpamitan dengan kucingnya, tak begitu lama kami tiba di sekolah, di depan sana ada seorang pria muda berperawakan jangkung sedang menjaga gerbang,dia tersenyum kepada setiap siswa yang melewati gerbang, tak jarang murid-murid sempat mencium tangannya sebelum memasuki kelas.
“Itu Mr John,” tunjuk Emilia girang dan berlari ke arahnya. Mr John guru yang berdedikasi tinggi mengabdikan dirinya di negeri orang untuk mengajar, dia juga seorang guru BK yang menangani semua permasalahan murid-muridnya salah satunya Emilia. Emilia sering menemuinya di sela waktu luang dan Mr John tidak keberatan seolah beliau adalah sosok ayah sesungguhnya bagi Emilia.
Sedekat apapun mereka Emilia tak pernah sekalipun menceritakan permasalahan yang terjadi di dalam keluarganya, dia selalu menemui beliau dengan senyum yang ceria dan bersemangat, tapi sebagai guru BK tentunya Mr John merasakan kejanggalan terhadap Emilia.
Suatu hari Mr John pernah datang menemui ibunya Emilia, dia menceritakan prestasi Emilia di sekolah, Emilia memang dikenal cerdas dan berbakat bahkan alat musik piano pun dapat dikuasai dalam waktu yang singkat, tapi ibunya tak menunjukan respon yang semestinya, beliau melihat perkataan ibunya jauh dari bahasa tubuhnya, tentunya ada masalah dengan keluarga ini.
Melihat keadaan dan beberapa cerita tetangga, Mr John tau betul apa yang sedang dialami Emilia, dia mencoba membantu meski untuk sekarang hanya mencoba meringankan beban Emilia ketika dia datang menemuinya beliau mengajari Emilia berbagai hal disela waktu luangnya, itulah juga mengapa Emilia menjadi anak berprestasi.
“Selamat pagi Emilia, kamu sepertinya semangat sekali hari ini,” sapa Mr John ketika Emilia mencium punggung tangannya. “Tentu saja, aku tidak akan melewatkan kelasmu hari ini,” jawab Emilia ceria. “Oke, sekarang masuk ya gerbangnya mau ditutup,” pungkas Mr John.
Cerpen Karangan: Miftah Wattapad : MAP171615 Facebook: Miftah AF IG: miftah_abdul17 Untuk Facebook berubah manama jadi Miftah AF, semoga kalian suka dengan cerpen-cerpen buatanku, saya tau masih banyak kekurangan dari karya saya karena itu silakan berikan krisar yang membangun, jangan lupa kunjungi Wattap saya juga ya, follow juga IG : miftah_abdul17. Tank you
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 17 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com