Seberkas cahaya silau menembus kaca-kaca yang melapisi seluruh gedung kantor-kantor megah di tengah kota. Namun ada satu yang paling terang dihadapan Gie. Hingga kemudian ia menyadari laki-laki yang berbadan tegap yang daritadi disampingnya ikut menyaksikan pemandangan aneh di siang hari.
“Silau ya, maaf ya.” kata laki-laki itu dengan suaranya yang santun di telinga. Gie menoleh, memperhatikan setiap garis wajah yang klasik namun tidak asing itu. Laki-laki dengan mata yang bersih dan wajah berseri-seri. Indah. Luar biasa pemandangan insan yang mengantongi semua kata sempurna.
“Thomas,” katanya memperkenalkan “Gie,”
—
“Aduh, sori banget, sinyalnya jelek.. Halo? Halo?” Begitu kiranya cara klasik mengakhiri obrolan yang tidak diinginkan lewat telepon.
Gie menggeser-geser layar ponselnya. Menghapus semua notifikasi yang nampak di layar hitam itu. Sudah hampir seminggu setelah kedatangannya. Harus mulai bekerja. Ia berjalan gontai, beradaptasi dengan trotoar yang licin akibat hujan barusan. Menyusuri kota, melihat kendaraan, dan gemerlap lampu-lampu di jalan. Tentu sesekali sambil menyesap rokok.
Kota ini terasa asing, namun sangat menerimanya. Berbekal kata orang, kota yang jadi pelariannya ini sungguh membuatnya jatuh cinta di hari pertama. Ramai, namun damai. Hiruk pikuk yang berisik sama sekali tak mengganggunya. Setiap sudutnya juga dirasa sangat mengenalnya. Gie yang pemberani namun sopan dan tenang.
Alasan Gie datang tentu karena kekecewaanya atas kejadian masa lalu yang membuat hidupnya jauh lebih sulit dari orang lain. Kepura-puraan yang selalu ditunjukkan demi penerimaan yang semu membuatnya muak dengan kehidupan yang dulu ia jalani. Seperti kecelakaan yang terjadi akibat kecepatan maksimal, Gie dengan brutal menunjukkan jati dirinya yang baru. Walaupun ia masih sama seperti Gie yang dulu.
Perjalanan Gie berhenti di jembatan penyebrangan diantara jalanan yang ramai. Terhimpit gedung tinggi yang eksentrik. Perempuan 22 tahun itu merogoh saku celana, memantik rokok yang kesekian kali.. Kemudian orang akan lebih mengenal Gie sebagai pemberontak daripada dirinya sendiri.
Matanya tertuju ke lampu-lampu. Gie menyukainya. Berisik bunyi klakson dijalanan yang padat adalah melodi yang paling ia sukai dari tempat ini. Disekitarnya ramai orang menyeberang. Bergandengan. Malam minggu, malamnya orang pacaran.
“Gie!” pekik seseorang dengan bersemangat. Gie menyambutnya dengan lambaian tangan sambil tangan lainnya memiting rokok yang sudah separuh jalan. Thomas datang dengan raut wajah yang gembira, sama seperti hari-hari sebelumnya saat ia bertemu dengan Gie di stasiun.
“Gie, hari ini aku ulang tahun,” “Selamat..” Gie segera menyadari ucapannya dan menahan agar tidak diteruskan. Thomas tidak menunjukkan tanda-tanda kekecewaan namun Gie sangat mengerti maksudnya. Kemudian mereka ditemani kesunyian. Hingga sampai terdengar bisik-bisik angin yang meniup dedaunan disekitarnya.
“Gie, kau paham arti kebersamaan?” “Thom, keluargaku bukan kisah-kasih keluarga cemara. Mereka tidak harmonis, tapi juga tidak pelik. Kebersamaan bagiku hanya olok-olok buat mereka yang pernah merasakannya sendiri.” “Keluargaku pun begitu,”
“Kau punya saudara?” lanjut Thom, “Saudara tiri,” “Aku dibesarkan sendirian Gie, pengasuhku Maria pernah menceritakan bagaimana aku bisa sampai ke penampungan ketika masih 2 tahun. Ya, usia cukup besar bagi seorang anak untuk dibuang. Ya kan?” Gie hanya merespon dengan mengangguk-angguk. Asap rokok yang mengebul dari mulutnya menggambarkan semua perasaanya yang terpendam. Thomas mengetahui itu dengan kemampuan inderanya.
“Gie,” Gie menoleh. “Ceritakan bagianmu.” “Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada jalan-jalan sendirian di tengah kota malam minggu, Thom.” tukasnya. Kali ini Thomas yang merespon dengan raut wajah yang menunjukkan tanda tanya, seperti mempersilakan Gie meneruskan. Sementara Thomas akan mendengarkan.
“Ibuku bunuh diri, ayahku menikah lagi. Kakak dan adik tiriku tuli. Aku sempat dipekerjakan sebagai tukang palak karena kami punya usaha properti kos-kosan di dekat universitas besar. Kau tahu? Aku ini sampah,”
Suasana kembali tenang. Tidak ada obrolan yang dilanjutkan. Entah ide siapa dan bagaimana topik pembahasan mereka menjadi sangat rumit seperti obrolan-obrolan penting kuasa elit. Thomas dengan kisah sedihnya, Gie dan segala kehancurannya.
“Gie, kau ingin hidup seperti apa?” “Ya, hidup begini saja.” katanya. “Kau?”
Thomas tidak menjawab tapi tertawa. “Tak ingin hidup seperti orang lain?” “Entahlah, aku merasa buruk ketika bersama orang lain, beberapa kali aku hampir tidak mengenali siapa diriku saat bersama orang lain. Aku bukan yang sebenarnya aku mau, Thom.” “Baguslah!” Thomas menimpali.
“Bagus apanya? Duniaku sempat berhenti, dan hari ini baru akan kumulai. Aku tidak menginginkan siapapun atau apapun. Hidup saja seperti air. Mengalir sampai jauh, dan hilang. Ha Ha Ha.” Gie menarik satu garis bibirnya. Menampilkan senyum sinis seperti sedang megasihani masa lalunya yang paling ia benci. “Baguslah, kau bisa memaknai hidupmu dengan baik. Kau tumbuh, Gie.”
—
“Thom, hidupmu bagaimana?” “Aku sendirian Gie,” Thomas menceritakannya dengan singkat.
Mereka duduk di pinggir jalan setelah Gie memesan kopi kaki lima dari penjual yang ada di gedung terbengkalai paling terkenal di Embong Malang. Kemudian sama-sama menikmati jalanan yang mulai sepi dan pejalan kaki yang kembali setelah menyelesaikan harinya dari kenyataan.
“Pengasuhku, Maria. Dia adalah orang yang paling marah ketika tahu aku belum pulang seharian. Aku juga ingat cerita-cerita tentang bagaimana aku bisa sampai ke penampungan di usia 4 tahun. Cukup besar bagi seorang anak yang dibuang kan?”
Gie tidak menjawab. Ia memilih mendengarkan dan ingin menikmati kopinya sebelum dingin. Sesekali ia melirik Thomas karena perasaan bersalah yang timbul begitu saja setalah ceritanya. Gie segera menyadari ketika bukan lagi tentang dirinya sendiri lagi.
Thomas meneruskan ceritanya lagi. Tentang orangtuanya, dan bagaimana ia tumbuh menjadi orang yang paling bahagia versinya. Anak sekolah yang rajin dan pintar. Taat dan bersedia kepada Tuhan. Serta kebaikan lain di mata Gie tentang Thomas. Kini Thomas menatap Gie khawatir. Seperti cerita-cerita perpisahan kisah romansa anak remaja yang akan pergi jauh. Atau seperti tatapan bangga orangtua yang melepas anaknya mengejar mimpi di tempat yang antah berantah. Aneh. Gie membalasnya tersenyum.
“Kau tahu, aku dulu mati disana,” Thomas menunjuk salah satu gedung di seberang jalan dengan jam besar yang memperlihatkan identitas toko jam di bawahnya. Tanpa sadar Gie menggeser sedikit tubuhnya agak jauh dari Thomas. Perasaan aneh itu muncul ketika akhirnya Gie menyadari apa yang baru saja ia ketahui.
Pertemuan mereka belum tentu tanpa alasan. Namun entah mengapa ilahi mempersatukan dua dimensi ketika dunianya setengah hancur seperti ini. Gie bukan orang yang selalu ingin bersama orang lain. Baginya Thomas adalah sosok yang berhasil membuatnya nyaman, atau setidaknya mengobrol tentang masalah-masalah pelik yang dialaminya.
Pelarian yang akhirnya membuatnya terbelenggu dengan perasaan-perasaan hancur dan kecewa. Hancur karena Thomas memiliki hari-hari yang buruk sementara Gie yang selalu mengharapkan hari itu tiba di hidupnya. Kecewa karena Gie harus mengetahui kenyataan bahwa Thomas akan meninggalkan dunia selamanya pada akhirnya.
Kemudian Thomas akan menyadari ada sedikit ekspresi yang selalu tak ingin ia harapkan dari orang lain. Tanda-tanda kegagalan ketika Thomas mencari sosok yang menerima dengan apa adanya meski untuk yang terakhir. Gie menunjukkan gelagat terkejut. Takut. Tubuhnya kaku memandangi Thomas yang perlahan menjadi cahaya yang waktu itu dilihatnya sangat silau. Cahaya yang kemudian akan jadi silau yang barangkali diingat sepanjang hidupnya.
—
Gie, dunia ini tak pernah adil unutukku. Untukmu. Dunia tak pernah adil untuk semua orang.
Gie terus mengingat kalimat itu ketika obrolan mereka di jembatan penyebrangan. Hari ini Gie datang untuk merokok seperti biasanya. Ia terduduk bersandar pada besi-besi penimpang dinding yang berkarat dan usang. Suara hujan yang keras diatap seng membawanya pada alunan sedih. Kemudian ia berhasil membacakan surat lama,
“Teruslah hidup dengan sia-sia,”
Kemudian membakarnya.
Cerpen Karangan: Annisa Salsabila Facebook: Annisa Salsabila (bukan pengguna aktif) Mahasiswi biasa-biasa saja
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com