“Aku kesal dengan manusia,” ujar Matahari mengadu pada Langit. Tubuhnya memancarkan sinar yang amat terang, menyinari penghuni bumi hingga membuat mereka merasakan terik yang amat sangat.
Langit yang berwarna biru bergradasi putih itu membalas “Kenapa Kau kesal dengan manusia?” tanyanya. Matahari semakin memperkuat sinarnya, bila ia membayangkannya selalu saja, Matahari akan merasa kesal dan sedih secara bersamaan. Perasaan itu selalu saja menggerogotinya, menyuruhnya mengeluarkan sinar terik sebagai bentuk ketidakterimaannya.
“Manusia, mereka makhluk jahat dan egois. Mereka hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan makhluk lain yang ada di sekitar mereka,” Matahari mencoba menahan emosi dalam dirinya tapi tak bisa, perasaan marah itu meluap-luap, sinar teriknya semakin kuat dan berhasil membuat makhuk yang sedang dibicarakannya menyeka keringat yang terus keluar dari dalam tubuh mereka.
Langit terdiam, menunggu kelanjutan pembicaraan sang baskara bumi. Sejujurnya, Langit juga kesal dengan manusia. Makhluk yang mempunyai otak namun bagaikan hewan yang tak diberi otak oleh Sang Kuasa. Bahkan menurut Langit, hewan dan tumbuhan lebih baik daripada manusia. Setidaknya hewan juga tumbuhan tidak merusak, kedua makhluk hidup itu malah memberi manfaat pada satu makhluk yang egois. Sedangkan manusia, seperti yang telah dikatakan oleh Sang Baskara tadi.
“Mereka memperlakukan Bumi dengan semena-mena, bahkan hewan, tumbuhan, juga Kau Langit. Aku tak bisa menerimanya, Aku ingin sekali berhenti menyinari mereka, namun tak bisa sudah tugasku untuk menyinari mereka dan menghangatkan Bumi. Aku selalu terbit dari ufuk timur sebelum mereka bangun dari alam mimpi. Sinarku menerobos celah-celah jendela rumah mereka, menyuruh mereka bangun untuk melaksanakan ibadah wajib kepada Sang Penguasa namun makhluk egois itu malah mengabaikannya, tak mengubrisnya sama sekali. Sungguh, Aku sangat kesal Langit!” Lagi dan lagi Matahari menambah suhu panasnya.
Dalam diamnya, Langit setuju dengan apa yang dikatakan Matahari tentang manusia. Manusia memang makhluk hidup egois yang hanya bisa merusak, mereka tak bersyukur dengan nikmat yang diberikan Sang Penguasa. Bukan menjaga dan merawatnya dengan baik, mereka malah merusaknya. Dan setelah rusak serta hancur berkeping-keping, manusia tak ada niatan untuk memperbaikinya mereka malah meninggalkan dengan raut ekspresi seolah-olah tak penah terjadi apapun, tanpa rasa bersalah sedikit pun di benak mereka.
Matahari kembali melanjutkan curhatannya setelah jeda yang cukup lama, mungkin Sang Baskara itu tengah berusaha menahan kemarahan dalam dirinya “Di sisi lain, Aku sedih melihat Bumi yang semakin hancur dan rusak karena ulah manusia. Kenapa Bumi harus dihuni oleh mahkluk egois dan jahat layaknya iblis berkedok sebagai manusia?” Sinar teriknya perlahan meredup.
“Aku tidak sanggup menyaksikannya Langit, Kau dan Bumi terkena dampak dari ulah mahkluk egois itu. Sebagai pusat alam semesta, Aku menyaksikan semuanya. Sinarku yang sangat panas ini memantul ke Bumi dikarenakan Atmosfernya yang semakin menipis. Menembus pertahanan Bumi, Aku tak bisa menghentikannya.
Efek rumah kaca, global warning, pembakaran hutan tanpa disertai reboisasi dan lainnya semua itu gara-gara manusia. Mereka sering kali berulah tanpa memikirkan bagaimana Bumi di masa depan nantinya dan Bagaimana nasib mereka kelak kalau Bumi hancur. Mungkin, generasi manusia di masa depan kelak tidak akan menjumpai yang namanya hewan dan tumbuhan asli. Mereka akan mudah menciptakan tiruan tumbuhan dan hewan dengan teknologi canggih pada masa itu. Namun, daripada yang palsu lebih baik yang asli kan?” Matahari sudah tak lagi mengeluarkan sinar teriknya, perlahan tertutup oleh segerombolan awan kelabu yang memenuhi Langit.
“Langit, bukan cuma Bumi yang terkena dampaknya. Kau juga terkena. Asap-asap kendaraan, pembakaran, cerobong industri berkumpul mengunjungimu. Udara, tanah, air semua tercemar. Aku tahu, manusia itu juga kena imbas atas perbuatan mereka. Tetapi, Aku heran dengan makhluk egois itu, kenapa mereka tetap mengulangi perbuatan keji mereka padahal tahu akibat yang akan mereka dapat nantinya?” tanya Matahari dan tentunya tak mendapat balasan dari Langit yang sedari tadi mendengarkan dengan cermat.
Segerombolan awan kelabu gelap menghalangi Matahari “Sudah waktunya, Aku pamit Langit. Terimakasih karena telah bersedia mendengarkan cercaanku tentang Manusia. Sampai jumpa lagi, Langit!” Matahari menghilang dengan senyum khasnya tertutup oleh segerombolan awan yang menyelimuti Bumi.
Langit termenung, ia berusaha tetap membendung kristal bening yang ada di segerombolan awan kelabu gelap itu. Namun, setelah mengingat curhatan Matahari tentang Manusia, Langit tak bisa lagi menahan butiran air itu turun. Seketika, Bumi menjadi basah. Rintik air hujan turun secara serentak menimpa atap-atap rumah penghuni Bumi. Daun-daun tersiram, terkena air hujan yang meluncur turun.
Langit menangis, ia mengeluarkan air matanya atau yang biasa manusia sebut sebagai hujan. Ia menangis sambil meraung, suara gemuruh terdengar sampai di telinga penghuni Bumi. Kilatan-kilatan putih itu terlukis di permukaan Langit. Perasaannya campur aduk, antara sedih dan marah tercampur menjadi satu.
“Matahari, Aku juga merasakan hal yang sama sepertimu. Bedanya, Kau mengeluarkan sinar terik sebagai bentuk ketidakterimaan. Sedangkan, Aku menurunkan hujan disertai petir dengan izin Sang Penguasa untuk para makhluk egois itu. Hujan bisa menyebabkan banjir, sinar terik bisa membuat kemarau. Tanpa kita sadari, kita telah membuat kekacauan untuk makhluk egois itu. Namun tanpa air, manusia, hewan dan tumbuhan akan kesulitan. Begitupun dengan sinarmu, tanpa sinarmu tumbuhan tidak akan bisa melakukan fotosintesis. Kalau tumbuhan layu atau mati, hewan dan manusia tidak akan menerima oksigen.
Setiap hal pasti ada dampak dan manfaatnya masing-masing. Tanpa hujan manusia akan kesulitan dan tanpa sinarmu manusia tidak akan bisa meghirup oksigen. Tapi, makhluk egois itu seringkali menyalahkan hujan juga sinar terik atas banjir dan kemarau yang menimpa mereka. Mereka tak berpikir bahwa setiap hal pasti memiliki plus dan minusnya masing-masing,” Langit berkata panjang lebar membalas curhatan Matahari tadi, tak peduli sekalipun Matahri telah menghilang.
Langit tetap menangis sambil berujar “Aku bosan dengan cuaca yang terjadi di Bumi. Saat siang sangat terik, sedangkan saat sore malah turun hujan. Sampai kapan Bumi mengalami cuaca ekstrem seperti ini, Matahari?”
Langit pasti bisa menebak cuaca yang terjadi di Bumi, sangat mudah baginya untuk menebak itu semua. Pancaran sinar terik yang di keluarkan Matahari membuat air laut mengalami penguapan melebihi batas bahkan tumbuhan juga. Siklus terjadinya hujan seakan tak pernah absen di Bumi. Evaporasi, Kondensasi, Transpirasi, juga Presipitasi setiap harinya selalu hadir.
Setelah puas meluapkan emosinya, Langit memanggil Matahari menyuruhnya untuk segera menampakkan diri karena sebentar lagi Matahari akan tukar posisi dengan Bulan. Sang Baskara itu akan tenggelam dari ufuk barat sambil membawa sinar teriknya dan memberi para penghuni Bumi pemandangan sore yang indah. Langit sekarang berwarna jingga bercampur merah pertanda bahwa senja telah tiba.
“Hi, Langit! Kita berjumpa lagi walau hanya tersisa beberapa waktu,” sapa Matahari. Meskipun tadi Matahari menghilang, Matahari tetap bisa mendengarkan suara Langit. Langit tersenyum ke arah Matahari. “Aku baik-baik saja, terimakasih karena telah menjadi teman yang selalu ada untukku.” Dia yang Matahari dan Langit tunggu akhirnya bersuara, Bumi sang planet tempat makhluk hidup tinggal. Matahari malas mendengarkan jawaban dari Bumi yang selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja padahal nyatanya kondisinya tidak baik-baik. “Berhenti bilang bahwa Kau baik-baik saja Bumi! Kami tahu Kau tidak dalam kondisi baik, jadi tak ada gunanya membohongi Kami.”
“Aku tahu Kalian marah atas perbuatan yang telah dilakukan Manusia. Tapi, Aku senang bisa menjadi planet yang dapat dihuni. Teman-teman planetku tidak ada yang bisa dihuni, mungkin kecuali Mars. Jangan khawatir kan Aku. Aku bahagia bisa bermanfaat bagi makhluk lain.” Bumi tersenyum tulus. Langit tak paham dengan maksud kata ‘Bahagia’ yang dituturkan Bumi “Apa maksud kata Bahagia yang Kau tuturkan itu Bumi?” Ia bertanya.
Bumi tetap tersenyum “Bahagia itu sederhana, kalimat itu sering terucap oleh para manusia. Memang benar bahwa Bahagia itu sederhana. Kita bisa menemukan bahagia dengan cara sendiri tak perlu meniru yang lain. Seperti rembulan yang bisa bahagia meski di tengah gelap, akar yang tetap bahagia walau tersembunyi dalam tanah, dan karang laut yang tetap bahagia meski dihantam ombak berkali-kali. Sedangkan Aku tetap bahagia meski dirusak terus menerus. Sedangkan kalian, Aku tahu sebenarnya kalian juga bahagia.
Matahari, Kau tetap bahagia meski harus terbit dikala makhluk hidup masih dialam mimpi. Semua perkataan yang Kau ucapkan tadi hanyalah bentuk kekesalanmu pada manusia. Langit, Kau bahagia walau hanya bisa melihat dari atas.”
“Sejujurnya Aku juga kesal dengan tingkah manusia. Aku marah sampai seringkali tanpa sadar melampiaskan kemarahnanku. Gempa, longsor, dan bencana lain itu semua terjadi karena ulahku yang diizinkan oleh Sang Penguasa. Tapi, Aku sadar bahwa Manusia ada beragam-ragam sifatnya. Tidak semua Manusia melakukan perbuatan merusak, ada yang malah berusaha memperbaiki alam seperti sebelumnya walau terasa sangat begitu sulit. Maafkanlah para manusia-manusia egois dan jahat itu. Ikhlaskanlah karena tak ada gunanya kita untuk menyimpan dendam. Biarkan Sang Penguasa yang memberi mereka pelajaran berharga,” sambungnya seperti biasa diakhiri dengan senyuman tulus.
Matahari juga Langit sama-sama termenung, memikirkan semua perkataan Bumi. Mereka akui bahwa semua yang diucapkan Bumi benar. Mereka tenggelam dalam lamunan saking tenggelamnya mereka tak sadar bahwa hari semakin sore.
“Benar apa yang Kau katakan Bumi. Aku melupakan hal itu. Terimakasih karena telah mengingatkan hal penting itu kembali. Aku salut denganmu Bumi, walau sudah dirusak berkali-kali Kau tetap bisa tersenyum dan memberikan manfaat bagi makhluk yang sudah merusakmu. Aku juga kagum denganmu Langit, Kau tetap tegar meski Kau tak sadar. Sampai jumpa kembali, Kawan!” Matahari telah terbenam. Onggokan-onggokan jingga di Langit barat membawa malam.
Tamat.
Mohon maaf apabila terdapat pemilihan kata yang kurang tepat dan tidak berkenan di hati pembaca.
Cerpen Karangan: Allen Hi, Aku Allen. Seorang penulis amatir. Mohon dimaafkan ya apabila ada pemilihan kata yang kurang tepat di hati kawan semua..
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com