Ia barangkali terlalu banyak, mendengar, menyaksikan, sedari pagi buta, sedari cahaya mulai beranjak keluar, bahkan hingga malam dan gelapnya yang merayap menutupi langit dengan sempurna, ia tetap mendengar, menyaksikan, sepotong jalan itu, dengan deru mesin kendaraan, riuh klakson bersahut-sahutan. Barangkali ia terlalu jemu. Atau barangkali juga ia tiada pernah jemu, atau barangkali tiada seorangpun yang tahu, atau barangkali tiada yang pernah benar-benar peduli.
Namun tetap ia di sana. Berdiri dengan tegap. Dibiarkannya siang dan malam berganti, dibiarkannya dingin yang menusuk, hujan badai mengamuk dan panas matahari membakar, di sana. Ia tetap setia. Biar debu dan hujan asam membuat batang tubuhnya perlahan berkarat, ia tetap di sana. Berdiri dan mengamati dengan tenangnya. Menjadi saksi.
Tak peduli pagi, siang, sore, atau kala kelam malam sempurna membunuh cahaya matahari, Ia di sana, tetap di sana. Menjadi saksi berbagai kejadian. Bagaimana orang-orang lalu lalang setiap hari, saling caci-maki sepanjang perjalanan, bagaimana di sudut tikungan sana seringkali terjadi kecelakaan, orang-orang mati setiap hari, laki-perempuan, tua-muda, baik dalam kondisi tubuhnya utuh ataupun telah tercerai berai dan ramai-ramai orang merubungi bagai melihat sebuah pertunjukkan yang begitu seru. Mengabadikannya dalam sebuah video dan foto, juga tak lupa berganti-ganti hilir-mudik sirine mobil patroli polisi atau raungan sirine ambulans, tapi ia bergeming, tetap mendengar dan menyaksikan, tanpa dapat berbuat suatu apa.
Malam-malam kelam itu adalah waktu, di mana matanya dan telinganya jadi lebih peka. Begitulah ia selalu di sana. Menjadi saksi, mendengar, berbagai macam suara dan kejadian.
Misalnya saja, desah-desah perempuan yang mengerang keenakan, di bawah tempatnya berdiri, seorang perempuan tengah digarap disamping mobil truk atau angkot yang berhenti di pinggir jalan itu. Ia di sana. diam dan mengamati, mencium bau keringat dan sp*rma yang begitu busuk dan memuakkan, lalu melihat pula bagaimana wajah-wajah buas penuh nafsu sopir-sopir berganti-ganti. Ia menjadi saksi, bagaimana lemah tak berdayanya perempuan-perempuan bisa bertel*njang melepaskan harga diri sebagai sebuah pakaian, yang katanya semua itu dilakukan hanya demi sesuap nasi.
Yang terlihat dalam pandangannya bahwa perempuan-perempuan itu sama-sama menikmatinya, tertawa-tawa, merok*k dan minum-minum bersama. Kadangkala bahkan perempuan-perempuan itu tak dibayar, bahkan tak jarang mereka terluka, dipukuli para sopir-sopir tak jelas asal dan tuju itu. Tapi betapapun pedihnya, lagi-lagi ia hanya di sana. Tak dapat melakukan suatu apa.
Pernah juga suatu malam ia menjadi saksi sepeda-sepeda motor terjatuh dan pengendaranya berputar-putar terjungkal di aspal. Itu ketika sebelumnya, beberapa pemuda tanggung sengaja membentangkan tali untuk menjeratnya. Seorang dari mereka mengambil sepeda motor itu lalu pergi.
Sementara yang lain, memotong-motong tubuh lelaki itu tanpa punya rasa ngeri, lalu membiarkannya dalam karung di sana. Sampai esok harinya ramai orang-orang berdatangan menyaksikan, deru sirine mobil patroli dan ambulans hilir mudik lagi, dan bentangan garis kuning diikatkan pada tubuhnya.
Lain malam ia juga pernah melihat kejadian yang ia akan terus sesali sepanjang hidupnya. Dua orang laki-perempuan, berbonceng sepeda motor dari ujung jalan sana, berhenti tepat di depan ia berdiri, meninggalkan kardus berisi bayi, lalu pergi tak kembali lagi. Meninggalkan kardus itu selamanya di sana. Dan begitulah Sepanjang malam ia hanya bisa meratapi diri, mendengar dan terus mendengar, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Sepanjang malam terdengar tangis bayi yang berada dalam kardus itu, melihat kardus itu tertutup dan terbuka, dibayangkannya makhluk kecil lemah itu meronta, dengan tubuh ringkihnya, mencoba bertahan dalam udara malam yang begitu dingin dan menusuk.
Lalu ketika kardus itu berhenti bergerak pada sebuah fajar. Ia tahu. Dan ia berteriak sekeras-kerasnya, ketika keesokan harinya ramai orang-orang berdatangan menyaksikan mengambil video dan foto sesuka hatinya, lalu lagi-lagi terdengar deru sirine mobil patroli dan ambulans hilir mudik lagi, dan bentangan garis kuning diikatkan pada tubuhnya.
“Begitu jahanam, kalian! Hei, manusia!”
Tapi sebuah teriakan dari mulutnya, siapa yang hendak mendengar? Mungkin pepohonan rimbun yang tetap menari-nari diterpa angin, mungkin burung-burung malam yang juga sesekali singgah, bernyanyi sendu, mencoba menghiburnya. Hiburan macam apa yang dapat menentramkan batinnya? Pepohonan itu menari-nari dengan tenangnya, seakan mencemoohnya, nyanyian burung-burung malam itu malah menambah-nambah pilu perasaanya.
Bila terlampau bosan, terkadang ia hanya akan mendengar cerita-cerita dari sebangsanya. Di kala jalan itu tengah sepi. Semua cerita itu juga sama saja. Sama-sama membosankannya. Sama-sama tentang manusia, yang patah hati lalu bunuh diri, manusia dibunuh setiap hari, atau manusia setiap hari berdosa. Manusia setiap hari mati. Entah karena kehausan atau kelaparan. Entah sakit dan tak dapat berobat.
Manusia-manusia lalu-lalang itulah juga, yang kerapkali membuatnya terusik. Yang tiada pernah melihat dirinya dan sebangsanya di sana. Tiada memperhatikan keberadaannya, kadang kala manusia-manusia itu berwujud tukang buah yang hanya singgah dan beristirahat. Kadang kala, berwujud gelandangan numpang tidur, seringkali, musafir-musafir mengencinginya, tanpa menyiramnya. Dan entah berapa ribu manusia macam manusia lagi yang telah dilihatnya.
Ia berusaha tetap di sana. Menjadi saksi. Dan sinarnya tiada pernah cukup untuk menyinari. Ia terus di sana dan tetap bersinar, meski sinarnya begitu redup, tak mampu menerangi jalan raya seluruhnya. Ia hanya bersinar, di sana, di sudut jalan gelap itu. Sinar yang seadanya dan tak terlampau terang.
Sampai pada suatu senja, ketika perlahan cahaya matahari mulai melemah. Datanglah perempuan itu. Perempuan dengan gaun merahnya yang telah berantakan. Perempuan yang berwajah sendu muram. Ia melangkah keluar dari sebuah sedan mewah, dan membanting pintunya dengan amarah. Sedan mewah itu melintas pergi, dan si perempuan terduduk lemah, di sana, di tempatnya berdiri. Dari atas ia mengamati. Wajah perempuan yang kemudian tertutup oleh jemari tangannya. Perempuan itu menunduk, menangis sesenggukan.
Ia hanya di sana. Diam dan menyaksikan dengan tenang si perempuan, yang tengah berusaha menarik-narik gaun merahnya, menjambak-jambak rambutnya sendiri. Namun saat tangis perempuan itu meraung makin jadi, ia tak tahan lagi kemudian menyapanya.
“Ada apa gerangan, duhai manusia, oh, andai saja kau dapat mendengarkanku, aku ingin jua melipur laramu.”
Ajaibnya, perempuan bergaun merah itu nampak terkejut, lalu mendongak ke atas, melihat sinarnya yang redup. Lalu mengusap kedua air matanya sendiri. Perempuan itu berdiri, memperhatikan tiang yang mulai berkarat itu, merabanya lama sekali, sambil memejamkan mata. Perempuan itu merasakan segala apa yang dirasakannya, sampai tak terasa menetes pula air mata di pipi gembulnya.
“Oh, betapa, malangnya,” ucap si perempuan dengan lirih.
Perempuan itu mendongak, melambaikan tangannya, seakan-akan menyapa.
“Wahai Lampu Penerang Jalan, ketahuilah, sesungguhnya kau dan aku sama saja. Diabaikan, tak dianggap oleh manusia, meski telah mencoba berusaha bersinar sekuat tenaga. Tapi sinar itu memang barangkali tak terlampau cukup, untuk melakukan apa-apa. Untuk dianggap. Tidak. Itu tidak akan pernah cukup.”
“Kau dapat merasakan apa yang kurasa?” tanya Lampu Penerang Jalan.
Perempuan itu tak menjawab pertanyaannya. Malah kemudian memandang ke langit, tepat ke arah barat di mana cahaya Matahari tengah berjuang melawan tikaman demi tikaman senja kelam utusan malam.
“Oi! Kau Surya! Berilah keadilan, dengan cahayamu, berilah keadilan pada Lampu Penerang Jalan ini!” Perempuan itu terus berteriak dan memaki.
“Cih, bahkan kau tak mampu mempertahankan cahayamu sendiri ketika diamuk malam, apakah malam ataukah dirimu yang lebih kuat, wahai Surya, bukankah kau yang selama ini dikira orang-orang satu-satunya sumber cahaya terang benderang? Bukankah namamu begitu tersohor? Bahkan cahaya bulan katanya hanyalah pantulan dari cahayamu? Berilah keadilan! Ayo! Pengecut!”
Maka Matahari di ufuk barat itu entah dengan keajaiban apa naik perlahan, entah bagaimana caranya, entah barangkali tersinggung oleh makian si perempuan bergaun merah, ia naik sejengkal demi sejengkal, mengenyahkan senja, dan kelam, perempuan itu terkejut, memandangnya tertahan di sana begitu lama sampai kemudian ia turun kembali perlahan, dan lenyap.
Lampu Penerang Jalan itu sekejap kemudian mati. Disusul lampu-lampu penerang jalan lain, sepanjang jalan itu begitu gelap. Perempuan bergaun merah terlihat kebingungan dan melihat lalu lalang kendaraan yang sama kebingungannya. Tiba-tiba jalanan jadi kacau-balau. Terjadi kemacetan dan antrian kendaraan yang mengular. Orang-orang yang bosan mulai keluar dari kendaraan dan keheranan akan keadaan itu.
Mereka mulai mengambil foto atau video. Mereka mulai membanjiri sosial-sosial media dengan postingan-postingan mereka. Tanda pagar Lampu Penerang Jalan mati jadi begitu ramai. Menembus angka jutaan.
Perempuan bergaun merah kemudian melihat pula berita-berita yang bertebaran lewat gawainya. Entah bagaimana lampu-lampu penerang jalan seluruh kota itu mati. Penjelasan-penjelasan dari orang-orang yang punya bagian mulai bermunculan. Tapi satupun tak ada yang jelas memberi kepastian.
Dikabarkan bahwa pihak-pihak yang terkait tengah membuat langkah yang perlu. Ada yang mengatakan sabotase, pihak kepolisian menunjuk-nunjuk kelompok teroris, para tentara siaga. Bermunculan pula unggahan video penyelundupan ratusan tenaga kerja asing ke kota itu, dan bermacam spekulasi lain yang kemudian berkembang jadi desas-desus belaka.
Sampai tengah malam ketika si perempuan bergaun merah menyaksikan berita-berita di televisi sambil menikmati bersloki-sloki arak dalam kamar apartemennya, namun masih tak juga diketahui penyebab pasti lampu penerang jalan itu mati.
Jakarta, Desember 2021
Cerpen Karangan: Mas.ubi Blog: nafrisme.wordpress.com Seorang Mahasiswa Tingkat Akhir
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com