Pagi yang cerah dan orang-orang menyambut hari dengan tenang. Mengawali pagi dengan mengerjakan tugas rumah, mencuci atau memasak, bahkan hanya sekadar duduk diam di teras ditemani secangkir kopi panas dan surat kabar yang belum sempat dibaca. Sayang sekali keluargaku tidaklah seburuk itu. Setiap pagi tetangga kami akan lebih sering mendengar suara ribut, piring pecah, hentakan kaki di lantai dan suara-suara nyaring saling menyalahkan satu sama lain.
“Ooh Folrea dimana gaunku?!” “Florea letakkan barang-barang itu ditempatnya semula!” “Cepatlah kau tidak bisa selambat itu Florea!” Dan semua orang mondar-mandir dengan tergesa-gesa. Barang-barang berjatuhan dari tempatnya, dan lantai yang tidak pernah bersih lebih dari satu menit.
“Dimana sarapanku?” “Kau mengambil barang milikku!” “Enak saja! Jangan asal tuduh kau perempuan sialan!” Blablabla. Yaah seandainya keluargaku bisa hidup dengan tenang seperti orang lain.
Namaku Florea, sebut saja aku Flo. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara yang isinya adalah anak perempuan, aku mengemban tugas yang cukup berat. Ibuku adalah seorang wanita yang senang jalan-jalan dan nyaris lupa memiliki rumah, sedangkan ayahku adalah seorang penyair terkenal yang lebih banyak menghabiskan waktunya di kota. Sementara aku, bertanggungjawab mengasuh kedua kakak bodohku dan mengurus rumah yang sejujurnya lebih mirip kapal pecah.
Setiap hari kedua kakakku akan sibuk mempercantik diri, berdandan, mencoba gaun ini dan itu, berteriak memanggil namaku meminta diambilkan ini, minta tolong dicarikan itu atau mereka akan bertengkar tidak jelas hanya karena aku harus memilih siapa yang harus kuurus lebih dulu. Jika mereka sudah selesai, selanjutnya akan ada keributan seperti “Dimana rotiku?” “Eww, kita akan sarapan ini lagi?” “Florea, apakah kau tidak dengar semalam kalau aku sudah muak dengan makanan seperti ini?” Dan berbagai macam celotehnya. Aku hanya bisa menghembuskan napas panjang, menahan kesal didalam hati dan berusaha secepat mungkin menyelesaikan pekerjaan rumah agar aku bisa segera keluar.
Setelah sarapan yang panjang dan berbagai aktivitas lainnya. Kedua kakakku akan bermalas-malasan dan berdebat siapa diantara mereka yang lebih cantik hari itu. Well aku lebih merasa jika mereka sedang berdebat tentang siapa yang bodoh dan siapa yang lebih bodoh. Menjelang siang, saat akhirnya keduanya jatuh tertidur aku akan menyelinap keluar menuju hutan.
“Sasila… Sasilaa dimana kau?” sapa kau ketika telah memasuki hutan. Sasila adalah temanku, satu-satunya teman yang kupunya. Ia adalah seorang peri kecil dengan ukuran tak lebih besar dari ibu jari. Suatu hari, aku bertemu dengannya ketika aku tak sengaja tersesat dan berputar-putar di tengah hutan tanpa jalan keluar. Untungnya peri itu baik hati menunjukkanku jalan pulang. “Sasilaa, dimana kau?” sapaku sekali lagi tanpa sahutan. Aku berjalan terus menyusuri hutan berharap segera bertemu dengan peri itu. Tak berselang lama, kudengar suara samar peri sahabatku diikuti suara seorang laki-laki. Tunggu, laki-laki? “Sasila?” aku memanggil namanya saat kulihat ia tampak tengah berbincang asik dengan seorang anak laki-laki yang jika dilihat dari penampilannya mungkin jarak usia kami terpaut satu tahun.
“Hei! Florea, lihatlah siapa yang aku temui,” Seorang anak laki-laki mengenakan kemeja berwarna putih dengan celana pensil dan sepatu boot, dibahunya tersampir rapih sebuah jubah berwarna kecokelatan dan juga busur panah. Tak jauh dari mereka, tampak seekor kuda sedang asyik melahap rumput segar. “Siapa kau?” tanyaku bingung. “Oh kenalkan lady, namaku Vey aku berasal dari hutan selatan,” ucapnya santun sambil membungkuk ala kesatria. “Aku Florea, aku berasal dari desa dekat hutan,” balasku kikuk sambil berusaha membungkuk ala seorang putri tapi sepertinya aku terkesan seperti orang keseleo berwajah bodoh, melihat Sasila menatapku sambil terkikik geli rasanya ingin kulempar saja dia jauh-jauh.
“Jadi, Florea kau adalah temannya Sila. Betulkah?” tanyanya sambil menampakkan senyuman. Oh sial dia tampan sekali. “Yeah, itu benar,” jawabku gugup. “Syukurlah, aku bisa meninggalkanmu dengan tenang sekarang,” ucapnya pada Sasila. “Apa yang terjadi?” tanyaku bingung. Jelas sesuatu baru saja terjadi dan itu melibatkan mereka berdua. “Perimu tak sengaja tersangkut pada jaring lebahku. Untungnya aku segera melepaskannya,” “KAU?! Berani sekali kau bermain jaring lebah ditempat peri seperti ini. Kau melukai temanku,” geramku seketika. “Tenanglah Florea, aku tidak apa-apa sungguh. Vey sudah menyelamatkanku tadi. Sekarang kita impas,” ucap peri itu segera. Jika laki-laki ini tidak tampan sudah pasti akan kupukul dia dengan dahan pohon. “Baiklah, Vey. Jadi ada maksud apa kau datang ke hutan ini dan membawa jaring lebah huh?” “Tenanglah Florea. Aku tidak bermaksud menyakiti peri manapun. Tempat tinggal kami mulai kehabisan bahan makanan, jadi kami mau tidak mau memperluas wilayah berburu. Aku tidak tahu kalau bagian hutan ini adalah tempat tinggal para peri. Ditempatku peri sudah lama tidak pernah terlihat,” jelasnya tampak meyakinkan.
Tak lama berselang tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda mendekat. Jika tebakanku benar mungkin ada sekitar lima ekor kuda yang berlari kearah tempat kami. Tanpa basa-basi Vey menarikku menaiki kudanya dan berlari menjauh. Aku sempat protes, tapi tak dihiraukan. Sasila tampak terbang melesat bersembunyi di sarangnya bersamaan dengan peri-peri lain yang tampak panik.
Semakin jauh kami menunggang kuda, pepohonan tampak semakin rapat. Aku dan Vey mencari tempat aman untuk kami bersembunyi bersama dengan kuda tunggangannya. “Apa yang kau lakukan? Kenapa kau bawa aku kemari?!” omelku padanya begitu kami tiba dibalik bebatuan besar. “Ssssttt!” balasnya membuatku semakin geram. Kami melongok kearah balik batu ketika para penunggang kuda itu melintas. Mataku terbelalak saat melihat di tangan pereka terdapat sebuah jaring yang kata Vey itu adalah jaring lebah. Tapi bukan lebah yang ada didalamnya melainkan peri. Dengan cepat aku langsung bisa menyimpulkan apa yang terjadi.
“KAU!! Kau adalah penipu! Kau sengaja menjaring Sasila dan berpura-pura berteman dengannya. Padahal kau adalah pemburu peri! Kau keterlaluan,” ucapku geram dengan suara lirih namun penuh dengan penekakanan. “Aku tidak bermaksid melakukan itu. Kau salah paham,” laki-laki itu berkelit. “Aku tidak percaya padamu dasar kau pembohong!” ucapku dan setelah itu aku berjalan begitu saja meninggalkannya.
Sayangnya, beberap saat setelah aku meninggalkan Vey dan kudanya aku menyesali perbuatanku barusan. Bodohnya aku malah memilih berjalan kaki ditengah hutan antah berantah. Seharusnya aku memintanya membawaku kembali sebelum memutuskan untuk marah-marah padanya.
“butuh tumpangan Nona?” Aku menoleh lagi, Vey. Kali ini mau tak mau harus menerima tawarannya atau akan tersesat. Aku harus menyelamatkan Sasila dan peri lain untuk segera menyembunyikan diri. Tapi sial, sungguh kami tidak beruntung. Sesampainya disana ada sekelompok orang berkuda yang tengah menggenggam jaring berisi peri-peri yang terkangkap. Salah satu jaring itu menangkap Sasila.
“Sasila!” teriakku hendak menghampirinya, tapi Vey dengan kencang menahan lenganku agar tidak melangkah lagi. “Halo Vey. Kau membawa teman baru rupanya,” seorang pria yang kukira mungkin usianya 50 tahun dengan kostum yang mirip seperti yang dikenakan Vey menyapa dengan suaranya yang berat. “Iya ayah,” jawab Vey singkat. Apa? Ayah?! Sontak saja aku meronta minta dilepaskan dari cengkeraman Vey.
“Dasar kau penipu Vey! Berani sekali kalian memburu para peri. Kalian kejam! Licik! Lepaskan temanku sekarang juga!” teriakku marah. “Tenanglah gadis kecil. Sayang sekali temanmu ini sudah menjadi milik kami. Peri-peri ini harganya sangat mahal. Cukup untuk membeli persediaan makan selama bertahun-tahun,” ucap Ayah Vey sembari menaiki kudanya.
“Kita lanjutkan perjalanan Vey! Tinggalkan saja teman barumu disini,” perintahnya. Vey lantas mengangguk dan melepaskan cengkeramannya. “Maafkan aku Florea,” bisiknya lalu meninggalkanku di hutan itu membawa pergi sahabatku dan peri-peri yang lain.
Cerpen Karangan: Indar Widia Blog / Facebook: Indar Widiastuti Rahayu
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com