Hawa dingin menyergap malam itu. Dengan tiap langkah aku semakin mengeratkan jaketku. Jantungku berdetak sangat kencang seakan siap mematahkan pelindungnya. Ada hal yang lebih menyakitkan lagi. Ketika aku saja tak mengerti kemana harus pergi. Ragaku seolah sudah terpisah. Berjalan ringan bak kapas. Hatiku bahkan sudah terkoyak. Entah sampai kapan bisa kembali seperti semula. Aku hanya ingin mengumpulkan kembali kepingan kepingan puzzle kecil yang sudah berserakan. Nafasku menderu. Darahku berdesir ketakutan.
“Ah, andaikan aku tak mengenal rasa sakit ini, pasti aku tak terlalu tersiksa secara batin,”
Hingga suatu malam, aku termenung tanpa seorangpun yang menemani. Dewi malam sangat indah memancarkan cahaya remangnya. Aku menengadah. Puzzle itu berhasil kutemukan kepingan demi kepingan. Hingga sudah kugabungkan lagi. Tidak, sulit sekali. Mereka tak mau menyatu. Lagi lagi kupunguti puzzle itu dengan derai air mata yang mulai menganak sungai. Oh, bisakah aku memutar waktu kembali? Andaikan aku mengerti, andaikan aku tak terlalu kekanakan seperti ini, andaikan aku tak egois. Relung hatiku bahkan terlihat kosong. Ada rongga semakin membesar disana. Aku tak mengatakan selamat tinggal. Bau anyir ini terkadang membuatku mual. Lagi dan lagi, aku menangis meratapi keterpurukan yang sudah sangat parah.
Bahkan untuk mengenali diriku sendiri saja sulit. Dada kiriku mulai merongga. Terdapat lubang yang menganga sangat lebar. Puzzle ini mulai berjatuhan. Membuat tubuhku kian melemah. Tanganku masih memasang puzzle demi puzzle. Dengan tangis tak jua terhenti. Aku menyerah. Memang, sudah terpasang semuanya. Hanya satu yang tertinggal. Puzzle berbentuk hati dengan potongan kecil di tiap bagian itu masih berada di tanganku. Aku tak bisa menyusunnya. Maaf, jikalau tak sudi melihatnya, tak apa. Hitam, tak ada darah yang mengalir dari dalam sana. Oh, bisakah aku meminta tolong? Carikan potongan puzzle pelengkap terakhir sebelum tubuhku kian ringkih.
Tidak, aku tak bilang ini terlambat. Tolonglah, hatiku semakin hancur seiring berjalannya waktu. Bahkan lubang itu semakin tak karuan bentuknya. Aku sendiri takut melihat pantulan diriku di cermin. Aku mohon, carikan potongan terakhir itu. Agar aku bisa tenang untuk kembali lagi kesana.
Kantung mataku mulai menghitam. Aku mulai lelah menunggu orang orang yang berjanji akan menolongku. Hingga di detik terakhir, aku mulai tergeletak tak berdaya. Hembusan nafas tanpa arti. Dan darah dengan sangat indah mulai menggenangi tubuh kurusku. Bau anyirnya, menyeruak kedalam hidung. Sebelum aku benar benar mati kedua kalinya, ada seorang anak berteriak memanggil namaku,
“Allie! Aku menemukannya!”
Ia langsung saja memasangkan potongan terakhir itu. Tubuhku perlahan berubah menjadi abu. Abu ku terbang bersama angin yang membawaku pergi entah kemana. Anak itu.. aku berhutang padanya. Walau ia terlambat memberikan potongan puzzle terakhir, setidaknya dia membuatku bahagia.
Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri Blog / Facebook: Macaroon
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com