Terompet berbunyi kencang. Lagu kebangsaan kedua negara dikumandangkan selaras dengan dikibarkan bendera kedua negara di jembatan ini. Semua orang bersorak ramai. Seorang bapak-bapak berjas yang dikawal 3 orang berbadan besar, melewati kerumunan orang tersebut dan menjadi orang pertama yang melintasi jembatan. Ia adalah gubernur kami, dan di jembatan itu juga ada gubernur dari negara Aveniume Barat. Mereka bersalaman. Setelah bersalaman, dilanjut dengan pidato dan sambutan-sambutan. Setelah itu mereka berdua menggunting pita di tengah jembatan ini. Ini bukan peresmian jembatan, tapi inilah Pesta Jembatan Perdamaian!!!
Setelah pita itu putus, ratusan orang melintasi jembatan secara bersamaan. Ini adalah satu-satunya momen dimana mereka bisa pergi ke negara seberang dan menyapa kerabat yang terpisahkan oleh negara ini. Banyak aku lihat mereka menangis bahagia, ada kakek-kakek tua yang menangis berlinang air mata menggendong anak kecil lucu yang kuanggap cucunya. Ada pasangan remaja yang saling berpelukan. Ada yang tertawa dan mengobrol santai. Semua orang bahagia disini. Tapi diantara ribuan orang ini, aku tidak melihat Ella. Aku berusaha melewati jembatan yang penuh sesak ini. Terlintas di pikiranku jembatan ini akan roboh karena banyaknya manusia disini, tapi semoga saja tragedi itu tidak terjadi.
Aku dipeluk oleh seorang gadis. Dia memelukku dengan sangat erat. Aku hampir tidak bisa bernapas. Aku kira tadinya dia Ella. “Azki sepupuku tercinta!!!” dia mengacak-ngacak rambutku, “bagaimana kabarmu? Bagaimana kehidupan di negara timur ini? Bagaimana sekolah militermu? Bagaimana kabar Bibi dan Paman Alvrone?” “Oh Li-linda, bi-bisakah kau me-melepas pelukanmu? Aku ti-tidak bisa bernapas,” Linda, sepupuku dari keluarga ayahku. Ia gadis yang sangat periang. Kami seumuran. Rumahnya sebenarnya tidak jauh, ada dibalik taman bagain Aveniume Barat. Dulu kita sering bermain bersama di taman, sebelum negara ini terpecah.
“Kau makin ganteng saja! Hahahaha!” ia mencubit pipiku. “Hentikan Linda!”, aku membereskan penampilanku, aku tidak mau terilhat acak-acakan oleh Ella, “ngomong-ngomong kau tau gadis yang bernama Ella Aviona?” “Ella Aviona? Aku belum pernah mendengar namanya,” Linda mencoba mengingat, “dia tinggal di barat?” “Iya,” “Siapa dia?” seketika pandangan Linda berubah, “kau punya pacar orang barat? Bagaimana bisa? Kau kan orang timur, mana bisa kalian melewati perbatasan?” “Tidak tidak! Maaf Linda, tapi sepertinya aku harus pergi dulu,” Linda mencoba menarik tanganku, tapi aku sudah lebih dulu kabur.
Diantara kerumunan orang ini, pasti Linda kesulitan mencariku. Aku menembus lautan manusia ini. Kini aku sudah berada di negara Aveniume Barat. Aku menuju tempat biasa dia berdiri, tapi disekitar sini tidak ada dirinya. Padahal aku sudah membawakan roti isi buatan ibuku.
Aku melihat ke sekeliling. Disana ada seorang kakek-kakek yang memakai pakaian formal bersih melambaikan tangan kepadaku. Itu kakekku. Aku menghampiri kakekku. Disampingnya juga ada bibi dan pamanku. Dia memelukku dengan erat. “Kau tambah besar aja jagoan!” Bibiku menciumku, sudah kuduga. “Dimana ayah ibumu?” tanya pamanku, “Masih di seberang,”
“Oh ya kek. Kakek tahu gak gadis yang bernama Ella Aviona?” Kakek berdiam sejenak. “Gadis bergaun putih?” jawabnya dengan nada tinggi. “Iya!” Aku bahagia kakekku mengetahuinya. Ia mengajakku ke tepi pagar pembatas sungai. Tatapannya mulai serius. Ia memandang lurus kedepan, memandang daerah negaraku, Aveniume Timur.
“Bagaimana kau bisa berkenalan dengan Ella Aviona?” tanya kakekku. “Aku melihatnya sendirian di sini saat aku pulang sekolah, sejak itu kami saling memandang dan saling berkirim surat,” “Aku bingung harus mulai dari mana,” Ujar kakek ku. “Maksud kakek?”
“Ayah kakek pernah menceritakan tentang Dewi Perdamaian waktu kakek kecil dulu,” Kakek menatap ke langit, “dulu, waktu kakek kecil, sedang zaman-zamannya negara ini berperang. Kakek juga sama seperti Azki, wajib sekolah militer,” Aku belum mengerti. “Sebelum berperang, banyak prajurit yang melihat seorang gadis bergaun putih yang menangis di bawah pohon maple. Beberapa orang percaya, gadis itu Aviona, Sang Dewi Perdamaian,” Aku tambah bingung.
“Dewi perdamaian bertugas untuk mencegah terjadinya peperangan di muka bumi ini. Mungkin waktu itu dia sedih gagal menjalankan tugasnya, karena menyaksikan pertumpahan darah di negara kita dulu,” “Tapi sejak kakek dewasa, negara mulai damai dan tentram. Tidak terdengar lagi soal Dewi Aviona yang menangis di bawah pohon maple,” “Apa kau melihat dia menangis Azki?” Aku menggeleng. “Mungkin dia bingung akan perang saudara negara kita. Ia berkomunikasi denganmu mungkin karena memiliki pandangan yang sama.”
“Jadi dimana Ella?” aku bertanya, “Ada disini,” “Disini itu dimana?” Kakekku menunjuk dadaku. “Hari ini, saat jembatan perbatasan berubah nama menjadi perdamaian. Saat bendera kedua negara saling berkibar. Saat kedua pimpinan negara bersalaman. Saat para tentara sibuk berpesta dan tidak memikirkan perang. Ella Aviona ada disini,” “Di hati kita semua. Termasuk hatimu Azki,” Aku terdiam. “Dewi Aviona yang memberkahi perdamaian ini,”
Aku tidak tahu kenapa mataku berkaca-kaca. Bahkan aku tidak tahu sejak kapan Linda ada disampingku. Sepertinya ia tidak tahu apa yang kita bicarakan, atau pura-pura tidak tahu. “Ayo kita lihat kembang api itu Azki!,” Linda menarik tanganku. “Tunggu sebentar,” Aku menaruh roti isi ibuku di akar pohon maple, dan menulis pesan singkat di kertas roti itu. Untuk Ella Aviona, Enak kan roti isi buatan ibuku? Besok kita janjian di taman seperti biasa ya! Nanti aku bawakan roti isi lagi deh! – Azkiane Alvrone Aku tersenyum kepada pohon maple. Ia pun membalas dengan lambaian ranting.
Lagi-lagi Linda dengan kuatnya menarik tanganku, sebelum aku melambaikan tangan kepada pohon maple ini. Pesta Jembatan Perdamaian ini semua orang diwajibkan bahagia. Ella Aviona lah yang membuat hati kita melupakan perang saudara beberapa tahun ini. Kita terlalu sibuk berpesta dan berbahagia. Tentara antar negara pun kulihat sedang berdansa dengan semangatnya. Pak Gubernur Timur sedang terlihat tertawa terbahak-bahak bersama Pejabat Barat. Beberapa remaja seumuranku dengan eratnya berpelukan dengan mata berkaca-kaca.
Untuk Ella Aviona Kau sudah melaksanakan tugasmu dengan baik Ella, setidaknya dalam seharian ini. Kau tidak perlu menangis di bawah pohon maple lagi. Jika sedang sedih, tunggulah pukul 4 sore, aku akan menemanimu hingga matahari terbenam di taman ini. Jangan takut! Kita akan makan roti isi bersama. Saling berkirim surat. Menjahili Pak Ivano. Saling memandang. Menyaksikan matahari terbenam. Masih banyak yang bisa kita lakukan nanti. Aku yakin suatu saat jembatan ini akan dibuka untuk selama-lamanya. Jika saat waktu itu tiba, kita bisa berdiri di tengah jembatan dan menyaksikan matahari terbenam dengan lebih jelas sembari makan roti isi ibuku. Atau kita bisa duduk berdua di taman. Atau jika kau mau, kita akan keliling kota bersama.
Oh iya! Terima kasih untuk hari ini ya! Berkatmu, kita bahagia di Pesta Jembatan Perdamaian ini. Aku tidak melihat ada orang sedih dan marah disini. Ini semua berkatmu Ella! Kami semua berhutang padamu! Aku sangat ingin bertemu denganmu. Salam Hangat, Azkiane Asvene
Cerpen Karangan: Rifqi Herdandi instagram.com/rifqi_herdandi