“Seperti yang kita tahu anak-anak, bahwa para tokoh pejuang di negeri kita ini baik yang tertulis dalam buku sejarah maupun tidak itu jumlahnya banyak sekali. Bahkan berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, diantara para pejuang itu banyak yang memiliki ilmu-ilmu spiritual (disebut juga ilmu kanuragan) dengan berbagai jenis ajiannya. Karena meskipun pahlawan kita memiliki senapan, tapi toh hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menggunakannya. Lantas yang lainnya menggunakan bambu runcing, keris dan golok. Apakah itu cukup?” Helaan nafas Pak Arya terdengar.
Ia kemudian melanjutkan penjelasannya. “Tentu tidak. Pasti banyak unsur-unsur spiritual yang ikut berperan disana. Boleh jadi banyak tokoh pejuang di Indonesia yang memiliki kemampuan khusus tersendiri yang tidak kita ketahui sampai sekarang,” ucap Pak Arya menutup pelajaran sejarah hari ini.
—
“Apa mungkin buyutku ada yang seperti dikatakan Pak Arya? Pejuang yang punya kemampuan khusus.” Jaka yang saat itu telah sampai di rumah masih terpikirkan penjelasan Pak Arya tadi. Tanpa disadari omongan Jaka terdengar oleh ayahnya. Ayah Jaka pun tersenyum ketika mendengar ucapan Jaka.
“Jaka, sini!” panggil Ayah Jaka. Ayah Jaka lalu mengambil sebuah album foto dan menunjukan sebuah foto tua yang masih terawat utuh kepada Jaka. Ia menunjuk salah seorang pemuda disana dan kemudian menceritakan tentang sosok pemuda itu.
“Pemuda ini adalah kakek buyutmu. Namanya Jaka Brajamusti, mirip sekali namanya dengan kamu. Wajahnya pun hampir sama persis asal kamu tau,” jelas bapak. “Ia adalah salah satu pejuang sakti di Nusantara kala itu. Kalau kata kakek, ia memiliki ilmu kanuragan dan ajian seperti salah satu lakon pewayangan yang bernama Gatot Kaca. Meski kakek buyutmu hanya mampu mengusai sebagian kecil dari ajian itu. Tapi itu sudah cukup menjadikannya salah satu tokoh paling ditakuti penjajah kala itu.” Suasana menjadi hening sejenak. Jaka terkejut sekaligus merasa amat bangga. Siapa yang tidak terkejut, ternyata kakek buyutnya adalah seorang pejuang sakti seperti di film-film superhero. Apalagi wajahnya persis mirip. Kok bisa? Begitu pikir Jaka.
“Yasudah Bapak istirahat dulu, Jak, sudah larut malam.” Setelah beberapa saat mencerna cerita bapaknya, Jaka pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamar dan tidur.
Di dalam kamar, Jaka langsung merebahkan tubuhnya dan tertidur. Akan tetapi ia tiba-tiba terbangun setelah melihat cahaya terang yang menyilaukan mata di kamarnya. Ia melihat sebuah pancaran cahaya berbentuk seperti pintu setinggi 2 meter dengan warna biru putih cemerlang. Kewaspadaan menghinggapi Jaka, tapi rasa penasarannya lebih besar.
Perlahan Jaka mendekati pintu cahaya misterius itu. Jaka mencoba memasukkan tangannya. Ini seperti portal-portal dungeon yang sering kubaca di komik. Anehnya cahaya portal itu tiba-tiba semakin terang dan menarik paksa Jaka ke dalamnya. Portal itu lalu lenyap tak bersisa. Lengang menyusul di kamar Jaka.
“Aaaaa…” Teriakan Jaka yang terjatuh entah kemana. Hanya warna putih saja yang ia lihat. Beberapa menit berlalu, Jaka akhirnya tiba di dasar ruang serba putih itu. Mengambang sejenak lalu jatuh. Ketika Jaka mencoba bangkit, pemuda tinggi tegap itu melihat sebuah cermin di depannya. Terpantul sebuah bayangan disana yang sama persis seperti Jaka. Bedanya sosok bayangan Jaka di cermin itu mengenakan baju dan celana hitam dilengkapi sabuk berwarna emas. Ikatan batik di kepalanya membuat bayangan tersebut terlihat semakin gagah perkasa. Itu, aku? Jaka masih merasa bingung. Tunggu sebentar. Setelah dipikir-pikir, Jaka akhirnya teringat akan foto kakek buyutnya dalam sebuah album lama yang ditunjukkan ayahnya malam ini.
Persis ketika Jaka masih mencerna situasi, bayangan dalam cermin itu tiba-tiba berbicara. “Iya, Jaka. Saya kakek buyutmu. Jaka Brajamusti.” Jaka terkejut dan terjatuh. Dengan tatapan tidak percaya, ia terus mengamati bayangan di depannya. “Merupakan kebanggaan melihat cucu buyutku terlihat gagah dan dapat dipercaya. Kamu juga sangatlah mirip denganku.” Senyum penuh kasih sayang dan rasa percaya terpancar dari sosok dalam cermin tersebut. “Tidak ada waktu lagi, wahai cucuku. Tolonglah orang-orang. Lindungi mereka. Sabar dan percaya dirilah. Semoga engkau bisa menyelesaikan tugas yang seharusnya dilakukan.” Sosok itu kemudian mengeluarkan sebuah cahaya kuning terang dari kedua tangannya dan mengirimkan cahaya itu masuk ke dalam tubuh Jaka. “Sekarang, pergilah! Biarkan takdir menuntunmu.” Sosok itu kemudian menghilang. Ruangan yang hanya tersisa Jaka disana pun tiba-tiba mulai hancur.
Bugh… Terdengar suara benturan di atas tanah. Disana seorang pemuda nampak terjatuh dengan posisi tengkurap di sebuah hutan rindang. Pemuda itu kemudian berusaha bangkit dari posisinya. Sambil menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor ia mengamati situasi sekitar. Dimana ini? Betapa terkejutnya Jaka ketika melihat bahwa pakaian yang ia pakai berbeda dengan apa yang dikenakan sebelumnya. Seperti setelan pendekar, Jaka mengenakan pakaian serba hitam dengan sabuk berwarna emas. Di tangannya sendiri ia memegang ikat kepala yang tak asing lagi. Jaka pun tersadar bahwa ikat kepala dan pakaian yang dipakainya sama persis dengan apa yang dikenakan oleh kakek buyutnya. Ia kemudian berpikir sejenak dan berusaha kembali mengamati situasi sekitar sembari mencari jalan keluar. Berharap menemukan pemukiman terdekat di sekitar hutan.
Setelah berjalan kaki sekitar satu jam, akhirnya Jaka menemukan sebuah desa. Penduduk disana semuanya berpakaian khas orang-orang dulu. Anehnya, banyak dari mereka, khususnya kaum laki-laki, yang terlihat penuh luka sedang diobati. Entah itu luka ringan maupun berat. Mengenaskan tentu bila dilihat. Apa yang terjadi disini? Jaka masih terus mengamati keadaan penduduk disana.
Tiba-tiba terlihat beberapa orang pemuda mendekati Jaka. Pakaian mereka mirip dengan apa yang Jaka kenakan. Hanya saja warna sabuk dan ikat kepalanya berbeda. Mereka sedikit menundukkan kepala ke arah Jaka, memasang posisi salam hormat pendekar. “Akang! Gawat, Kang,” ujar salah satu dari mereka. Dari tubuh mereka pun terlihat banyak luka yang diperban. “Tadi ketika Akang sedang pergi berlatih di hutan, tiba-tiba datang sekelompok orang prajurit kompeni Belanda kesini. Sepertinya mereka sedang melakukan pengintaian di sekitar wilayah kadipaten ini, termasuk desa kita.” Kemudian orang itu melanjutkan. “Terjadi sedikit baku tembak, Kang. Tapi untungnya kita bisa menghalau mereka pergi, meski pada akhirnya kami menderita banyak luka karena senapan yang mereka gunakan”.
Jaka sebenarnya masih bingung dengan runtutan peristiwa yang ia hadapi. Akan tetapi pemuda itu berusaha tetap tenang mendengar penjelasan mereka. Entah kenapa, Jaka merasa familiar dengan orang-orang dan desa itu. Mungkin ini maksud dari kakek buyut. Pada akhirnya Jaka meneguhkan tekad. Dengan amarah yang memuncak di dadanya, ia lalu bersinkronisasi dengan sosok Jaka Brajamusti, kakek buyutnya. Ia mengangguk, “Maka mereka pasti akan kembali menyerang kesini.” Jaka kemudian menghela nafas sejenak. Ia memutuskan “Semuanya bersiap! Kita lindungi desa ini.” Suara Jaka terdengar lantang berwibawa. “Baik, Kang.”
Cerpen Karangan: Kresna Azhi Fahlevi Blog / Facebook: Muhammad Kresna Azhi Fahlevi Kresna Azhi Fahlevi. Biasa dipanggil Kresna atau Azhi. Seorang jajaka kelahiran Bandung tahun 2002 ini berasal dari Kota Kuningan, Jawa Barat. Motto hidupnya adalah “man sara ‘ala darbi washala”.