Pemukiman itu pun terlihat sibuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menghadapi pasukan kompeni Belanda yang akan datang.
Beberapa hari telah berlalu. Meskipun terkesan seadanya, persiapan penduduk desa terbilang cukup matang. Mulai dari strategi perang, persenjataan hingga ilmu bela diri pun mereka pelajari melalui latihan dari saudara-saudara seperguruan kakek buyut Jaka. Jaka juga entah bagaimana tiba-tiba bisa mengingat dan mempraktekkan sedikit demi sedikit gerakan silat yang diajarkan kakek buyutnya. Hanya tersisa satu ajian saja yang belum bisa ia kuasai. Ajian itu bernama Ajian Brajamusti. Sudah tak terhitung berapa kali Jaka mencoba mengasah ajian ini. Mulai dari mendalami ingatan kakeknya, bersemedhi, dan masih banyak lagi. Tapi nihil. Entah, mungkin ada beberapa kondisi khusus yang belum Jaka penuhi. Anggota seperguruannya sendiri pun tidak bisa membantu Jaka. Karena pada dasarnya yang menguasai ajian itu hanya kakek buyut Jaka, yakni Pendekar Jaka Brajamusti.
Ketika matahari mulai terbit dari timur. Cahanya pun mulai menerangi bumi sejengkal demi sejengkal. Pagi ini ada yang berbeda. Tidak disambut oleh rutinitas biasanya. Penduduk desa nampak sedang bersiaga. Hawa peperangan sudah terasa dimana-mana. Strategi sudah diatur. Mereka berperang agak jauh dari pemukiman. Kelompok penyerang jarak jauh ditempatkan di tempat-tempat tinggi. Begitu juga kelompok infantri garis depan. Mereka telah siap siaga dengan segala senjata di tangan. Menunggu apa yang sebenarnya tidak mereka inginkan.
Beberapa pesan singkat telah sampai dari telik sandi di perbatasan. Mereka menyampaikan bahwa musuh sudah dekat. Jaka memberikan aba-aba kepada para pemanah yang tersebar untuk mengangkat panahnya. Kelompok infantri yang bersembunyi di balik pepohonan pun mulai sigap. Ketika pasukan penjajah sudah terlihat cukup jaraknya. “Serang…!” Dengan satu aba-aba dari Jaka, penyergapan itu dimulai.
Pada awalnya, sergapan pasukan Jaka terpantau sukses. Alur peperangan berada di bawah penduduk pribumi. Semua nampak lancar terlihat. Pemanah terus membidik dan meluncurkan anak panahnya. Kelompok infantri pun menyerang pasukan musuh dengan gagah berani. Bunyi dari lesutan anak panah, senapan yang terdengar sahut-sahutan dan benturan pedang terdengar seperti simponi tersendiri di medan perang. Dilengkapi dengan senjata sakti dan ilmu pencak silat, mereka berhasi memukul mundur pasukan Belanda. Meski pihak Belanda kebanyakan menggunakan senapan, akan tetapi mereka kalah taktik. Pasukan Jaka banyak memanfaatkan medan sekitarnya. Selain itu persenjataan berat pasukan Belanda yang tidak bisa mereka bawa pun berpengaruh besar.
Ketika kemenangan sudah di depan mata, tiba-tiba terdengar kabar yang kurang mengenakkan. Tenyata pasukan bantuan dari pihak kompeni Belanda akan segera tiba. Menyikapi hal ini Jaka dan saudara seperguruannya memutuskan untuk mundur. Mereka tidak ingin banyak korban berjatuhan dari penduduk pribumi yang terlihat kelelahan. Dengan jumlah 12 orang, merekalah yang akan menahan serangan pasukan Belanda sebisa mungkin. Meski awalnya menolak, penduduk pribumi akhirnya setuju. Mereka diminta agar pergi ke kadipaten terdekat untuk meminta bantuan.
Setelah semua penduduk pergi, tinggallah Jaka dan 11 saudara seperguruannya. “Wahai saudara seperguruanku, sekaranglah saatnya kita untuk berjuang Bersama-sama hingga titik darah penghabisan.” Jaka mengungkapkan isi hati dan berusaha menyemangati.
Peperangan pun kembali meletus. Meskipun sangat jauh dari jumlah pasukan musuh, mereka bisa bertahan bahkan menyerang dengan sengit. Semua kemampuan dan ajian mereka gunakan. Semua berjalan lancar hingga seorang pemimpin pasukan musuh muncul dan berhasil membunuh saudara seperguruan Jaka satu per satu dengan trik liciknya. “Rasakan! Kalian pikir kaum inlander seperti kalian ini setara dengan saya.” Terlihat pemimpin pasukan Belanda itu berusaha mengganggu dan menghina pasukan Jaka. Dengan kejamnya, Ia memerintahkan anak buahnya untuk menggantung terbalik saudara seperguruan Jaka yang terbunuh. Melihat hal itu, Jaka pun marah. Ia kemudian menyerang membabi buta. Pukulan, tendangan, guntingan, tebasan, semua ia gunakan. Saudara seperguruannya yang tersisa pun ikut membantu. Mereka dengan setia berada di sisi Jaka. Dengan kelelahan serta luka yang semakin menumpuk, Jaka pun mulai ambruk.
“Kang, lari! Biarkan kami yang memberi jalan.” Seketika itu tiba-tiba 2 buah tembakan tepat mengenai dada dua orang saudara Jaka yang tersisa ketika hendak melindungi Jaka. Ilmu kebal yang mereka miliki telah melemah karena tenaga dalam yang kurang. “Kang… Lari….” “Tidaaakk!” Jaka berteriak kencang sekali.
Lalu suatu hal tak terduga pun terjadi. Tubuh Jaka tiba-tiba dikelilingi aura tenaga dalam berwarna kuning keemasan. Semua pasukan penjajah yang tersisa pun terkejut. “Kalian akan membayar semuanya.” Ajian Brajamusti milik kakek buyut Jaka ternyata baru aktif ketika rasa amarah dan ikhlas terpicu bersamaan menjadi sebuah pengendalian emosi yang sempurna.
Sukma Jaka telah berfokus pada satu kehendak. Menang atau Mati. Ketika semua syarat tersebut terpenuhi, jadilah Jaka dapat menggunakan ajian itu. Aliran peperangan pun kembali terbalik. Dengan tubuh kebal dan tinjuan super, Jaka berhasil mengambil alih medan perang sendirian.
Tiga jam telah berlalu dan Jaka pun berhasil mengalahkan dan mengusir pasukan kompeni Belanda. Akan tetapi sangat disayangkan, luka di sekujur tubuh Jaka sangat dalam. Tenaga dalam Jaka pun sudah terkuras habis. Meski Ajian Brajamusti telah ia kuasai, tubuhnya tidak dalam kondisi yang sempurna. Sehingga efek sampingnya malah menambah parah luka Jaka sedikit demi sedikit.
Inilah akhirnya… “Kakek, Jaka berhasil.” Sebuah senyum terlihat di wajah Jaka. Sampai bertemu, Kek. Menyusul hembusan nafas terakhir menandakan kematian datang menghampiri.
“Jaka! Bangun!” Suara teriakan ibu terdengar dari luar kamar. Jaka mengerjapkan matanya, ibarat sedang mengumpulkan nyawa. Eh. Setelah sadar, Ia terkejut. Jaka langsung memeriksa seluruh tubuhnya. Ia juga mengingat semua kejadian yang telah ia alami. Ternyata hanya mimpi. “Hahaha….” Jaka tertawa. Ia sedih sekaligus bersyukur. Sedih karena masih terbawa perasaan kehilangan dari mimpinya dan bersyukur karena semuanya hanya mimpi.
Banyak pelajaran yang Jaka peroleh dari mimpi itu, seperti kesetiakawanan, pengorbanan dan keikhlasan. Begitu pula sensasi mimpi itu sendiri tentu berbekas jelas di dalam benak Jaka. Ia lalu berpura-pura menggunakan Ajian Brajamusti dengan mendaratkan sebuah pukulan ke pintu. Brak! pintu itu hancur berantakan. Jaka tercengang dengan mulut ternganga lebar tidak percaya. “Haaahh…!!!”
Cerpen Karangan: Kresna Azhi Fahlevi Blog / Facebook: Muhammad Kresna Azhi Fahlevi Kresna Azhi Fahlevi. Biasa dipanggil Kresna atau Azhi. Seorang jajaka kelahiran Bandung tahun 2002 ini berasal dari Kota Kuningan, Jawa Barat. Motto hidupnya adalah “man sara ‘ala darbi washala”.