Sering kudengar dongeng tentang peri, dari buku anak-anak dan juga film. Ayahku juga sering menceritakan kisah peri, hampir setiap hari, disetiap malam sebelum tidur. Hingga terbayang dalam imajinasi jika dunia peri benar-benar ada. Ingin aku memasukinya, melihat wajah-wajah rupawan, tubuh tinggi semampai, telinga runcing dan kulit yang bercahaya. Penggambaran yang sering kulihat dalam film. Mereka menyebutnya bangsa elf.
Di dunia antah berantah. Entah ini nyata atau hanya ada dalam kepalaku. Dunia peri tergambar jelas di depan mata. Menampakkan deretan pepohonan, sungai-sungai jernih, dan pegunungan. Seorang peri cantik berdiri di hadapanku.
“Hai” sapa peri itu.
Tak kujawab sapaan sang peri. Kebingungan menguasai pikiranku. Aku yang sebelumnya berada di dalam kamar, berpindah tempat secara tiba-tiba. Hutan belantara kini menjadi tempatku berpijak.
“Aku Merelyn. Kamu sekarang berada di dunia peri” dia berkata lagi. “Bagaimana bisa?” tanya ku. “Melalui buku yang kamu pegang”
Dia menunjuk buku yang ada di tanganku. Kupandangi buku ini, buku yang selama ini disembunyikan ayah. Tak pernah sekalipun aku membacanya, bahkan memegangnya pun tidak. Kali ini aku mengambilnya diam-diam. Dan inilah yang terjadi. Terdampar di dunia peri.
Buku lusuh ini ternyata adalah portal.
“Aku bisa menarik manusia untuk masuk ke dunia peri lewat buku itu. Tapi aku tak tau caranya untuk masuk ke dunia manusia. Buku itu tak bisa membantu. Untuk itu aku butuh bantuanmu. Bawa aku ke duniamu” Merelyn menjelaskan. “Tapi aku juga tak tau caranya” “Nanti kamu akan tau” Merelyn tersenyum, sosok yang sebelumnya berada di sampul buku itu kini nyata berada di hadapanku. Dia menarik tanganku untuk mengikutinya.
Aku pun berjalan mengikuti langkah peri cantik itu. Tubuhnya hampir sama seperti manusia. Tangan, kaki, wajah, semua sama. Hanya saja dia memiliki telinga yang runcing. Rambutnya berwarna pirang keemasan dan wajah yang seolah memancarkan cahaya.
Nyaris tak dapat kupercaya. Sebuah buku telah membawaku ke dunia fantasi. Bukan lagi imajinasi.
Sambil berjalan Merelyn bercerita jika dulu ada manusia datang ke dunia peri. Lalu orang itu mengambil sesuatu yang berharga milik Merelyn dan kembali ke dunia manusia. Merelyn harus menemuinya.
Merelyn berhenti di sebuah pohon di tepi hutan. “Disini terakhir kali aku melihat manusia itu” ucap Merelyn.
Dia lalu mengeluarkan selembar kertas berisi sketsa wajah dari dalam sakunya. “Namanya Bagas” Aku melihat sketsa wajah itu. Seorang pria muda, tampan dengan wajah yang tak asing bagiku. Tapi tak bisa kuingat siapa dia.
“Aku belum tau siapa namamu” Merelyn menanyaiku. “Namaku Elyn. Merelyn, sama seperti namamu” jawabku. “Bukankah itu kebetulan yang aneh” Merelyn tampak terkejut. “Aku pun berpikiran begitu” “Seperti sebuah takdir” ucap Merelyn. Aku mengangguk setuju.
“Ayo kita ke rumahku. Aku harus memberimu tumpangan tempat tinggal sebelum kamu menemukan jalan untuk kembali” Merelyn mengajakku pergi.
Tak jauh dari pohon besar itu, terdapat sebuah rumah kayu kecil. Tampak sederhana tapi terlihat kokoh. “Masuklah” kata Merelyn begitu kami sampai. Seorang wanita berwajah ramah membukakan pintu untuk kami. Wanita itu tersenyum.
“Hestia ini Elyn temanku. Elyn ini Hestia, pelayan di rumah ini” Merelyn memperkenalkan. Aku dan Hestia saling bersalaman. Kemudian aku duduk di kursi ruang tamu. Hestia duduk di kursi sebelahnya. Sementara Merelyn pergi ke belakang. Memasuki sebuah ruangan yang kupikir adalah kamarnya.
“Maaf aku tidak bisa menyajikan makanan untukmu. Manusia tidak akan bisa kembali ke dunianya jika ia menyantap makanan dari dunia peri” Hestia membuka pembicaraan. “Itu berarti waktumu tak banyak” lanjut Hestia. Nampaknya Hestia sudah tau untuk apa aku berada disini.
Kulihat di sekelilingku. Tak ada rumah-rumah lain dan tak ada peri lain. “Aku tidak melihat peri lain. Apa hanya ada kamu dan Merelyn disini?” tanyaku. “Kami diasingkan” Hestia menarik napas dalam-dalam kemudian melanjutkan.
“Sebenarnya Merelyn adalah seorang puteri. Setiap puteri terlahir dengan mutiara peri. Tapi Merelyn menghilangkan mutiara itu. Merelyn terpikat oleh manusia dan tidak sadar jika mutiaranya telah diambil oleh manusia itu. Seorang puteri tanpa mutiara peri adalah aib bagi kerajaan. Dia akhirnya diasingkan. Dan aku adalah pelayan Merelyn sejak kecil. Aku harus setia menemaninya”
“Jadi Merelyn ingin ke dunia manusia untuk mengambil mutiaranya kembali?” “Iya. Dia harus membunuh manusia itu dan mengambil mutiaranya” “Membunuh?” aku ngeri membayangkan pembunuhan. “Sebenarnya tidak harus membunuh jika manusia itu mau menyerahkannya dengan sukarela. Tapi sepertinya itu mustahil” “Kenapa mustahil?” “Tampaknya manusia itu sudah tau kekuatan mutiara peri. Jika manusia telah mengambil mutiara peri, hidupnya akan bergantung kepada mutiara itu. Dia bisa hidup abadi seperti bangsa peri. Tapi jika mutiara itu diambil darinya. Maka dia akan mati” Aku menghela napas panjang. Sungguh kenyataan yang mengerikan.
Aku harus segera menemukan jalan pulang dan seseorang dari kaumku akan mati. Atau aku tak pernah menemukan jalan pulang dan terjebak disini selamanya. Hidup abadi bersama kaum peri.
Ketika Hestia meninggalkanku sendirian. Perlahan aku berjalan menuju luar rumah. Tanpa menimbulkan suara.
Di luar terlihat gelap. Malam semakin merambat naik. Sepasang cahaya melintas di depanku. Bentuknya seperti kupu-kupu dengan sayap yang bisa menyala dalam gelap. Kuikuti sepasang kupu-kupu itu. Mereka membawaku ke pohon besar di pinggir hutan yang tadi sore kudatangi. Dari kejauhan terlihat Merelyn mengikutiku dalam diam.
Kupu-kupu itu terbang mengitari pohon. Kuikuti jejak mereka mengitari pohon. Entah berapa putaran kulalui, rasanya gerakanku semakin cepat dan terus bertambah cepat. Hingga rasanya aku seperti melayang, tenggelam dalam pusaran tak terlihat. Kepalaku terasa pusing karena putaran itu. Perutku mual ingin muntah. Tapi putaran itu tak berhenti. Justru berputar semakin cepat hingga aku tak sadarkan diri.
Aku terbaring di lantai kamarku dengan sebuah buku bersampul gambar Merelyn di tangan. Kugelengkan kepalaku, meyakinkan diri bahwa yang terjadi tadi hanyalah mimpi. Tapi sedetik kemudian buku itu bercahaya. Merelyn keluar dari dalamnya. Dia tidak pingsan, melainkan menyembul dengan anggun dari dalam buku.
Mata Merelyn menyapu isi kamarku, lalu berhenti di sebuah titik. Foto seorang laki-laki tengah menggendong bayi. Fotoku yang digendong ayah.
“Dimana laki-laki itu? Dia yang telah mengambil mutiaraku” Merelyn berkata dengan marah.
Ternyata manusia yang dimaksud Merelyn adalah ayahku. Bagas, Bagaskara.
Kupandangi Merelyn, kemudian buku yang telah menjadi portal antar dimensi. Merelyn terus melotot ke arahku dengan marah.
Cerpen Karangan: Wiwin Ernawati Blog / Facebook: Icasia Aurelio