Cahaya pagi mengintip melalui cela jendela besar rumah sakit. Perawat datang menyibak gorden. Membuka sedikit jendela agar udara masuk berganti, lalu sibuk menyiapkan sarapan pagi di atas meja.
“Gimana keadannya hari ini Pak?” tanya perawat itu berbasa-basi. “Baik.” jawabku sambil tersenyum.
Keberuntungan, mungkin itulah kata yang paling tepat untuk keadaanku saat ini. Aku adalah satu-satunya orang yang selamat dari kecelakaan maut di ruas jalan tol Jawa Tengah. Kecelakaan bus yang hampir saja merenggut nyawaku. Ranjangku berderit ketika aku mencoba untuk duduk. Aku lalu menggeser meja makan di samping ranjang kearahku. Aku menghembuskan nafas kasar. Tidak ada yang spesial pada menu makanan orang sakit. Hanya ada bubur ayam, sayur bening, dan satu buah jeruk. Tak apa, dengan terselamatkannya nyawaku saja aku sudah bersyukur.
Angin berhembus melewati jendela yang sedikit terbuka. Burung-burung masih bersiul mengisi suasana yang sunyi. Pikiranku melayang menuju hari kejadian. Aku tau, selain keberuntungan ada satu rahasia yang menyelamatkanku.
Dua hari di rumah sakit sungguh membuatku bosan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain tidur, menonton TV dan makan. Sangat bosan.
Aku memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Aku tak mengalami cedera parah. Hanya luka di kaki, dan tangan kanan patah. Jalan-jalan sebentar aku kira tak akan berpengaruh pada pengobatanku.
Aku bangkit mengambil dompet dan ponsel dari atas meja. Aku melangkah dengan hati-hati menuju pintu kamar. Suara derit pintu menunjukkan engsel pintu sudah kering. Angin berhembus seakan menyambut. Kulihat taman yang terbentang panjang di tengah lorong, menjadi pemisah antara jalan masuk dan keluar. Warna hijau dari pohon-pohon kecil itu memberi kesan sejuk. Di sisi sepanjang lorong itu terdapat kursi-kursi tunggu, tempat duduk bagi pengunjung.
Kulihat seorang pria sedang duduk di kursi tunggu di depan kamarku. Wajahnya menunduk lesu. Jemarinya saling menggenggam erat satu sama lain. Bahunya bergetar seperti menahan isak tangis. Karena merasa iba, aku menghampiri pria itu. Sekadar untuk menghiburnya. “Hai.” Sapaku setelah duduk disampingnya. Dia menoleh, memandang ke arahku. Dengan alis terangkat dia bertanya. “Maaf, apa saya mengenal anda?” Tanya dia. “Tidak, saya pasien di kamar yang berada tepat di depan anda. Saya hanya ingin menemani anda.” Jawabku dengan senyum tulus. “Saya dengar dari perawat yang berlalu lalang bahwa kamar ini ditempati oleh satu-satunya orang yang selamat dari kecelakaan maut dua hari lalu. Apa itu Anda?” Katanya. “Hanya keberuntungan.” Jawabku. “Iya. Keberuntungan memang terkadang menyelamatkan situasi.” Katanya tersenyum memaksa. Hening menyelimuti kita berdua.
“Hei, mau tau sesuatu yang ajaib?” kataku mencairkan suasana. “Sebenarnya, saya dapat melihat seberapa panjang umur seseorang. Tepat di atas kepala manusia ada jam digital yang menunjukkan sisa umur mereka.” Kataku “Terkadang aku melihat umur seseorang hanya tinggal satu hari, atau bahkan saju jam. Tapi anda memiliki umur yang panjang.” Lanjutku. “Syukurlah, terimakasih atas perkataan anda.” Katanya. Aku tersenyum menanggapi.
Sekali lagi, keheningan menghampiri kami. “Silahkan lanjutkan cerita Anda. Maaf, saya masih berduka karena meninggalnya istri saya. Mungkin saja cerita bapak dapat menghibur saya.” Katanya. “Maafkan saya.” Kataku tidak enak hati. “Tak apa. Dari pada maaf, anda berutang cerita kepada saya.” “Baikah” jawabku tersenyum. Aku melanjutkan ceritaku.
—
Ketika bus mulai memasuki tol, aku terkejut melihat jam digital yang berada di atas kepala penumpang lain tiba-tiba berubah dan menunjukkan angka yang sama, bahwa umur mereka hanya tinggal satu jam. Setelah sepersekian detik, aku mengerti. Bus ini membawa penumpangnya pada kematian.
Aku terdiam memikirkan cara yang tepat untuk menghentikan bus. Bukan, pasti bukan dengan mengatakan kenyataan bahwa aku dapat melihat umur mereka yang akan berakhir dalam waktu satu jam.
Lima belas menit berlalu. Bus berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Mungkin karena jalan tol hari ini sedang sepi. Aku masih terdiam. Kakiku bergetar. Peluh dingin menetes. Jantung berdetak tak karuan. Yang ada di pikiranku hanya fakta bahwa aku akan mati dalam waktu satu jam jika bus ini tak berhenti.
Di sebelahku, duduk Ibu hamil yang tampaknya mengerti bahwa aku sedang khawatir. Dia menyodorkan sebotol minuman. Tapi aku sama sekali tak menghiraukannya. Aku berdiri. Apapun alasannya, jika ingin hidup aku harus dapat menghentikan bus ini. Aku berjalan dengan langkah gugup mendekati kursi sopir.
“Kita harus berhenti!” kataku sedikit berteriak. Pak sopir melihatku sekilas melalui spion. Dahinya berkerut heran. “Kita harus berhenti!” kataku sekali lagi. Sedikit mendesak. Pak sopir –masih dengan kerutan di dahinya— berkata “Bapak sedang ingin ke toilet?” “Iya, iya, saya ingin ke toilet” jawabku asal. “Maaf ya Pak, tapi ini jalan tol. Jarak rest area dari sini masih jauh.” Katanya. “Tapi kita harus berhenti sekarang.” Kataku memaksa. Sopir diam tak bergeming. Tampak kekesalan di wajahnnya.
Tiga puluh menit berlalu. Demi Tuhan. Bus ini tak juga berhenti. Aku mulai putus asa dibuatnya. Aku memutuskan untuk kembali duduk. Memikirkan kembali cara yang lebih efektif. Apa yang seharusnya aku lakukan. Hanya tiga puluh menit tersisa. Tiga puluh menit mendebarkan. Aku berusaha berpikir jernih. Aku mengalihkan pikiranku ke ponsel yang ada di genggaman. Apa ini adalah saat dimana aku harus menuliskan pesan terakhir. Tidak, aku masih tetap ingin hidup. Jika aku tak bisa menyelamatkan semua nyawa penumpang, setidaknya aku sendiri harus selamat.
Bus melaju lebih cepat. Jalan tol lenggang. Aku semakin gugup. Pandanganku mengitari sekeliling. Mencari-cari apapun yang dapat membuat bus berhenti. Pandanganku berhenti pada benda yang digunakan untuk keadaan darurat. Palu yang tertempel di jendela bus. Walaupun sedikit gila, untuk menyelamatkan hidup, kenapa tidak?
Aku mengambil palu itu dengan susah payah. Mungkin karena tak pernah dipakai, palu itu jadi benar -benar ‘tertempel’ di tempatnya. Mata penumpang mulai memandangku heran. Tidak sedikit yang mulai merasa terganggu. Aku tak peduli, toh mereka sama sekali tak menjamin aku hidup.
Aku berdiri menuju arah belakang. “Pak, biarkan saya turun di sini atau saya pecahkan salah satu sisi jendela.” Ancamku berteriak. Seolah-olah sedang menjarah sebuah bus. Penumpang lain mulai gelisah. Salah satu dari mereka –pria dengan kulit hitam bertubuh tinggi dengan kumis— menghampiriku dengan alis yang saling bertaut, matanya tajam menusuk. Raut wajahnya garang. Jujur saja, aku takut. Melihat dia semakin dekat, tanganku melemah. Bersusah payah menggenggam palu agar tak jatuh. Dia berada tepat didepanku. Meraih kerah kemeja putih yang kupakai, mengangkatnya sehingga membuatku sedikit berjinjit. “Bapak, sopir sudah bilang bahwa bus tidak bisa berhenti. Apa Bapak tidak mengerti?” katanya dengan penuh penekanan. Pria itu –masih dengan tangan di kerah kemejaku— lalu menyeret dan melemparku untuk duduk di tempatku kembali.
Lima puluh menit berlalu. Aku semakin putus asa. Mungkin benar apa kata orang bahwa takdir kematian itu tidak bisa diubah. Aku mulai pasrah. Aku kemudian melihat sekitar. Wajah-wajah penumpang. Ada yang hanya duduk diam. Ada yang sibuk bermain ponsel. Ada juga yang tertidur pulas. Wajah-wajah inilah yang akan kulihat untuk terkahir kali. Air mataku mulai menetes. Bagaimana bisa umur berlalu begitu singkat.
Lima puluh lima menit berlalu Pandanganku masih menjelejah. Depan, belakang, kanan, lalu.. Tunggu, tepat disebelah kananku. Jam digital yang berada diatas ibu hamil di sampingku ini menunjukkan waktu yang berbeda. Ada beberapa digit, umurnya tidak berubah seperti penumpang lain. Bagaimana bisa. Aku kembali mengamati jam digital penumpang lain. Semua jam digital menunjukkan waktu yang sama. Hanya lima menit tersisa. Tapi ibu ini berbeda. Aku menyeringai. Aku tau bagaimana menyelamatkan nyawaku. “Ibu, boleh saya berganti tempat duduk dengan Ibu. Saya ingin melihat pemandangan luar jendela dengan leluasa” kataku tersenyum ramah. Sangat ramah untuk orang yang akan menggantikanku untuk kematian. “Tentu saja, silahkan” katanya.
Lima puluh delapan menit berlalu. Aku sudah duduk dengan manis di kursi ibu itu. Kulihat jam digital di atasnya. Benar saja, waktunya berubah. Dua menit, seperti penumpang yang lain. Aku selamat.
Brak Tidak ada yang tau apa yang terjadi. Semuanya begitu cepat dan tiba-tiba. Mataku mengerjap, samar kulihat darah deras mengucur dari kepala ibu hamil itu. Pandanganku gelap. Aku tak sadarkan diri.
—
“Jadi, Anda selamat karena bergantian dengan ibu itu?” tanyanya. “Hei, kenapa sangat serius? Itu hanya cerita asal.” Jawabku santai. “Menurut Anda bagaimana jika keluarga ibu hamil itu tau?” tanyanya sekali lagi. “Entahlah. Lagi pula siapa yang percaya dengan cerita yang konyol.” Jawabku asal.
“Walaupun Anda dapat melihat umur orang lain. Tapi, sepertinya Anda tidak dapat melihat umur anda sendiri.” Katanya. “Maksudnya?” Bapak itu mengeluarkan pisau yang entah sejak kapan berada di tangannya. Dengan cepat pisau belati itu menusuk perut. Bapak itu memutar tangannya, mengobrak-abrik organ. Aku masih tak mengerti. Aku menatapnya, dia balik menatapku. Ada luka dalam matanya.
“Ibu hamil yang ada di samping Anda itu, adalah istri saya.” Pandanganku menggelap. Aku tak sadarkan diri.
Cerpen Karangan: Rosdinda Iftakhul Firdausi Facebook: https://www.facebook.com/dinda.if.9 Mahasiswi program studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), STIBA Ar-Raayah.