Langit cerah tanpa cela menunjukan galaksi tengah asik bercengkrama. Sementara ayam jago milik Pak Jati berkokok dengan nyaring ditengah malam. Angin bertiup dari gunung Rinjani berhembus pelan tapi cukup membuat membuat setiap manusia memeluk erat selimut.
Dalam keningan, seekor tikus bergerak cepat menyusuri dinding sampai terhenti pada satu tempat. Sebuah kamar rapi, bersih dan harum. Tidak banyak perkakas di kamar itu, hanya tempat tidur yang dingin dengan perempuan renta tengah berbaring. Tak ada yang istimewa, tetap seperti biasa, perempuan tua yang mulai lupa dan selalu menatap langit-langit dengan mata menarawang. Hanya saja beberapa hari ini tikus sering melihat banyak orang yang mondar mandir di kamar itu.
Tikus sudah biasa melihat Salih lelaki pengatar nasi, atau sekali juga melihat anaknya Karin dan Karel yang mengatikan. Namun kali ini mereka yang ada didalam ruangan itu asing. Orang-orang ini berbeda, mereka sebelumnya tak pernah terlihat. Memang sudah dua malam ia melihat beberapa orang hilir mudik dari kamar ini. apakah perempuan tua itu sakit parah. “Sepertinya tidak, karena aku tikus pemilik kamar ini pernah melihatnya lebih sakit dari malam ini, tetapi dia tetap tidur sendiri” gumanya, Tikus berlari menuju lemari tua usang berwarna coklat. Melalui celah kecil dibagian samping kiri bawah ia masuk membawa makan, untuk anaknya.
“Horee.. ibu sudah pulang” ucap si bungsu dari enam bersudara, Tikus segera memberikan hasil buruan dengan adil, setiap anak mendapatkan jatah yang sama. setelah menyelesaikan makan malam dengan khidmat mereka bersiap untuk istirahat, melepas lelah dari perburuan.
“Bu, apa yang terjadi di luar, sejak kemarin ribut sekali” ucap Sulung yang penasaran “keluarga si nenek tengah berkumpul” “bukankah kata ibu bilang si nenek tidak memiliki anak” “mereka bukan anaknya, tetapi keluarga” “apakah yang bukan anak bisa jadi keluarga” “dalam kehidupan manusia mereka saling bekerjasama, berkeluarga” “tapi ibu sering bercerita jika nenek selalu tinggal sendiri dan tidak punya keluarga” “mungkin mereka orang-orang yang akan mendapatkan rumah ini” “lalu si nenek” “entahlah, sepertinya ia tidak akan tinggal lebih lama” “kata Ibu, jika nenek sudah tidak ada kita akan pindah” “iya” “kenapa” “kau tidak perlu tahu, hanya ikuti saja”. Sulung menganguk tanpa bertanya lagi.
—
“Jangan ada yang tidur dulu, berjagalah secara bergantian” ucap lelaki paruh baya itu, ia mendekat dan mencoba mengajak Nenek berbicara, tetapi nenek tidak bergerak terus terpejam dengan mata kiri yang berair, mungkin saja ia tengah menagis. “iya jangan” ucap perempuan yang tengah mengaduk air didalam gelas. Dua orang yang lain tengah bercakap-cakap. Satu lagi tertidur. Diluar tetap dingin sedingin ruangan itu. Sesekali nenek membuka mata yang bergerak kekiri dan kenanan, lalu sedetik berpapasan dengan mata si tikus yang sejak tadi berdiam diri diatas lemari mengamati. Si tikus terkejut, mata itu tidak bercahaya, tapi menatap lembut tidak seperti biasanya. Yang selalu memelas menahan rasa sakit. Mata yang selalu merindukan untuk segera menutup, yang lelah untuk selalu menatap langit-langit. Sebelum benar-benar terpejam mata itu terbuka lebar dan segaris senyum terbit. Senyum yang tak pernah hadir selama beberapa tahun ini. senyum yang terbit untuk tenggelam selamanya.
Tanpa kata, tanpa rintihan tanpa teriakan, si nenek menutup mata menjatuhkan setitik air terakhir Mata itu benar-benar tertutup tanpa harus ditutup. Bahkan sampai akhir ia menunjukan keangkuhanya. Ia benar-benar angkuh bahkan sampai akhir. Ia tetap sendiri, berjuang sendiri dan kukuh pada pendirianya meski harus dimusuhi oleh kakak kandungnya hanya karena mempertahankan tanah warisan untuk keempat anak yatim itu.
Dalam gelap dingin ia pergi, meningalkan dunia yang puluhan tahun memenjarakanya dalam kesepian, lepas dari hari yang dilalui dengan pertanyaan akan waktu, istirahat dari peluh semasa muda, pergi untuk mengakhiri kegelapan dunia menemui cahaya.
“Muliadi”… Ucap perempuan pemegang gelas, Mereka berpandang dan “sudah tidak ada” ucap si perempuan sambil mendekatkan tangan ke hidung. semua yang ada di ruangan itu bangun, mengecek, lalu semua berakhir dengan kata “sudah tidak ada”. Semua masih sepi hanya beberapa orang mulai berdatangan memenuhi ruang sempit itu, yang lain banyak lagi diluar sedang mempersiapakan tempat.
Semua itu tidak luput dari pengamatan Tikus. Setelah merasa tak ada lagi yang harus diperhatikan. Tikus kembali, Berjalan lunglai dan berhenti pada titik tergelap dalam lemari. “aku sudah lama tinggal tanpa cahaya, berjalan tanpa cahaya, berburu tanpa cahaya, tapi tidak penah merasa seperti berada ruang hampa”.
Sementara kegaduhan tengah terjadi diluar lemari, semua orang mengerjakan peran masing-masing untuk menyiapkan pengataran terakhir nenek. Malam makin dingin dengan terang bulan, Tidak ada yang menangis sambil meratap. hanya saja bulan dan bintang sejenak menghentikan percakapan, sebab sebuah rombongan langit tengah melintas dan seperti biasa ditengah rombongan ada seorang manusia.
Cerpen Karangan: Naya