Di pertengahan tahun 2038 ini, munculnya teknologi-teknologi baru sangat mempermudah kehidupan manusia. Saat ini BBM sudah habis, dan para ilmuwan kembali berinovasi tentang penggantinya. Mereka juga bersepakat bahwa petrolium memang harus dimusnahkan, karena membawa dampak yang sangat buruk bagi lingkungan. Terlebih pada saat ini, pohon-pohon jarang ditemukan, dan hutan hanya ada satu di dunia, yaitu di pulau Borneo. Jadi dibuatlah kendaraan-kendaraan yang tidak mengeluarkan asap dan tidak memerlukan BBM sebagai bahan bakar. dan hanya butuh dicharge untuk membuatnya beroperasi.
Tetapi akibat kekeringan sejak tahun 2034 lalu, kami susah mendapatkan air bersih. Pohon-pohon pinggir jalanpun melepaskan daunnya satu persatu, meranggas karena kepanasan. Walaupun sudah ada alat filter air, kami tetap harus menampung air sungai lalu memfilternya, dan itu sangat ribet. Berita-berita di hologram sudah berkali-kali membahas masalah ini, Tapi sampai saat ini solusi belum ditemukan. Hujan juga belum kunjung turun, dan terakhir turun pada 2 tahun lalu. Kami sangat rindu pada hujan, yang sudah kami pancing kehadirannya sedemikian rupa, tapi tak kunjung hadir. Aku masih sangat mengingat momen itu, saat hujan terakhir turun. Bukan hanya air yang jatuh, tetapi aku yang juga sedang jatuh cinta.
—
Mataku masih menatapnya, yang sedang bersenda dengan teman-temannya. Sembari menonton siaran di jam hologramnya, ia juga ikut tertawa disaat teman-temannya tertawa. Dan anehnya saat ia tertawa, mulutku juga ikut tertawa, tanganku mendadak basah, juga sesuatu didalam dada yang tiba-tiba berdentum tak berirama. Terlebih saat ia balas menatapku, kepalaku mendadak berputar, memalingkan wajah yang juga mendadak memerah. Beginikah efek samping jatuh cinta? Aku menunggu beberapa detik untuk menatapnya kembali. Jantungku kembang kempis tak tentu, paru-paruku meminta hidung dan mulutku untuk meminum udara dalam frekuensi cepat, sehingga dadaku seperti pompa tensi yang dikenyot dokter lamat-lamat. Aku memutar kepala pelan-pelan, mencoba kembali melihatnya di kursi yang tadi ia duduki. Kosong. Kepalaku memutar ke segala penjuru kelas, mencari wajahnya. Tidak ada. Lalu aku beringsut keluar, menarik pintu kuat-kuat. Tak kusangka, ada yang mendorong pintu dari depan, ingin masuk kelas. Aku kehilangan keseimbangan. Orang yang mendorong pintu tadi menahan badanku. Dia. Wajahku dan wajahnya hanya terpisah sejengkal. Aku buru-buru melepaskan tangannya dari punggungku, berjalan cepat menuju kursiku. Wajahku merah sepenuhnya.
—
10 menit jelang pelajaran hidrologi selesai, Pak Ramli duduk, dan menyuruh murid-murid untuk diam. “Ada tugas penting untuk kalian. Eksperimen Pemanggil Hujan. Kalian tentunya sudah tahu itu dari kakak-kakak kelas kalian. Akan saya bagi kelas ini menjadi empat kelompok, dan perkelompok terdiri dari enam orang. Pendahulu-pendahulu kalian belum ada yang berhasil. Entah apapun caranya, yang penting hujan bisa turun. Cara kalian memanggilnya juga akan berpengaruh pada nilai kalian. Sekarang sudah canggih, manfaatkan itu untuk eksperimen ini” katanya.
Seketika aku tersadar, aku sudah kelas 11, dan kata kakakku –sebagai alumni sekolahku– “Jika kelompokmu berhasil, kalian akan diberi penghargaan dan foto kalian akan dipajang di lobi sekolah”. Alangkah bangganya jika fotoku dipajang di lobi sekolah, dan menjadi tontonan adik-adik kelasku kelak. Lalu salah satu dari kami mengacungkan tangan, bertanya. “Teknisnya gimana, Pak?” tanyanya. Pak Ramli segera bangkit dari duduknya, mengambil tablet sebagai papan tulis yang sudah terhubung dengan holo besar, seperti layar tancap. Holo pun memancarkan gambarnya, besar, sehingga jelas dipandang seluruh murid tanpa perlu berpindah tempat duduk. Pak Ramli menggoreskan tangannya pada tablet, yang langsung dilihat murid seperti papan tulis. Ia berdiri di tengah kelas.
“Kalian kan sudah dibagi enam orang dalam satu kelompok, dan satu kelas terdiri dari empat kelompok. Satu kelompok saya kasih tenggang seminggu-seminggu. Urutannya adalah nomor kelompok kalian. Jika semisal di kelompok 1 eksperimennya berhasil, dan hujan sudah turun walaupun hanya lewat, kewajiban kelompok selanjutnya gugur. Begitupun kelompok yang lain.” jelas Pak Ramli.
Presensi pun dibacakan, satu persatu nama murid disebut, di kelompok berapakah masing-masing ditempatkan. Setelah menunggu, rupanya Dia masuk kelompok 3. Aku tak sabar menanti namaku yang berada di absen bagian terakhir dipanggil, dan masuk kelompok berapa. Aku pura-pura menonton hologramku, sampai Pak Ramli menyebut namaku. “Silva Andriani?” “Hadir, Pak!” “Kamu kelompok tiga” Seketika aku merasa kupu-kupu berterbangan di perutku.
—
Sore itu, setelah rapat online via hologram, diputuskan untuk kerja kelompok di rumah Salwa. “Jadi gimana konsepnya?” tanya Hari kepadaku. Saat ini aku menjadi menjadi e-book berjalan, mengingat aku selalu rangking satu di kelasku.
“Sebenarnya aku tak terima dengan intonasi Pak Ramli. Gampang sekali bicaranya. Oi, menurunkan hujan tidak semudah itu. Banyak yang harus dilakukan agar hujan mau memercikkan airnya, apalagi mengguyurkannya ke tanah. Minggu lalu sudah ada penyemaian awan yang dilakukan pemerintah, setelah sebelumnya berkali-kali gagal. Padahal dikatakan bahwa pemerintah sudah mengukur kecepatannya, arah anginnya, serta ketinggian awan tersebut. Tapi hasilnya, awan yang disemai malah bergerak cepat menjauhi kota” kataku bersungguh sungguh. lima temanku masih takzim menunggu lanjutannya, termasuk Dia.
“Pemerintah juga pernah menggunakan jenis penyemaian hujan lain, yaitu jenis penyemaian yang menggunakan bahan kimia, yaitu zat higroskopis yang berupa NaCl, yang biasa disebut garam, lalu CaCl2, yang berfungsi untuk menggabungkan butir-butir air di awan. setelah sebelumnya menggunakan zat glasiogenik yang terdiri dari argentium ionida yang berperan sebagai inti es buatan, yang memberikan kemampuan untuk kristal es pada awan tumbuh. Semua penyemaian itu pastinya menggunakan pesawat terbang yang terbang di ketinggian sekitar 4000 sampai 7000 kaki dpl. Penaburan urea juga dilakukan beberapa jam setelah penaburan pertama. Tapi nyatanya, semuanya gagal.” lanjutku. Lalu Adam mengodeku dengan tangannya agar aku berhenti melanjutkan opini. Seperti jemari tukang parkir tempo dulu menyetop kendaraan. “Berarti ini sudah bukan urusan kita, ini sudah urusannya Tuhan. Pemerintah kan sudah berusaha semaksimal mungkin. Kita tawakal saja, banyak-banyak do’a” simpul Adam. Lalu kulihat wajah Zaid berubah cerah. Aku ikut tersenyum. Sepertinya ia mendapat ilham. Ia langsung ber“ah!” keras, sambil menampar lantai. Ia langsung menutup semua jemarinya, kecuali telunjuk. Ia akan berbicara. “Berarti saat hari H kita berdoa sesuai agama masing-masing aja! Kelompok luar juga diajak. Yang muslim, kita sholat istisqa’ bareng, dan yang non, kita ajak mereka berdoa bener-bener!” Semuanya sepakat, mengingat kekeringan ini sudah bukan urusan manusia.
—
Tapi Dia tidak sebodoh itu dalam berpendapat. Dia adalah lelaki yang cerdas, tidak mungkin ia merancang suatu hal tanpa merencanakan hal-hal yang dibutuhkan untuk rancangannya. “Terus teknisnya gimana? masa cuma do’a sama shalat sunnah doang? Garing banget” tanya Zahra pada Zaid. Alis mata Zaid mendadak mengerucut. “Sebelumnya kita akan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan kekeringan ini, setelah itu kita menjelaskan apa rancangan kita, yang tidak berbau teknologi sekalipun, apalagi robot, melainkan hanya berupa do’a dan shalat sunnah, sebagai bukti iman seorang hamba pada Tuhannya yang mengatur alam semesta. Dan kita ceritakan dahsyatnya do’a mengubah segalanya, bahkan hal yang lebih besar dari sebuah kekeringan panjang”
—
Hari H pun tiba. Setelah dua kelompok sebelumnya yang bereksperimen menggunakan robot roket luncur menggunakan tenaga angin yang dilesatkan langsung ke awan cumulus, yang berisi larutan air, urea, dan amonium nitrat. Dimaksudkan untuk mendorong awan untuk membentuk butir-butir air dalam ukuran yang besar yang dapat menimbulkan hujan, tapi awan tidak bergeming sama sekali selama seminggu. Tak ada tanda-tanda hujan. Lalu kelompok 2 yang mencoba memanggil hujan dengan memanaskan air laut yang mengandung garam dengan cara yang konyol, yaitu menggunakan solder bertenaga tinggi. Mereka membawa ratusan orang ke tepi laut, dengan saklar-saklar untuk memanaskan solder. Awalnya mereka senang, karena air laut yang berada di sekitar soldernya meletup-letup, dan air semakin panas. Terlihat uap air sedikit mengambang di permukaan air. Tapi semakin lama satu persatu dari mereka pergi, kebosanan. Mereka hanya menggunakan cara itu karena sudah pasrah menghadapi kekeringan ini, dan tak mungkin bisa mendatangkan hujan itu dalam kurun seminggu. Dan akhirnya giliran kelompok kami, yang hanya bereksperimen didalam kelas, dan itu mengundang tanya teman-teman dan Pak Ramli sendiri. Saat Pak Ramli mempersilahkan kelompok kami, aku langsung maju ke depan.
“Dua dekade lalu telah terjadi kebakaran hutan yang melanda pulau Andalas. Dan mereka juga memikirkan cara untuk “memanggil” hujan, seperti yang kita lakukan sekarang. Karena saat itu berita hoax sedang marak-maraknya, banyak dari mereka yang “memanggil” hujan dengan menjemur baskom yang berisi larutan air garam pada jam 10 pagi. Dan mereka berharap, dengan 1 ember air tiap rumah dan ajakan ratusan ribu rumah, berharap ada jutaan meter kubik uap air. Dengan asumsi 1 ember sama dengan 10 liter air, maka total air yang yang diharapkan terjadi penguapan hanya ribuan meter kubik. Diperlukan ratusan juta ember untuk mendapatkan jutaan meter kubik. Itu pun jika semua air yang ditempatkan di ember menguap semua. Dan kemungkinannya pun tidaklah segampang yang dibayangkan.”
“Proses “memanggil” hujan tidaklah segampang itu, perlu banyak proses agar terbentuk awan hitam, selain penguapan yang sangat banyak, juga perlu pola angin tertentu yang mengarahkan uap air sehingga terjadi kondensasi di wilayah yang diharapkan. Sebenarnya ada banyak lagi yang harus dijelaskan disini, tetapi fokus kita adalah eksperimen. Saya akan berhenti sampai sini, sekian.” Aku kembali ke rombongan kelompokku yang ditempatkan di pintu. Hari pun maju menggantikanku.
“Saya disini akan menjadi pengantar eksperimen kelompok kami. Simpel saja, kami disini hanya akan berdo’a, tentunya sesuai agama masing-masing, dan bagi yang muslim, kita lengkapi dengan sholat istisqa’. Ada yang tahu, kenapa kami melakukan itu?” Hari mengangkat tangannya, memberi isyarat “yang tahu angkat tangan dan jawab”. Tiada seorang pun yang mampu menjawab. Hari mengeluarkan kartu as-nya.
“Saatnya kita tunduk pada Tuhan.”
Cerpen Karangan: Muhamad Habib Blog: hansomnia.blogspot.com Muhamad Habib a.k.a Hansomnia