“Tolong! Tolong aku!” ucapku ketika akan tenggelam dalam lautan lepas.
“Apa aku akan berakhir di sini?” rapalku dalam hati sambil berusaha untuk bisa bernapas dengan baik. Jujur, aku tidak bisa berenang dan mengidap thalassophobia, atau bisa disebut dengan ketakutan berlebihan terhadap laut. Entah bagaimana caranya aku bisa berada di sini dengan keadaan hampir tenggelam. Antara hidup dan mati, aku berusaha untuk mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Tentang apa yang sebenarnya telah terjadi, hingga aku seperti ini. Tapi nihil! Semakin aku berusaha untuk mengingat, semakin berdenyut juga kepalaku.
Kini aku terombang-ambing di tengah lautan. Berusaha untuk tenang dan berpikir untuk tetap hidup bagaimana pun caranya. Beberapa saat berlalu, awan kumulonimbus datang disertai kilat dan badai pun datang dengan tiba-tiba. Aku tenggelam dan berpikir, mungkin ini adalah akhir dari hidupku. “Aaaaaa!”
Napasku turun naik tidak beraturan karena hal yang barusan kualami ternyata hanya mimpi. Lagi. Mimpi yang selalu berhubungan dengan laut lepas yang membuat ketakutanku akan hal itu pun bertambah.
“lagi-lagi mimpi buruk,” rapalku pada angin malam yang berhembus begitu dingin melewati jendela kamar yang terbuka. Kulihat jam dinding sedang pukul dua dini hari. Lagi. Aku terbangun tepat di pukul dua dini hari dengan keadaan jendela yang selalu terbuka.
—
“Hai, Rey!” sapa Mia padaku di seberang sana ketika aku memaksanya untuk datang ke kafe dekat rumah kami. Kami bertetangga dan Mia adalah sahabatku dari kecil. Aku berniat untuk memintanya memberikan pendapat tentang cerpen yang akan kuperlombakan pada bulan ini. Meski cuaca siang ini sedang tidak bersahabat, dikarenakan sekarang telah memasuki musim penghujan, hal itu tidaklah menjadi penghalang untukku bertemu dengan Mia. Aku pun mencoba untuk menghampirinya dengan tergesa-gesa sambil membawa payung. Hingga tanpa sadar, tiba-tiba Mia berteriak dari seberang sana, dan seketika semuanya terasa gelap.
“Siapapun di sana, tolong aku!” pekikku menggema. Tiba-tiba, cahaya putih itu kembali muncul. Untuk kali ini, ia muncul begitu jauh dari hadapanku, namun masih dapat terlihat oleh penglihatanku. Langsung saja, aku menuju ke arah cahaya itu. namun beberapa saat, kulihat bayangan seseorang akan menuju ke arahku. Aku tersenyum lega. Akhirnya masih ada orang yang berada di sini dan aku harus keluar dari sini. Tapi naas, tiba-tiba sebuah cekalan di tanganku menarik paksa tubuhku untuk menjauhi cahaya itu dan melesat ke arah yang berlawanan.
“Lepaskan aku!” ucapku tidak terima atas perlakuannya. Tangan itu pun melepaskan tanganku dan dalam kegelapan, sosok yang membawaku tadi memantikkan api dari pemantik dan menampakkan wajah seorang gadis.
“H-ha … nttu!” uacapku gagap, karena ketakutan melihat sosok yang berbeda. “Hei! Aku ini juga manusia, sama sepertimu! Aku tidak akan menyakitimu. Kau ingin keluar dari tempat ini bukan?” ujarnya. “K-kau … kenapa kau menarikku menjauhi cahaya, tadi?” tanyaku mempersoalkan masalah tadi. Padahal kupikir aku akan segera bangun dan segera melupakan mimpi buruk ini. “Seharusnya, kau berterima kasih padaku. Cahaya itu, bukanlah jalan keluar dari sini, namun jebakan Shipper dan pastinya hal buruk akan terjadi pada dirimu nanti,” katanya sambil mematikan api dari pemantiknya itu. “Siapa Shipper dan kenapa kau juga berada di sini?” tanyaku penasaran, meski aku tidak bisa melihat wajahnya dalam keadaan seperti ini.
“Shipper yang menjaga tempat ini, agar siapa pun yang masuk dalam dimensi ini tidak akan bisa keluar sedangkan aku telah lama terjebak di sini dan menghindar dari penglihatan Shipper. Aku juga berusaha untuk keluar dari sini dan aku telah menyusun strategi, agar kita segera kembali,” katanya serius. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujui apa yang ia katakan. Dia memperkenalkan namanya yang selalu dipanggil Rea dan dia juga bilang kalau kami pernah bertemu di dunia nyata.
“Ruang ini seperti labirin dan masalahnya tiada penerangan sedikit pun. Tapi kau jangan takut, aku telah menghapal ruangan ini dan tahu seluk beluknya. Jadi kita perlu mengambil sebuah kunci yang ada di belokan keempat yang pastinya dijaga ketat. Kita harus berhasil menemukan kuncinya, jika kita ingin terbebas dari sini,” ujarnya panjang lebar. Aku hanya bisa menerima tiap rencana yang ia buat dan mengikuti langkahnya yang bisa dibilang tergesa-gesa. Dia bilang, tiap makhluk di sini adalah mereka yang telah menjadi arwah yang haus akan kehidupan. Biasanya tubuh mereka mengeluarkan cahaya di bagian tubuh mereka, sebagai tanda bahwa mereka itu ada. Jelas Rea tadi, yang semakin terekam jelas dalam pikiranku. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan ucapannya. Sepertinya ini bukan mimpi, tapi seperti nyata. Tapi, semua ini terlalu rumit untuk kupikirkan dalam situasi genting seperti ini. Yang jelas, aku harus keluar dari sini, dan berharap akan terjaga dan semuanya kembali seperti sedia kala.
“Kau lihat itu, Rey?” tanyanya setelah sekian lama kami mengitari tempat gelap ini. “Apa? Aku tidak bisa melihat apa-apa,” kataku jujur.
Namun, sesaat kemudian, aku melihat sebuah kunci yang bercahaya melayang di udara. Aku pun segera menggapai kunci itu. Namun, hal buruk terjadi. Sosok yang disebut penjaga kunci oleh Rea tiba-tiba muncul dengan mengerikan. Ia membawa potongan tangan manusia yang terlihat berlumuran darah dengan kapak besar di tangan yang satunya. Sedang di arah lain, sosok Shipper dengan taringnya dan rantai yang ia bawa, seakan membuatku semakin ketakutan. Disisi lain, Rea berteriak untuk segera menggapai kunci itu dan seketika semuanya berubah.
Aku melihat kepingan memori yang melayang di udara. Tampak sebuah memori yang memperlihatkan sosok aku yang masih berusia lima tahun sedang berada di dalam mobil bersama ayah dan ibu. Mobil yang dikemudi ayah terlihat lepas kendali dan kami menabrak sosok gadis kecil yang pada saat itu kondisinya tidak baik-baik saja.
“Rea!” pekik wanita paruh baya dari kejauhan, lalu berlari menuju gadis itu. Ayah dan ibu tampak panik, lalu segera membawa gadis itu ke rumah sakit. Aku sadar akan satu hal. Satu hal yang kuingat tentang kebenaran Rea. Tapi aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku dan keluargaku telah membunuhnya. Aku yakin itu adalah kesalahan darinya yang sengaja melintas di jalan itu. Aku frustasi, sesekali menjambak rambutku. Bingung dengan tiap peristiwa yang telah kulewati.
“Bagaimana? Apa kau masih mengingat aku, Rey?” tanya Rea yang datang bersama Shipper dari arah belakang. “K-kau!” ucapku lantang. “Terima kasih ya Rey, karenamu aku bisa melanjutkan hidupku yang sempat tertuda,” ujarnya melangkah ke sebuah pintu dengan kilauan yang menyilaukan. “T-tunggu! Apa maksudmu?” tanyaku bingung. “Apa itu jalan keluar dari sini? Aku ingin keluar juga!” ucapku padanya, lalu melangkah menujunya. Tapi, belum sempat aku mendekati pintu itu, Shipper menghadangku. Sekuat tenaga aku melawannya, tapi sialnya tubuhku dengan mudah dililiti oleh rantai berduri yang dibawanya. Hingga semakin aku berusaha untuk memberontak, maka sama saja aku melukai diriku sendiri. Tapi aku tidak peduli, aku ingin keluar dari dimensi ini. Aku ingin segera bangun, jika ini benar-benar mimpi.
“Dasar manusia bodoh!” umpat Rea. “Selamat tinggal Rey, berbahagialah di sini, karena Rey yang baru akan hidup dengan bahagia di dunia,” ucapnya sambil tertawa renyah dan meninggalkanku di sini bersama Shipper yang siap mencincang habis tubuhku yang telah berlumuran darah karena terlalu banyak bergerak untuk meloloskan diri.
Secepat kilat, Shipper menusuk perutku dan menarik kembali pisau yang ia gunakan dengan brutal. Aku meringis kesakitan, berusaha untuk kuat dan melawannya. Namun tiba-tiba semuanya terasa ringan, tubuhku limbung dan kupikir hidupku akan berakhir di sini.
Perlahan kubuka kelopak mataku, lalu hal yang pertama kulihat adalah sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamar. Aku menegerjapkan mata beberapa kali, lalu melihat sekelilingku dengan berhati-hati. Nuansa serba putih adalah hal utama yang kutangkap dari penglihatanku kini. Kulihat Mia dan ibu sedang berbicara di sofa.
“Apa aku masih hidup?” rapalku. “Apa aku di rumah sakit?” kataku mengagetkan dua wanita itu. “Ya Tuhan, Syukurlah kau telah sadar sayang,” ucap ibu sambil memelukku. “Ternyata yang tadi itu hanya mimpi buruk,” batinku. Lalu membalas pelukan ibu.
Cerpen Karangan: Nurmala Blog / Facebook: Nurmala Bionarasi: Panggil saja aku ‘La’. Manusia pendiam yang memiliki kepribadian aneh dengan kisah-kisah menarik sepanjang ia bernapas di dunia ini. Kelahiran September 2002 dan sekarang berstatus sebagai salah satu mahasiswi di universitas negeri di daerahnya, Kepulauan Riau. Sebenarnya, dia merupakan seorang gadis yang penakut dan juga lemah. Tapi, tuntutan dunia membuatnya harus menutupi segalanya. Rekam jejek ‘La’ dapat kalian jumpai di: Instagram: @nur.mala_12 & @__Sajak_Jingga__ Wattpad: @lalamalanurmala