Hari ini adalah hari yang suram, Mateo menatap atap kamarnya, kamarnya hening seolah-olah dunia sedang tidur nyenyak, dan satu-satu sumber suara adalah AC rusak yang menetes air.
“Aku harus memperbaikinya.” pikirnya. Badannya tidak bisa bergerak, seperti batu. Dia mencoba mengedipkan matanya untuk sadar, tetapi badannya tidak mau bergerak.
Dia mengerang, lama kelamaan suara tetesan air membuat Mateo merasa gila.
Tck. Tck. Tck.
Lalu, suara alarm keras mengganggu pikirannya dan membuatnya sadar lagi. Dia bangkit, walaupun tadi dia sempat tidak bisa bergerak. Dia merapikan rambutnya yang kusut lalu ia bergegas untuk cepat-cepat mematikan alarmnya supaya tidak membangunkan Ibunya yang sedang tidur di kamar sebelah.
“Enyahlah.” Mateo melempar alarmnya yang tebal dan butek itu lalu kembali tertidur lagi. Semenjak adiknya telah wafat Mateo telah berubah 180 derajat. Lelaki yang dulunya senang bergaul dan bersosialisasi sekarang menjadi dingin dan mati rasa. Sayangnya Darma meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan tragis yang melibatkan Mateo. Mateo dihantui oleh hantu masa lalunya dan akan selamanya merasa bersalah atas kematian adiknya. Setiap hari dia merasa tersiksa, ayahnya selalu mengingatkannya bahwa kematian Darma adalah kesalahannya. Jelas bahwa ayah Mateo hanya merindukan Darma, tetapi dia merasa tidak perlu menyalahkan semuanya padanya.
Sekarang yang dilakukan Mateo hanyalah tidur untuk melarikan diri dari kenyataan yang pahit.
“Mateo, bangunlah! Sarapan sudah dibuat, nak!” Teriak Ayahnya dari ruang tamu. Mateo bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas untuk mendatangi Ayahnya. Dia melihat sebuah sandwich diatas meja ruang tamu yang ditemani Ayahnya yang sedang duduk di depan TV, laptop di pahanya dan minuman keras yang berwarna kuning di tangan kanannya. Mateo menyapanya selamat pagi dan mengambil sandwichnya untuk dimakan di kamar.
“Kau mau kemana?” Tanya ayahnya. Dia bahkan tidak bisa melepaskan matanya dari laptopnya untuk melihat muka anak satu-satunya. “Ke kamar.” Mateo jawab dengan nada yang datar. Mendengar itu, mata ayahnya melesat ke atas untuk menatap wajah anaknya untuk pertama kalinya. “Kenapa? Masih pagi, ngapain tidur lagi. Cobalah kamu seperti temanmu yang keriting itu. Ayah kemarin ketemu dia lagi lari pagi di jalan.” Bilang Ayahnya sambil minum alkoholnya sambil mengetik di laptop yang lebih mahal dari harga uang sekolah bulanan Mateo, keyboard laptop Ayahnya mengeluarkan suara klik-klik keras yang membuat Mateo muak.
Mateo berputar balik dan mengabaikan suara teriakan Ayahnya. “Kembalilah ke sini, Mateo! Kalau kamu tidur lagi, akan aku kunci kamu di kamar!”
Mateo membanting kamar tidurnya dan kembali tertidur.
—
Mateo terbangun, suara ledakan yang dahsyat mendering gendang telinganya, dia melihat di sekitarnya dan tercengan. “Dimana kah aku?”
Dia bangun dari ranjang tidur yang bukan miliknya dan berlari ke kaca dekat lemari kuno asing. Badannya mulai bergetar melihat pandangan di depan mukanya, ia memakai baju tidur aneh yang merasa gatal di badannya dan rambutnya dipotong pendek dan bercorak aneh, dia tampak seperti anak alim. Mateo mulai panik, dimanakah dia dan mengapa dia terlihat seperti ini? Apakah Ayahnya telah menjualnya dan dijadikan budak tempat aneh ini?
Suara ledakan dapat terdengar di kejauhan dan dia mulai panik lagi.
“Mateo dimanakah kamu? Turunlah dari kamar, nak!” Itu bukan suara Ibunya. Aduh, mau bagaimana dia. Hati Mateo mulai berdebar dengan keras, dia cepat-cepat mengambil sepatu busuk yang ada di dekat ranjang tidurnya dan dengan bodoh dia melompat dari jendela kamar itu.
“Sial,” Mateo menangis kesakitan sebelum bangkit lagi dan berlari jauh dari tempat itu.
Kota sedang berkabut, langkah kakinya bergema dan kotanya sepi, seperti kota hantu yang terlupakan. Tetapi ia bisa mendengar suara teriakan orang-orang di sekitarnya dan suara ledakan yang membuat tubuhnya dan semua yang disekitarnya bergetar. Sambil berjalan, Mateo melihat sebuah gedung kecil yang sudah runtuh, di luar gedungnya ada bunga-bunga yang sudah layu dan sebuah banner yang terbuat dari kayu. Dia melihat lebih dekat dan menyadari bahwa gedung itu adalah sebuah café.
Dia melangkah ke dalam café tersebut dan melihat seorang laki-laki muda seumuran dia yang sedang duduk sambil membaca koran. Ia memakai jas dan celana panjang kebesaran yang membuat dia tampak seperti anak kecil, dan rambutnya yang panjang itu diikat ketat, dia terlihat kuno.
“Erm, permisi, aku boleh ngomong sebentar tidak?” “Maaf, aku lagi tidak ada uang, jangan minta-minta ke aku.” Suara orang itu membuat Mateo kaget. Sepertinya dia perempuan.
Gadis itu menggeram. Dia menatap Mateo dari atas ke bawah dan melanjutkan membaca korannya, Mateo berdiri seperti orang kebingungan di depan gadis itu dengan baju piyamanya yang bermotif garis garis.
“Aku bukan mau ngemis uang,” Gadis itu terdiam, dia melipat korannya dan menatap mata Mateo.
“Erm, apa yang sedang terjadi di luar?” Tanya Mateo dengan polos. Gadis itu menatap Mateo dengan ekspresi yang kesal. Aduh, sepertinya dia telah mengganggu perempuan cantik di depannya. “Kamu bodoh atau gimana sih?” “Maaf, aku punya amnesia.” Dia berbohong. Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dan menunjuk ke tempat duduk di sebelahnya. Mateo duduk di sebelah gadis itu dan melihat wajahnya yang capek dan sedih.
“Ada perang.” Jawab perempuan itu dengan suara monoton. Mateo hanya bisa tampak tercengang.
Mateo melihat sekeliling cafe tak berwarna dan menjemukan, dindingnya sudah retak dan tempat duduknya sudah kusam dan berdebu. Dan secara tiba-tiba, sebuah ledakan meraung dari jauh, mengguncang seluruh cafe.
“Erm, ini tahun berapa dan dimana kita?” Perempuan itu tertawa dan membetulkan jas dia yang tebal itu. “Ini tahun 1940 dan kamu sedang di London.”
Mata Mateo membesar. Dia bukan di 2022 lagi, tetapi di tahun 1940. Itu tidak masuk akal sama sekali, bagaimana dia bisa kembali ke masa lalu? Dada Mateo mulai merasa sesak, dia merasa ingin pingsan, penglihatan dia buram dan mata dia mulai berkaca-kaca.
“Apakah kamu baik-baik saja?” Tanya perempuan cantik itu, Mateo hanya bisa tertawa dan menggelengkan kepala. Dia mungkin seperti orang gila, rambutnya yang dipotong tidak karuan, bajunya yang tidak layak, dan perilaku dia yang kebingungan. “Ini-ini tidak masuk akal,” Bisik Mateo, Perempuan itu menatapnya kebingungan. “Jangan bohongi aku! Aku tahu ini pasti ulah Ayah aku, aku telah diracuni olehnya dan sekarang aku diperbudak di kota aneh ini.” Teriak Mateo, sambil membanting tangannya ke meja. Perempuan itu mulai marah, ekspresinya telah berganti dari kesal ke marah. “Eh, jangan coba-coba ya, kamu! Memang kamu pikir kamu siapa? Aku bahkan tidak kenal kamu atau ayah kamu,” Perempuan itu terengah-engah. “Nih, kalau tidak percaya, bacalah.” Perempuan itu memberikan Mateo selembar dari koran yang tadi ia baca. Walaupun sebagian besar dalam bahasa Inggris dan dia tidak bisa bahasa Inggris, Mateo masih bisa membaca tanggal dan tahun diujung koran itu.
29. December 1940
Cerpen Karangan: Eugene Eugene adalah seorang murid SMP Tarakanita 1, dia berumur 14 tahun dan gemar menulis.