“Memangnya kenapa kamu?” Tanya perempuan itu dengan polos, Mateo hanya bisa terdiam. “Aku baik-baik saja.” Dia berbohong, his hands started to get clammy and his body started to sweat. “Kamu butuh bantuan medis tidak? Apakah kamu terluka?” Gadis itu bertanya sambil berdiri dan merapikan bajunya yang berkerut. “Tadi aku sempat terjatuh.” Mateo menunjuk ke lututnya yang tergores dan berlumpur dan perempuan itu memegang lututnya dan melihat goresannya dengan lebih dekat.
“Itu saja?” “Erm, iya.” Mateo tertawa, perempuan ini membuatnya malu. Dia mengambil perban di laci depan dan mulai membalut kakinya dengat erat. Mateo memperhatikan mukanya perempuan itu, dan mukanya tampak kosong. Dia berpaling, seolah terintimidasi oleh sikap dinginnya.
“Nama aku Joi.” Katanya, dengan suara monotone. “Itu nama yang unik, namaku hanya Mateo.” Joi tertawa, sambil membalut kaki Mateo. “Itu nama nenek aku,” Kata Joi, Mateo mengangguk kepala dan mengagumi perban yang ada di lututnya. Joi berdiri lagi untuk melihat diluar jendela café. Kotanya sudah sunyi, tidak ada suara ledakan atau teriakan orang lagi yang membuat Mateo merasa tidak nyaman.
“Apa yang terjadi tadi, diluar?” Mateo menyahut dari belakang, sambil memegang erat lututnya yang diperban. Joi hanya bisa melamun, dia terlalu capek untuk menjawab pertanyaan Mateo.
Café sempat hening sebentar, sebelum suara Joi mengisinya. “It’s the Germans,” “Jadi, Jerman yang membom London?” Tanya Mateo dengan polos, Joi menganggukkan kepalanya dan kembali duduk bersama Mateo. Mukanya pucat, dan ekspresi dia capek. Mungkin dia khawatir, pikir Mateo. “Kita di ujung London, jadi berterimakasihlah kita tidak kena ledakannya. Tetapi kakak aku belum tentu selamat.” Dia menunduk, air mata sudah mulai terbentuk di ujung matanya.
“Aku dulu sempat menjadi kakak,” Jawab Mateo, Joi hanya bisa duduk terdiam, dia menyeka air matanya sebelum menatap Mateo. Matanya bengkak dan merah, dan badan ia bergetar ketakutan. “Adik aku meninggal karena ulah aku.” Kata Mateo dengan tenang. Mateo mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Joi, sebelum Joi menepis tangannya. “Sial.” Pikirnya.
“Bagaimana bisa, Mateo?” Tanya Joi sambil tersedu dan memegang erat jasnya.
Wafat adiknya selalu menghantuinya, kejadian itu terus berputar di kepalanya. Teriakan ibunya saat tubuh tak bernyawa adiknya ditarik dari lautan, dan mayat adiknya yang pucat dan tergores akan selama-lamanya terukir di pikirannya. Dia menyalahkan dirinya atas kematiannya, jika dia memperhatikan adiknya daripada sibuk dengan pacarnya, mungkin Darma akan masih hidup sampai sekarang.
“Dia tenggelam. Ayahku selalu menyalahkanku karena kematiannya.” Jawab Mateo secara monoton. “Oh.” Hati Joi terguncang, dia berdoa kepada Tuhan supaya kakaknya aman dan tidak terluka. Walaupun Joi dan kakaknya tidak begitu dekat, dia masih berhubungan darah dan masih bersaudara.
“Hey, kayaknya sudah aman jika kita pergi keluar. Aku ingin melihat situasi diluar.” Ucap Mateo sambil menyodok lengan Joi, Joi tersenyum dan mengangguk kepalanya.
Kotanya hancur, pemadam kebakaran berlarian di semua sudut London memadamkan api-api yang menjilat kota itu dengan lahap. Korban-korban berserakan di jalan raya dan anak-anak menjerit karena kehilangan salah satu orangtuanya. Mereka harus menyaksikan semua kekerasan terjadi, sementara yang bisa mereka lakukan hanyalah menonton, menyaksikan mayat orang yang mereka cintai diseret di jalan.
Mateo hanya bisa terdiam, menyaksikan konsekuensi dari perilaku egois manusia. Menurut dia, tidak adil bagaimana rakyat yang harus menderita walaupun mereka tidak bersalah apa-apa.
“Anakku!” Teriak sebuah ibu yang sedang menggendong anaknya yang berlumutan darah.
Mateo dan Joi melompati percikan darah untuk memasuki sebuah perpustakaan yang sudah hancur dimakan api. Berbagai buku gosong, dan rak kayu yang dulu kokoh sekarang hancur dilahap api. Mereka duduk di sebelah tumpukan kayu yang sudah terbakar, abu dan debu berterbangan dan berkelap-kelip di udara yang terasa pengap.
“Mateo, kamu boleh jujur dengan aku.” Ungkap Joi sambil memainkan debu yang menghiasi lantai. “Kamu dulu direkrut tidak?” Mateo kaget mendengar itu. “Tidak lah, aku bukan seorang tentara.” “Iya, tapi maksudku dulu.” Joi tertawa, tidak nyaman dengan situasi. “Aku punya teori, mungkin kamu kabur lalu pergi ke Inggris dimana kamu menjadi pengemis dadakan.” Mateo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Menurut dia, Joi memang cantik tetapi ide-ide yang dia punya tidak masuk akal sama sekali. “Aku bukan seorang pengemis, astaga.” Joi tertawa sambil menendang sebuah buku yang setengahnya berubah menjadi debu.
“Aku merindukan adikku.” Ungkap Mateo secara tiba-tiba
Joi menatap wajah Mateo sambil cemberut, walaupun suara tangisan rakyat terdengar dari luar tapi satu-satunya suara yang Mateo pilih untuk mendengar adalah suara miliknya.
“Mateo, aku tahu kau merindukan adikmu dan Ayahmu tidak terlalu memperhatikanmu, apa yang telah kamu alami memang beban yang sangat besar tetapi, tolong jangan berbuat kasar kepada orang-orang disekitarmu, khususnya Ayahmu. Walaupun dia tidak bersikap baik kepadamu, kau harus tetap menyayanginya.” “Aku tahu.” Mateo menatap muka Joi sambil tersenyum, meskipun dia hanya bertemu Joi sebentar, dia memang benar-benar tertarik dan senang bisa meluangkan waktu sejenak untuk bersamanya.
Tiba-tiba ada sebuah ketukan besar yang membuat semua badan Mateo terguncang. Lalu, penglihatannya mulai gelap, dan semua yang ada di depan dia lama-lama berubah menjadi debu.
—
“Mateo!” Teriak sebuah suara familiar dengan lantang. Mateo mulai sadar lagi dan melihat di sekitarnya, ada jam dinding modern yang digantung di dekat TV, koleksi action figure ditata dengan rapi, dan sandwich yang sudah dingin terlentang di meja belajar. Dia sudah kembali ke kamar lamanya. Tidak ada hal-hal yang kuno, tidak ada suara ledakan yang mengguncang tubuhnya, dan tentu juga tidak ada Joi.
“Mateo, ngapain kamu di dalam?” Itu suara Ayahnya. Mateo bergegas bangkit dari ranjang tidurnya dan membuka pintu kamarnya dimana ia bertemu dengan Ayahnya yang bersinar dengan kemarahan.
Semua itu adalah mimpi selama ini. Tapi Mateo bersyukur bisa bertemu Joi, meski mungkin dia tidak nyata dan hanya dalam imajinasinya. Joi mengajarinya untuk menghargai hidup apa adanya, karena itu mungkin akan diambil dari kita sebelum kita bisa menyadarinya. Bahkan jika apa yang kita miliki tidak banyak, daripada murung karena memiliki sedikit, bersyukurlah dengan apa yang kita punyai.
Cerpen Karangan: Eugene Eugene adalah seorang murid SMP Tarakanita 1, dia berumur 14 tahun dan gemar menulis.