Tak dirasa hari pun sudah semakin larut “Adelio, kamu inget ga kalo besok kan ada ph fisika?”, “Oiya, aduh musti banget belajar”. keluh Adelio yang ada di benaknya hanya ada game dan tidak mengenal apa itu namanya waktu. Seketika entah apa yang ada dipikiran Adelio semacam ada percikan yang menggerakkan otaknya, ia memikirkan suatu cara yang belum ia pikirkan sebelumnya,
“keknya aku inget sesuatu, ayahku pernah membuat suatu alat yang berhubungan dengan waktu”
Adelio yang mempunyai firasat bahwa ayahnya tak lama lagi, akan segera pulang dari kantornya segera berlari menuju ruangan kerja ayahnya. Sontak Tanaika yang melihat hal tersebut langsung berlari menyusul Adelio.
“Mau kemana buru buru amat”, “udah ikutin aja”
Tak jauh dari kamar Adelio akhirnya mereka tiba di depan ruangan kerja ayahnya Adelio, pintunya terbuat dari baja ringan dan tertera tulisan “Dilarang masuk, hanya yang berkepentingan”. Adelio sangat cekatan sekali memasukan kode rahasia untuk membuka pintu masuk ruangan kerja ayahnya, seakan-akan ia sudah tau sebelumnya.
“Kan kata ayahmu ga boleh sembarangan masuk sini” “udah kalem aja” ucap Adelio dengan nada yang menyakinkan.
Tanaika pun mulai memiliki firasat buruk dari ajakan Adelio, pintu terbuka tampak banyak barang-barang kegunaan eksperimen tersusun rapi,
“nah ini dia yang pengen kutunjukin ke kamu jam tangan pelompat waktu”
alat ini berbentuk layaknya arloji dan memiliki satu bagian terpisah bentuknya seperti bando yang berfungsi untuk membaca pikiran penggunanya.
“Kamu yakin? Ini masih prototype loh kan ayahmu sendiri yang bilang kalo projek ini belum selesai”, tanya Tanaika dengan ekspresi wajah yang gelisah. “Tenang cuy, nih aku jelasin cara menggunakan alat ini, jadi alat ini dapat memungkinkan kita untuk melompati waktu dengan jangka waktu sembilan menit, pertama kamu pake jamnya terus kamu pasang yang kayak bando ini, nah terus kamu tinggal pikirin deh pamannya kamu mau buat telur dadar nah nanti alat ini akan meng-skip 9 menit dari proses pembuatan, jadi yang tadi awalnya telor bisa langsung mateng”, “wuis keren banget dong”. Kagum Tanaika, dengan ekspresi muka yang berbanding 180° dari sebelumnya.
Setelah itu mereka pun memutuskan mencobanya pada PR mereka, secara ajaib PR mereka selesai dengan sekejap mata. Namun terjadi kerusakan pada alat tersebut yang menyebabkan terbukanya portal layaknya angin puting beliung yang menarik mereka masuk dan memporak-porandakan seisi perabotan rumah.
Metrokansas, 23 maret 1924. “Aduhh dimana kita sekarang”, “kayaknya kita ada di masa lalu” jawab Tanaika dengan ekspresi muka kebingungan karena melihat disekeliling mereka banyak orang lalu lalang menggunakan busana abad pertengahan, dan juga mereka berpergian menggunakan kereta kuda.
Tak jauh dari situ tampak seorang pria mendatangi mereka, karena gerak-gerik dan busana mereka yang terlihat asing di jaman ini.
“Hei nak, apa kalian datang dari kota lain?” Tanya pria itu,
seketika Tanaika dan Adelio pun berbisik sambil memalingkan pandangannya “stt jangan sampe bapak ini tau kalo kita dari alur waktu yang berbeda, bisa bisa kacau nanti” bisik Adelio, lalu mereka pun kembali menatap bapak itu dan menjawab, “ya pak kami datang dari kota lain, bisa bapak beri tahu dimana ini”,
“hohoho tentu saja anak muda, selamat datang Di Metrokansas pusat tempat hak paten barang terbesar di kota”.
Alangkah terkejudnya mereka berdua mengetahui bahwa mereka telah berada di kotanya namun dalam alur waktu yang berbeda, pantas saja kota Metrokansas dapat disebut kota masa depan karena sejak zaman dahulu orang-orang datang ke kota ini untuk berlomba mendapatkan hak paten atas barang ciptaannya.
“Bagaimana kalau kalian berdua bermalam sejenak di rumahku, oiya kita belum berkenalan namaku adalah Walter Hambringer”
sontak Adelio pun terkaget dalam hati bahwa orang ini mempunyai nama belakang yang sama dengannya, ternyata orang ini adalah leluhur dari Adelio.
“Sebelum itu mau tidak kalian membantuku mengurus ladangku”, ternyata leluhur Adelio dahulu adalah seorang petani, “Boleh saja” jawab Tanaika dan Adelio.
Lalu mereka pun bergegas ke ladang sambil diantar menggunakan kereta kuda, guncangan dari kereta kuda mereka dapat rasakan berpadu dengan bunyi sepadu kuda pada tiap langkahnya, nampak juga jalanan di kota masih kuno tidak ada satupun jalan yang diaspal.
“Ayo turun kita sudah sampai” ucap Bapak Walter, alangkah terkejutnya saat mereka berdua turun dari kereta kuda nampak padang jagung yang hijau membentang memanjakan mata mereka.
“Kita sudah seperti di dunia dongeng saja ya Del” ucap Tanaika dengan mulut menganga, “betul banget tuh” jawab Tanaika.
“Nahh sekarang tugas kalian adalah memanen semua jagung jagung ini, semangat semuanya jangan sampai ada yang terlewat ya..”
di ladang mereka pun bersiap untuk memanen semua jagung yang ada, dengan peralatan yang sederhana mereka diharuskan untuk memanen empat meter persegi ladang jagung, satu-persatu jagung mereka masukan kedalam gerobak kayu, di jaman ini sangat berbanding terbalik dengan jaman dimana Adelio dan Tanaika tinggal yang semuanya serba modern dan instan.
Tak dirasa semua pekerjaan mereka sudah beres, “Duh lelah juga ya memang segala sesuatu disini memang butuh proses” ucap Adelio dengan nafas yang terpenggal akibat kelelahan. “Ayo mari masuk dulu, hari sudah semakin sore lho” ucap Pak Walter yang mengajak mereka berdua masuk ke rumah yang terbuat dari kayu ukurannya agak besar dan, di atasnya terdapat papan nama yang bertuliskan “Perternakan keluarga Hambringer”.
Dengan senang hati Pak Walter membukakan pintu untuk mereka berdua, layaknya tamu istimewa, nampak di setiap sudut ruangan terpajang foto keluarga Hambringer dari generasi ke generasi.
“Perkenalkan ini istriku dan anakku” ucap Pak Walter, ternyata Pak Walter memiliki istri dan anak yang masing masing bernama Winddy dan Henry.
“Mari duduk” ucap Ibu Winddy sambil menyiapkan makanan yang tadi ia sudah masak berupa macam-macam olahan jagung, “tidak usah repot-repot bu” ucap Tanaika, “sudah makan saja lagi pula ini kalian yang panen tadi kan”
lalu mereka semua menyantap makanan ini dengan lahap. Rasa sakit dan penat yang mereka rasakan akhirnya terbayarkan dengan hasil yang setimpal juga. Disaat seperti ini Adelio juga membayangkan bahwa betapa pentingnya sebuah proses dalam rangkaian hidup karena proses tidak pernah berbohong. Setelah makan malam telah selesai mereka berdua pun memutuskan untuk kembali ke tempat awal mereka berada serta berpamitan dengan Keluarga Hambringer.
“Ga sekalian nginep aja nih” tawar Pak Walter, “tidak apa-apa tuan, kami juga harus kembali lagi ke kota asal kami” “terimakasih atas hari ini” itulah salam terakhir mereka berdua kepada Keluarga Hambringer.
Setelah sampai di titik awal mereka berada, ajaib bukan main mereka melihat portal yang sama saat kejadian kecelakan yang membawa mereka ke masa lalu, dengan sekuat tenaga mereka berdua pun berlari menuju portal itu berharap dapat kembali ke alur waktu dimana mereka berada. Tak disangka semua itu berkat Ayah Adelio, Ayah Adelio sebelumnya sudah mengetahui hal ini akan terjadi, karena sesampainya ia di rumah, ia melihat seisi kantornya berantakan dan merasa ada yang tidak beres lalu ia menciptakan sebuah alat portal baru untuk mengembalikan mereka berdua.
“Maafkan Adelio ayah aku sebelumnya tidak tahu kalo hal ini bakal terjadi”, ucap Adelio yang sudah pasrah akan dimarahi oleh ayahnya “iya ayah maafkan, tapi inget ya Adelio dan Tanaika, sesuatu hal yang instan itu ga baik, kita harus melewati setiap proses untuk mendapatkan hasil yang terbaik” “baik ayah”,
“btw om, om kenal ga sama Walter Hambringer” celetuk Tanaika “lho kok kamu tau nama orang itu?” “Ada deh” saut Adelio sambil tertawa diikuti Tanaika dan ayahnya hanya bisa geleng geleng kepala melihat kelakuan mereka berdua.
Tamat.
Cerpen Karangan: Jeovan Arlyne Andikatama