Marni sedang sibuk di dapur, memasak kangkung hasil panen dari ladang. Aroma tumis kangkung tercium hingga ke dalam rumah, membuat Bimo anak semata wayangnya terbangun.
“Ibu masak apa?” Bimo berjalan sempoyongan ke dapur sembari mengucek mata. “Tumis kangkung le” “Walah kok masak sayur terus sih. Aku kepingin makan ikan. Kapan ibu masak ikan?” bocah lima tahun itu cemberut. “Besok ya le, kalo ibu ke pasar ibu belikan ikan” ucap Marni sambil tersenyum. “Tapi aku mau makan ikan sekarang” Bimo mulai merengek. “Hari ini ikannya belum ada. Jadi Bimo sekarang maem sayur ya. Nanti ibu bikinin telur mata sapi yang kuningnya bulat di tengah. Bimo mau?” “Mau. Tapi janji besok ibu masak ikan ya” “Iya” ucap Marni sambil tersenyum dan Bimo pun ikut tersenyum.
“Nanti bapak mau mancing. Doakan bapak biar dapat ikan yang banyak ya” Karmin yang sedari tadi mendengar percakapan istri dan anaknya langsung menyahut. “Iya pak” jawab Bimo.
“Mau mancing dimana mas?” tanya Marni. “Di telaga” “Kenapa ndak di sungai aja mas. Kata orang-orang telaga itu wingit” “Kata siapa, wong aku dulu sering mancing di situ” Marni hanya terdiam tak bisa meyakinkan suaminya. Perasaannya tak enak.
Siang itu selepas dzuhur Karmin berangkat menuju telaga dengan membawa pancing dan ember kecil untuk wadah ikan hasil pancingan. Jalan berliku melewati pematang sawah dan beberapa ladang warga. Letak telaga jauh dari perkampungan. Menyendiri di tepi desa dekat hutan.
Setibanya di telaga, Karmin segera mencari tempat yang nyaman untuk memancing. Dia mulai memasang umpan dan melempar kail. Tak lupa sebatang rok*k ia nyalakan untuk menghapus rasa bosan. Tenang dan damai diselingi kesiur angin semilir, dengan sabar Karmin menunggu umpan disambar ikan. Ia rela menghabiskan waktu berjam-jam demi menyenangkan hati anak lanang.
Rupa-rupanya keberuntungan berpihak pada Karmin. Ikan-ikan hari ini begitu jinak. Mudah sekali ditangkapnya. Tak sampai tiga jam, ember sudah hampir penuh. Ikan-ikan bertumpuk berdesakan sambil sesekali menggelepar, tersengal berlama-lama di daratan.
Karmin tersenyum senang, dipandanginya ikan-ikan di dalam ember. Satu dua ekor ikan menggelepar, mulutnya bergerak seakan ingin mengatakan sesuatu.
“Mas” Tiba-tiba terdengar suara perempuan. Karmin terkejut bukan kepalang. Dikiranya ikan itu sedang berbicara. Bulu kuduk seketika meremang meski kala itu matahari masih terang bersinar.
“Mas” Suara itu terdengar lagi. Karmin mengedarkan pandangan ke sekeliling telaga. Seorang perempuan berdiri tepat dibelakangnya. Napas lega terhembus, ternyata yang berbicara adalah manusia.
“Sendirian saja mas?” tanya perempuan itu. Karmin mengangguk. “Cari ikan banyak sekali. Apa mau dijual?” tanya perempuan itu lagi. “Tidak. Buat dimakan sendiri, anak saya sedang ingin makan ikan. Sampean mau?” Karmin menawarkan. Dikiranya perempuan itu juga ingin ikan.
Perempuan itu menggeleng lalu berkata. “Mas bisa mampir ke warung saya, barangkali masnya ingin ngopi” “Iya nanti saya mampir” jawab Karmin.
Perempuan itu lalu berjalan menuju sebuah gubuk kecil terbuat dari anyaman bambu. Tempat itu dijadikan warung kopi sederhana khas daerah pedesaan.
Karmin terheran, tak pernah ia melihat warung itu sebelumnya. Bahkan ketika ia tiba tadi Karmin juga tak melihat adanya warung. Tiba-tiba sekarang dia melihat sebuah warung berdiri di tepi telaga dengan wanita cantik sebagai penjualnya. Wanita yang tak pernah ia lihat di kampung. Dengan kulit putih bersih bukan seperti orang sini.
Beberapa jam berlalu, saat ember mulai penuh, Karmin menyudahi kegiatan memancingnya. Dibereskan semua perlengkapan kemudian berjalan untuk mampir ke warung kopi seperti yang sudah ia janjikan kepada pemiliknya.
“Kopi hitam satu bu” ucap Karmin begitu sampai di warung. “Jangan panggil ibu, panggil saja mbak. Saya masih muda, nggak enak kalau dipanggil ibu” jawab perempuan itu. Karmin mengangguk lalu tersenyum.
“Mbaknya bukan asli orang sini ya, kok saya nggak pernah lihat? Warung ini juga sepertinya masih baru” tanya Karmin. “Iya mas, saya berasal dari kampung sebelah. Warung ini juga masih baru. Baru dua hari buka” jawab wanita itu sambil mengaduk wedang kopi.
“Ini mas kopinya” Karmin menerima kopi itu. Menyeruput nya pelan. Karmin terkejut, tak pernah dirasakan kopi seperti ini sebelumnya. Kopi hitam dengan sedikit aroma melati. Pahit manisnya pas.
“Mbak tinggal di warung ini?” Perempuan itu mengangguk. “Sama siapa?” “Sendirian mas” “Seorang wanita muda tinggal di tepi telaga sendirian, jauh dari perkampungan. Apa nggak takut?” “Enggak mas, takut apa lho? Wong nggak ada apa-apa” jawab wanita itu sambil tersenyum. Obrolan santai pun berlanjut, diselingi dengan canda gurau. Tanpa terasa segelas kopi telah habis, menyisakan tumpukan ampas di dasar gelas. Setelah membayar kopinya, Karmin pamit.
Di rumah, Karmin disambut anaknya dengan riang gembira. Seember penuh ikan ia berikan kepada Marni untuk segera diolah menjadi masakan.
“Mas Karmin mau ngopi?” tanya Marni kepada suaminya. “Enggak, tadi udah ngopi di warung dekat telaga” “Sejak kapan di dekat telaga ada warung kopi?” “Warung baru” Karmin lantas menceritakan tentang warung kopi di dekat telaga, tanpa mengatakan jika penjualnya adalah seorang wanita muda yang cantik. Ia tak mau istrinya cemburu.
Makan malam berlangsung meriah, sajian gulai ikan terhidang di meja. Karmin dan keluarga makan dengan lahap. Tak lupa sebagian ikan mereka bagikan ke tetangga, saking banyaknya ikan hingga tak mampu menghabiskan sendiri. Setelah makan malam dan kekenyangan. Mereka tertidur lelap dalam pekatnya malam yang sunyi, tanpa tau jika musibah akan menimpa mereka esok hari.
Pagi-pagi sekali, tubuh Bimo mendadak demam tinggi hingga kejang. Panik melihat kondisi anaknya, Karmin dan Marni segera membawa Bimo ke puskesmas. Tapi sayang, Bimo tak mampu bertahan. Dia meninggal dalam perjalanan.
Marni terguncang dengan kepergian sang anak. Sedih tak terkira. Tak mau makan, tak mau minum. Tubuhnya semakin lemas dan pucat. Tak sanggup menahan beban kesedihan. Marni pun menyusul setelah lima hari kepergian Bimo.
Kini tinggallah Karmin seorang diri. Berteman sepi setiap harinya. Tak ada celoteh, rengek dari Bimo. Atau pun omelan cerewet dari Marni. Jagad raya dunia Karmin berduka.
Karmin ingin melepas duka. Tujuh hari sepeninggal Marni, Karmin beranjak menuju telaga. Kembali memancing, barangkali dengan begini beban dukanya sedikit berkurang. Dua jam ia menunggu tak sekalipun umpannya di sentuh ikan. Tak bergeming sesenti pun. Entah berapa batang rokok telah ia habiskan. Sedihnya tak sedikitpun berkurang, justru rasa bosan menambah beban pikirannya.
Dipandanginya sekeliling telaga. Sebuah warung kopi kecil berdiri disana. Teringat wanita muda nan cantik menghuni tempat itu seorang diri. Karmin segera beranjak, meninggalkan peralatan pancingnya teronggok sendirian.
“Kopi hitam satu mbak” “Masnya kok terlihat lesu hari ini?” tanya perempuan cantik pemilik warung. Karmin hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Dia sedang tak ingin bercerita.
“Ini mas kopinya” sang wanita menyodorkan segelas kopi. Kopi hitam pekat dengan sedikit aroma melati. Karmin segera menyeruputnya.
“Kopi seenak ini, dengan penjual secantik dan seramah ini. Kenapa tak ada seorangpun yang mau mampir kecuali dirinya?” tanya Karmin dalam hati. Keheranan menyelimuti hati. Tak pernah sekalipun terlihat ada pengunjung lain di warung ini. Bahkan di kampung tak ada seorang pun pernah bercerita tentang keberadaan warung di tepi telaga.
“Mas saya mau minta tolong. Tolong pecahkan buah kelapa di belakang, saya mau masak sayur lodeh” ucapan perempuan pemilik warung memecah pemikiran Karmin.
Karmin segera menuju belakang warung. Mengambil sebutir kelapa lalu memecahnya dengan alat yang sudah tersedia. Ketika sibuk memisahkan buah kelapa dari batoknya, tiba-tiba dirasakan seseorang memeluk dari belakang. Ternyata dia adalah perempuan pemilik warung. Berbisik di telinga.
“Mas Karmin sedang berduka ya”
Jantung Karmin berdesir, rasa sedih kehilangan istri dan anak lenyap seketika. Karmin meletakkan buah kelapa yang sedang dipecahnya. Membalikkan badan untuk membalas pelukan perempuan cantik itu. Tapi betapa terkejutnya Karmin melihat wajah perempuan di depannya. Perempuan itu tak lagi cantik. Wajahnya menghitam keabu-abuan, sisik melapisi sekujur tubuhnya. Badannya separuh manusia, separuhnya lagi berekor seperti ikan. Bau amis menguar dari tubuhnya.
“Siapa kamu?” tanya Karmin gemetaran. Perempuan itu hanya menyeringai memamerkan gigi-giginya yang runcing.
Karmin gelagapan, dia segera bangkit hendak lari sekencang-kencangnya menjauh dari perempuan menyeramkan itu. Tapi belum sempat ia melangkah, kekuatan tak kasat mata menghujam jantungnya. Membuat Karmin jatuh seketika. Napas telah terhenti, tak ada gerakan yang bisa Karmin lakukan. Perempuan itu tersenyum.
“Itulah balasan karena telah memakan anak-anakku”
Cerpen Karangan: Wiwin Ernawati Blog / Facebook: Icasia Aurelio