Malam itu hujan turun dengan deras disertai kilatan cahaya dan disusul suara gemuruh. Udara dingin menusuk kulit beradu dengan hangatnya perapian yang menyala. Aku tengah sendirian di rumah menunggu ayah dan ibuku yang seharusnya sudah pulang sedari tadi. Mereka pergi ke kota untuk menjual hewan ternak yang jaraknya sekitar setengah hari perjalanan menggunakan kuda.
“Semoga mereka baik-baik saja,” batinku.
Aku berbaring diatas sofa tua yang mulai lapuk. Disana-sini bertengger lubang-lubang bekas gigitan rayap, sesekali sofa itu akan berderit setiap kali aku merubah posisiku. Suara gemeretak kayu yang dibakar, bersama dengan tetesan air yang menyentuh tanah seperti musik yang merdu mengantarkanku pada tidur yang lelap.
Aku terbangun ketika sinar matahari membuat mataku silau. Udara disekitarku terasa hangat dan sofa yang kutiduri lebih terasa seperti karpet yang beraoma seperti rumput. Aku mengubah posisi tidurku menjadi duduk dan mengerjapkan mata beberapa kali sampai aku sadar ada yang tidak beres.
Aku sangat terkejut saat mendapati aku tidak lagi berada diatas sofa, tidak ada lagi perapian dan suara hujan. Aku berada di sebuah tanah lapang yang dikelilingi dengan hutan lebat. Tempat itu ditimpa sinar matahari yang hangat dan beberapa dedaunan meneteskan sisa-sisa embun pagi.
Disekelilingku tampak hewan-hewan berjalan kesana kemari seolah sudah terbiasa dengan keberadaanku. Beberapa kelinci saling melompat mengejar satu sama lain, beberapa meter dari tempatku berada tampak gerombolan kupu-kupu warna-warni yang sedang mengitari bunga. Kadang sesekali terlihat kucing hutan berwarna keabuan melintas melewatiku dengan tenang. Bagaimana aku bisa sampai kesini?
“Hei! Apa yang kau lakukan disini?” sebuah suara membuatku menoleh. “AAAhh!!” Aku menjerit ketakutan sekaligus terkejut melihat siapa yang bicara. Jika dilihat sekilas bentuknya seperti setangkai bunga, hanya saja terdapat wajah kecil dengan telinga runcing dan sepasang tangan serta kaki. Dibagian entahlah mungkin bisa disebut punggung terdapat sepasang sayap transparan. Mereka ada dua satu berwarna merah seperti bunga mawar dan satunya berwarna biru mirip bunga tulip.
“Hei! Kecilkan suaramu itu,” ucap si bunga mawar dengan galak. “Ka..kalian siapa?” tanyaku terbata. “Kami siapa heh? Harusnya aku yang bertanya siapa kau?” sekali lagi si bunga mawar berkata dengan ketus. “Namaku Alkina,” jawabku. “Alkina? Kau tahu nama itu artinya bulan?” kali ini si bunga tulip yang bicara. Suaranya dalam dan lembut berbeda dengan si mawar yang suaranya melengking. Aku menggeleng sebagai jawaban.
“Kau punya nama yang indah. Namaku Donella dan ini Prilia,” aku mengangguk sebagai tanda mengerti. Si tulip bernama Donella dan Si mawar bernama Prilia. “Kami seorang peri, dan kau?” sambungnya. Aku terbelalak saat mendengar ucapan Donella. Mereka adalah seorang peri. Peri sungguhan? “Ehem,” Prilia yang melihatku terdiam berdeham keras sebagai tanda menunggu jawaban. “Ah eeh aku adalah seorang manusia,” mendengar jawabanku mereka tampak mengernyit. “Apa itu manusia?” kali ini Prilia bersuara. “Kau seperti kera tapi tidak punya ekor dan bulu, kepalamu seperti duyung tapi kau bisa berjalan dengan dua kaki seperti troll, kau juga tidak punya janggut dan terlalu tinggi untuk jadi kurcaci dan telingamu..”
Belum sempat Prilia menyelesaikan celotehnya terdengar suara dentuman keras seperti langkah kaki. Sepertinya sesuatu yang besar sedang berjalan mendekat. Kedua peri itu juga tampak menyadari apa yang terjadi buru-buru mereka bersembunyi dibalik pohon, aku juga ikut bersembunyi.
BUNG! BUNG! Sesosok makhluk mirip seperti manusia dengan kulit tebal berwarna keabuan dengan tinggi sekitar dua setengah meter tampak berdiri ditempat kami sebelumnya. Aku memperhatikan dari balik pohon, makhluk itu berkepala bulat, tidak memiliki daun telinga, dengan mata bulat dan tidak ada rambut yang tumbuh dibagian kepala. Jika dilihat lebih jelas makhluk ini sepertinya bodoh. Aku menoleh kearah Donella dan Prillia bersembunyi, dari gerakan mulut mereka aku tahu kalau makhluk itu adalah troll.
Aku mengintip lagi dari balik pohon untuk mengamati lebih jelas. Tiba-tiba troll itu menoleh kearah kami bersembunyi. Tanpa aba-aba kedua peri itu melesat terbang menjauh. “Lariiiii!!” Aku langsung berlari mengikuti mereka berdua. Kedua peri itu terbang sangat cepat, tubuh kecil mereka lincah menghindari dahan pohon atau burung yang terbang melintas.
BUNG! BUNG! BUNG! Aku menoleh kebelakang, troll itu tampak mengejar kami bertiga. Larinya cenderung lambat, tapi karena langkahnya lebar dengan cepat dia mendekati kami.
“Apa yang terjadi?” tanyaku disela kami melarikan diri dari kejaran troll. “Troll memiliki penciuman yang tajam dan makanan mereka adalah peri,” Donella menjelaskan dengan cepat. Jadi, troll itu mencium keberadaan kedua peri yang bersamaku.
Aku terus berlari secepat mungkin dan berusaha fokus menatap kedepan. Dari suara langkahnya yang semakin keras aku yakin troll itu semakin dekat. Lalu kudengar suara nyaring Prillia menjerit ketakuan. “AAAAhhh tolong,” aku melihat kebelakang dan pemandangan yang terlihat adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Troll itu memakan prilia dengan rakus sampai beberapa kelopak mawar jatuh berserakan di tanah.
“Apa yang harus kita lakukan Donella?” tanyaku dengan suara bergetar. “Kita harus kembali ke sarang kita masing-masing,” Donella berseru sambil terus terbang secepat mungkin. “Tapi aku tidak berasal dari sini, aku harus mencari jalan untuk kembali ke dunaiku,” seruku dengan napas tersengal. Troll itu mengejar kami lagi setelah menelan Prillia yang malang. “Jangan khawatir ikuti saja aku,” ucapnya dan ia langsung mempercepat laju terbangnya. Aku mengikuti Donella berusaha mengimbangi kecepatannya yang cukup tinggi.
Kami berdua terus menghindari troll itu secepat dan sebisa mungkin agar tidak dimakan. Aku tidak memperhatikan kemana tujuan kami sampai beberapa saat terus berlari aku mendengar suara deburan air terjun yang semakin keras. Tak berselang lama kami berdua tiba ditepi tebing dimana air terjun setinggi lebih dari 200 meter itu mengalir dengan deras.
“Apa yang akan kita lakukan disini Donella,” tanyaku dengan napas tersengal sehabis berlari. Donella menatapku sinis. Wajah baik dan anggunnya yang menyerupai bunga tulip berwarna biru itu berubah seketika. Dengan suaranya yang dalam dan tenang ia berkata, “Kau sangat bodoh kau tahu? Aku berpikir jika troll itu memakanmu mungkin dia akan berhenti makan peri selama bertahun-tahun,” ucapnya disertai senyuman licik. “Ooh Alkina, cobalah lebih bijak sedikit. Jangan sampai kau percaya pada pihak yang salah,” usai mengucapkan itu Donella kembali terbang terjun kearah dasar air terjun meninggalkan aku sendirian.
BUNG! BUNG! Langkah kaki troll kian mendekat. Aku menelan ludah apa yang harus aku lakukan? Apakah aku lompat saja? Atau aku pasrah saja? Kakiku lemas dan keringat dingin mengucur di dahiku. Semakin lama kulihat troll itu semakin dekat. Aku menelan ludah susah payah. Rasanya mulutku terkunci rapat, hendak berteriak saja tidak bisa.
Troll itu semakin mendekat, menatapku dengan mata bodohnya yang ganas. Dengan sigap ia mencengkram kuat tubuhku dan mengangkatnya beberapa senti dari tanah. Aku merasa tercekik, tulang-tulangku seperti mau remuk dan aku tidak bisa bernapas. Perlahan tapi pasti, napasku mulai melemah dan penglihatanku menjadi gelap.
“Alkina bangun, hei nak, bangun!” suara Ibu membuatku mengerjapkan mata. Kurasakan tubuhku diguncang dengan kuat dan aku berkeringat.
Aku terbangun dan mendapati diri berada di ruang tengah, diatas sofa lapuk dan dididepan sebuah perapian yang tidak lagi menyala. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela-jendela yang telah dibuka.
“Ibu? Kalian sudah kembali?” tanyaku dengan tatapan bodoh dan suara serak khas orang bangun tidur. “Kami baru saja kembali sayang, maaf membuatmu khawatir sampai harus menunggu didepan perapian,” ucap ibuku lenbut. Aku menggelang sebagai tanda tak keberatan. Aku mendongak, menatap keluar jendela pagi itu. “Itu tadi mimpi yang buruk sekali,”
Cerpen Karangan: Indar Widia Blog / Facebook: Indar Widiastuti Rahayu