Semenjak lebaran terakhir itu aku sudah tidak pernah melihat Gifar pergi ke masjid. Biasanya lelaki itu tergopoh-gopoh saat ia baru mendangar ujung kalimat adzan yang menguing-nguing lewat corong toa masjid. Apalagi masjid tersebut sudah memiliki menara baru, yang baru selesai dibangun dua bulan lalu. Angin yang biasa mengabari musim dari selatan turut membisu. Kucing-kucing yang biasa saling bertengkar hanya perkara perempuan juga tak berpetah kata.
Para jamaah masjid yang tidak pernah absen datang lebih awal bahkan sebelum kumandang adzan mendayu-dayu di udara, memberi kabar padaku bahwa Gifar sudah diangkat menjadi seorang waliyullah. Katanya, dalam sekali pandang Gifar bisa melihat Ka’bah hanya dengan melubangi kirai bambu yang menutupi beranda rumahnya. Lelaki itu juga mampu melihat kawanan malaikat yang sedang berputar-putar di pusaran langit ketujuh hanya dengan melihat dari lubang atap rumahnya. Bahkan lelaki itu juga bisa mengambil batu delima dari lapisan bumi ketujuh. Semuanya serba cepat dan ajaib. Tentu saja yang dimiliki oleh Gifar bukan sulap maupun trik seperti yang dimiliki oleh Gus-Gus dobol yang belakangan ini menjadi viral di YouTube.
“Bahkan Gifar pernah naik burak,” kata Pak Tomo Laksono dengan mata berapi-api. Ia berusaha meyakinkan padaku bahwa apa yang dilihatnya bisa dibuktikan dengan kajian ilmiah. “Burak, Pak?!” aku semakin penasaran. Seumur-umur aku mengenal nama burak hanya tinggal nama saja. Wujud dan rupanya, aku tidak tahu. Setiap tahun aku mendengar nama burak hanya lewat bualan para tukang bual dan khutbah yang ia sendiri tidak pernah melihat bentuk burak kecuali dari kitab manual. Bahkan si penulis kitab manualnya pun juga tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri wujud burak kecuali dari mulut ke mulut. Dan yang lebih paling aneh, Kanjeng Nabi Muhammad pun tidak pernah menjelaskan dengan detail bentuknya burak. Mana mungkin aku bisa beriman bahwa burak itu memang ada? Keimanan kan harus dibuktikan dahulu? Misalkan wujud Tuhan. Tuhan memang ada, tapi wujudnya seperti apa dan bagaimana? Masa keimanan hanya dibuktikan dengan gambaran yang absurd?
Pak Tomo Laksono mengangguk. “Apakah Bapak pernah menyaksikan sendiri wujudnya burak?” Lelaki itu mengenyir kuda. “Saya belum siap untuk bisa seperti Gifar,” sahutnya pendek. “Kenapa, Pak?” Lelaki itu mendekatkan wajahnya padaku. “Karena saya merasa belum pantas.” Ia membisikkan jawabannya di telingaku. “Bukankah kepantasan itu semua tergantung pada niat Bapak? Jika Bapak selalu merasa belum pantas, kapan pantasnya?” Saat aku baru saja pulang dari acara tahlilan Pak Gondo Suli pun aku mendengar dua bapak-bapak takmir masjid tampak asyik membicarakan soal Gifar. Aku kenal mereka berdua. Di bawah purnama yang mengintip malu-malu di balik selembar awan yang menyaput langit, kami bertiga berjalan dengan pelan. Sesekali kami menyapa tetangga yang lagi duduk santai di halaman rumah mereka. Angin sepoi-sepoi membelai-belai wajah.
“Apa yang dikatakan oleh Pak Tomo bohong semua,” ujar lelaki paro baya pertama. “Jangan percaya sama dia. Sejak dulu hingga kini dia tetap saja bohong. Dia tidak pernah berkata jujur. Bahkan kepada istrinya saja, dia selalu berbohong.” “Gifar naik burak? Cuih! Memangnya Gifar itu siapa?!” timpal lelaki paro baya yang satunya lagi sambil meludah ke jalan. Bumi yang sama sekali tidak pernah bersalah diludahinya dengan murka. “Aku heran kenapa sekarang banyak orang sinting?” “Oleh karena itu kita jangan sampai ikutan sinting,” sahut yang satunya sambil meledek.
Aku heran dengan orang-orang ini. Yang sebetulnya sinting bin tolol itu siapa? Selama ini kita beribadah hanya mengikuti tuntunan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad 1400 tahun yang lalu. Padahal sejak zamannya Nabi Adam sembahyang sudah ada. Bacaan-bacaannya sudah ada. Sudah lengkap. Lalu ada sebagian orang yang mengatakan bahwa bacaan shalat berasal dari sahabat lalu ditetapkan dan dicatat dalam buku manual. Ada lagi yang mengatakan bahwa zikir tidak perlu beramai-ramai. Padahal sejak dulu para nabi zikirnya ramai-ramai. Yang paling parah adalah, para nabi terdahulu menyembah Tuhan lantaran sudah berjumpa dengan-Nya. Begitu juga dengan Nabi Muhammad. Nah sementara kita? Apakah tidak lucu menyembah sesuatu Sesembahan yang belum kita kenal? Andai saja mereka tahu pasti mereka akan menertawakan ketotolan mereka sendiri yang selama ini tidak disadari.
Namun terlepas dari itu semua. Aku masih diserbu rasa penasaran yang mendalam. Makin dalam bahkan. Apakah benar Gifar pernah naik burak?
—
Lelaki muda itu menerima semua itu dengan mengulum senyum. Meski aku tahu bahwa sebenarnya hatinya tergores pisau tajam. Herannya ia malah masih bisa mengeluarkan senyuman tulusnya walau hatinya terluka. Lalu ia bangkit dari lantai masjid dan beranjak keluar. Orang-orang yang berada masjid masih tertawa sesekali meledek lelaki itu. Aih, sungguh mereka tidak punya perasaan malu meledek manusia di hadapan Tuhan. Mereka sama sekali tidak punya sopan santun menertawakan orang lain di dalam masjid. Sering dikoar-koarkan oleh tukang membual bahwa masjid rumah Allah. Namun pada hari ini, atau bahkan sudah bertahun-tahun silam tidak jarang manusia meledek manusia di dalam masjid, di hadapan Allah. Lalu di mana letak ketuhanan Allah yang diinjak-injak oleh penyembah-Nya sendiri? Kalau agama mereka dinista mereka berang. Kalau kitab suci mereka dilecehkan mereka ngamuk. Kalau nabi mereka dikoyak-koyak mereka anarkis. Coba lihat, mereka sendiri menistakan orang lain di hadapan Tuhan sama sekali tidak ada yang protes? Aneh bukan? Astaga, di mana orang-orang yang selama ini mengaku sebagai pejuang agama? Yaa Tuhanku, kenapa Engkau diam saja? Kenapa Engkau tidak membela hamba-Mu yang dilecehkan oleh para penyembah-Mu? Apakah Engkau memang ada atau jangan-jangan hanya diciptakan oleh fatamorgana orang-orang putus asa?
“Kenapa engkau diam saja?” tanyaku pada lelaki itu sedikit marah. “Biarkan saja.” Ia menjawab pertanyaanku dengan mengulum senyum. “Seharusnya kamu membalas perbuatan mereka! Bukan diam saja. Ungkapan diam adalah emas sudah tidak berlaku lagi. Sebab ungkapan itu hanya dipakai oleh orang-orang yang lemah syahwat.” Aku kesal pada lelaki itu. Ingin aku kembali ke masjid dan balik melecehkan mereka bahkan imam masjid yang sok alim tapi suka nyolong dana masjid. “Mereka semua sok alim tapi aslinya penipu, munafik.” “Aku tahu itu. Makanya aku diam saja.” Ia menyelonong pergi. Aku geram pada mereka. Kukepalkan tanganku.
“Sebaiknya jangan balas tindakan mereka. Biarkan Allah yang membalas.” Ia terus berjalan di bawah cahaya purnama yang membagi ruang kebahagiaannya untuknya. “Allah. Apakah kamu yakin bahwa Allah akan membalas perbuatan mereka?” Aku mengikutinya. “Apakah kamu beriman bahwa Allah memang ada?” Ia menatapku dengan wajah serius. Aku menelan ludah. “Aku hanya beriman karena faktor keturunan. Aku belum pernah mengalaminya sendiri.” “Boleh aku pinjam tanganmu sebentar?” “Untuk apa?” Aku mengangkat tanganku. “Ulurkan tanganmu!” Kemudian ia menjepret tanganku dengan keras. Ia menyeringai senang. Aku mengaduh sakit. Meski perawakannya kecil ia juga kuat. Aih aku lupa pula. Orang yang pendek belum tentu pengetahuannya pendek. Dan orang yang tinggi belum tentu pengetahuannya setinggi langit.
“Bagaimana?” “Sakit.” “Apakah sakit memang ada?” “Ada.” “Tahu wujudnya sakit?” Aku menggelengkan kepala. Mana mungkin aku bisa menggambarkan wujud rasa ‘sakit’ itu. “Itulah Allah. Itulah Tuhan. Tuhan ada di balik rasa. Dan orang-orang itu tidak pernah tahu letak rahasia Tuhan. Yang penting rahasialah.” Ia mengeloyor pergi. Aku semakin penasaran dengan lelaki itu.
Hari Jumat setelah peristiwa itu, aku duduk di dekat salah satu tiang yang menyangga langit-langit. Semua orang tampak menundukkan wajah-wajah munafiknya di hadapan Tuhan. Mulut besarnya komat-kamit menyebut asma Tuhan. Hmm, dikira Tuhan buta tidak melihat wajah beruk mereka yang penuh kebohongan. Dikira Tuhan tuli tidak mendengar kata-kata busuk yang berhamburan dari mulut kakus mereka. Hati mereka penuh dengan tahi babi dan anjing. Memang sih mereka tidak pernah mengungkap kejujuran akan hal itu, sebab mereka saat ini sedang berlomba-lomba menjadi orang baik. Mumpung di hari Jumat.
Lelaki muda itu lewat di hadapan orang yang lagi sibuk berzikir kepada Tuhan. Tiba-tiba seorang lelaki yang duduk bersimpuh di dekat pintu masjid mengibas-ngibaskan tangannya. Lalu orang yang duduk di sebelahnya ikutan mengibas-ngibaskan tangannya.
“Sarung berbulan-bulan tidak dicuci!” umpatnya yang disambut tawa oleh orang di sebelahnya. “Maklumlah, Kang, tidak ada yang mencucinya.” “Bajunya juga bau! Baju dua hari yang lalu masih dipakai Jumatan!” “Namanya juga orang sinting, Kang.”
Pembicaraan mereka langsung disambut tawa oleh yang lain. Aku geram mendengarnya. Berulang kali mereka melakukan hal yang sama di hadapan Tuhan. Dasar orang tidak punya kesopanan. Tidak punya akhlak. Lagaknya saja alim dengan berkomat-kamit merayu asma Tuhan, mengaji Al-Quran tiap hari Kamis, atau memberi sumbangan amal. Namun hati mereka tak lebih munafik daripada Ifrit. Aku merasa bahwa yang shalat Jumat di dalam masjid ini bukan manusia pengikut Nabi Muhammad melainkan segerombolan bangsa setan yang senantiasa mengelu-elukan Iblis.
Lelaki itu bersalaman dengan salah seorang. Setelah bersalaman dengannya, orang itu membersihkan tangannya seolah-olah lelaki itu mengidap penyakit menular berbahaya. Aku semakin geram melihat adegan tersebut. Ingin saat itu aku menonjok muka orang tersebut. Padahal dirinyalah pengidap virus berbahaya karena terlalu sering mengairi rawa-rawa istri orang lain. Memang aneh sih. Rasanya aku ingin tertawa. Tertawa selebar-lebarnya.
“Kenapa kamu masih diam?!” aku bertanya padanya. “Aku sudah bilang, biarkan Allah yang membalas.” Ia tersenyum lalu berlalu dari hadapanku. Aku mengejarnya. “Apakah kamu tidak mendengar, sarung dan bajumu bau busuk kata mereka?” “Apakah sarung dan bajuku busuk?” Ia menjulurkan lengan bajunya ke hidungku. Aneh. Lengan baju itu sungguh wangi. Begitu juga dengan sarung yang ia pakai. “Tapi kenapa mereka bilang sarungmu busuk?” “Karena bau yang mereka cium berasal dari hati mereka yang penuh dengan sampah.” Lelaki itu mengulum senyum. Memangnya hati itu tempat penampungan sampah? Ia tersenyum penuh arti.
Baru aku tahu sekarang bahwa Gifar sejak akhir lebaran tidak pernah ke masjid seperti biasanya. Ia masih sembahyang. Ia masih bersujud kepada Tuhan. Ia tidak pernah sakit hati atas perlakuan-perlakuan konyol para penyembah Tuhan itu. Dan soal pertemuannya dengan Tuhan bukan cuman isapan jempol belaka. Bukan bualan. Lagian ia bukan Mat Jenin dalam hikayat Melayu. Aku menjadi saksi. Malam itu ia melesat ke petala langit ketujuh dengan kendaran super cepat yang hanya pernah ditunggangi oleh satu-satunya manusia, Nabi Muhammad, yaitu burak. Namun maaf, sekali lagi maaf, aku tidak bisa menjelaskan dengan detail rupa burak itu. Bahkan meskipun kalian menggorok leherku atau mengiming-imingi dengan uang hasil korupsimu, aku tidak akan memberitahumu.
Probolinggo, September 2022
Penikmat Sastra.
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky