Matahari sudah mulai tenggelam, menandakan bahwa inilah saatnya aku harus beranjak dari ranjang tidurku. Aku mengawalinya dengan membereskan barang-barang yang berantakan di kamar yang sudah seperti kapal pecah, dilanjutkan dengan membersihkan diri dengan kekuatan secepat kilat.
Aku Hilya, hanyalah seorang pelukis biasa yang hidup di tengah kota dengan penghasilan tak menentu, mungkin karena lukisanku yang tak cukup bagus dan tak banyak orang yang tertarik dengan lukisanku. Namun aku bukan orang yang mudah putus asa, aku menyerahkan lukisanku ke pameran berharap ada seseorang yang tertarik dan membelinya. Karena keuanganku yang labil jadi aku harus bekerja paruh waktu untuk menyambung hidupku, aku tak bisa bergantung pada penghasilan yang tak pasti itu.
Eternal Restaurant, nama restoran tempatku bekerja. Restoran itu terletak cukup dekat dari rusun yang kutinggali. Restoran itu tak mengenal kata ‘sepi’ karena setiap hari selalu kedatangan banyak pembeli. Sudah hampir setengah tahun aku bekerja di sana, namun tak pernah aku dapatkan uang lembur. Mungkin karena aku hanyalah pekerja paruh waktu, pikirku.
“Gawat! aku harus segera pergi sebelum jam enam, kalau nggak gajiku nanti bakal dipotong!” Ucapku seraya menaiki sepeda bekas yang kubeli tahun lalu.
“Akhirnya kau sampai juga, Hilya.” Kepala koki menyambutku dengan tatapan yang menyebalkan. Aku tak tahu mengapa wajahnya agak cemberut begitu, apa mungkin karena ia punya masalah dengan istrinya atau dengan asuransinya.
“Hari ini restoran agak sepi, mungkin aku akan pulang lebih awal. Kau bersihkan semua alat penggorengan itu dan jangan lupa cek semua bahan sebelum kau pulang, satu lagi ganti lampu atas karena sudah terlihat agak redup. Kau mengerti kan?” ocehannya itu sangat menggangguku, walaupun begitu aku tetap mengiyakan semua ocehannya.
Voila! Perkataannya benar, restoran yang biasanya membuatku tak dapat menikmati istirahat, hari ini tidak menerima pembeli satu pun. Tepat pukul sepuluh aku membereskan semuanya, untung saja aku sudah mengganti lampu atas jadi sekarang aku hanya mencuci semua alat penggorengan dan mengecek bahan-bahan.
“akhirnya semuanya selesai, sekarang aku akan pulang ke rusun dan memasak mie instan yang kubeli kemarin” aku pergi setelah mengunci pintu restoran. Saat perjalanan pulang aku harus melewati gang yang hanya bisa dilewati dua pengendara sepeda, itu karena satu-satunya jalan pintas agar aku bisa segera sampai di rusun. Namun entah mengapa malam ini gang yang akan kulewati terlihat lebih gelap dari biasanya. Aku mencoba berpikir positif, mungkin saja lampunya belum diganti. Aku terus mengayuh sepedaku tanpa memikirkan hal-hal yang lain. Tampak di ujung gang terlihat cahaya yang amat terang hingga menyilaukan mataku, spontan aku menutup mataku menggunakan lengan.
Ketika aku membuka mataku, pemandangan tak biasa yang tak pernah kulihat di kota, tepat di depanku. Seekor hewan dengan fisik seperti ular namun lebih besar ukurannya dan memiliki kaki. Naga, aku yakin itu adalah naga. Aku tak menyangka dapat melihatnya secara langsung, aku mengikuti naga itu untuk memastikannya apakah ia mengeluarkan api dari mulutnya. Perlahan aku tersadar, apakah ini mimpi? Seketika aku menampar wajahku.
“Gosh, ini bukan mimpi. Naga? Bagaimana bisa naga ada di dunia nyata? Aku harus mencari tahu kebenarannya.” Dengan cepat aku mengayuh supaya aku tak ketinggalan jejak oleh naga tadi. Aku menemukannya, spontan aku meneriakinya dan naga itu membalikkan badannya. Mataku terbelalak melihatnya saat ia pergi ke arahku, mulutnya perlahan terbuka dan mungkin akan mengeluarkan api. Entah mengapa tiba-tiba badanku lemas seketika yang membuatku tak sadarkan diri.
Aku membuka mata perlahan dan ku melihat atas atap kamarku, aku langsung terperanjat bangun ke jendela untuk melihat keadaan di luar. Di luar sana terlihat normal, tak ada benda yang seperti kulihat semalam. Tunggu sebentar, apa itu hanya bermimpi? aku bergegas melihat cermin untuk melihat pipiku yang semalam sudah sengaja kutampar. Aneh sekali, pipiku agak merah dan berbekas tangan yang menandakan bahwa itu memang bukanlah mimpi.
Setelah kejadian semalam, aku merasa tubuhku jauh lebih ringan daripada biasanya. Aku memulai hariku dengan melukis sosok naga bewarna emas yang entah itu memang nyata atau hanya mimpiku saja.
Kring!!! Aku mendapat telepon dari pihak pameran, katanya lukisanku akan dibeli oleh seorang pengusaha dengan harga yang fantastis. Aku tak menyangka hal itu akan terjadi, apa mungkin karena naga itu? Aku pernah membaca bahwa naga adalah simbol keberuntungan, kelimpahan, dan kesuksesan. Seorang Hilya tak percaya akan hal yang seperti itu, tapi mungkin saja benar.
“Kacau, pikiranku mulai goyah. Tapi tak mengapa, aku senang karena lukisanku setelah sekian purnama akhirnya terjual. Setelah ini mungkin aku bisa pindah ke tempat tinggal yang lebih baik.” Ucapku sambil tersenyum manis.
Beberapa hari kemudian aku menerima uang dari terjualnya lukisanku itu. Aku memutuskan untuk pindah dari rusun dan juga mengundurkan diri dari pekerjaan part time di restoran. Seorang Hilya tak mungkin kehabisan akal untuk mencari uang, aku membeli sebuah ruko dan membuka café. Kini kehidupanku sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya setelah kejadian dalam satu malam yang tak akan pernah bisa kulupakan.
Tamat
Cerpen Karangan: Daun Kelor