Pagi itu, setelah 2 jam lamanya duduk manis di pesawat, kami akhirnya sampai di Bandara Internasional Ngurah Rai. Kuhirup udara segar sedalam-dalamnya. Menikmati angin pagi pertama di Bali. Tenang dan damai.
Tiba-tiba, seseorang melepas ikatan rambutku. Tidak sakit sih. Tapi itu cukup membuat rambutku berantakan. Dan itu membuncah amarahku. “Keenan, balikin!” teriakku kesal, lalu mengejar Keenan yang menghindar dariku sambil tertawa lepas. “Alay banget sih. Ngehirup udara sampe segitunya. Kek nggak pernah bernapas aja” ejek Keenan di sela tawanya. Sungguh, orang ini minta dilempar ke laut!
Omong-omong tentang laut, aku dan teman sekelasku sedang field trip ke Pantai di Bali. Dalam rangka kelulusan kelas 12 murid SMAN 4 kelak. Dan aku harap field trip ini tidak akan dirusak oleh manusia macam Keenan.
“Ish, baru nyampe udah nyari masalah. Mau gua pukul?” aku melotot ke arahnya setelah mendapat ikat rambutku dan memukul punggungnya. “Aduh, ampun nek. Jangan galak-galak dong,” ujar Keenan seraya menampilkan cengiran khas-nya. “Siapa yang nenek hah?”
“Oi, pacaran mulu lu berdua. Sana ambil barang, terus kita ngumpul! Hadeh, dunia seakan milik berdua ye, semuanya dilupain,” sewot Roy selaku ketua kelas. “Sewot mulu. Kenapa nih? Cemburu yaaa?” Keenan menaik-turunkan alisnya. Aku bergidik geli, sementara Roy menatap Keenan sangat datar.
Setelah semuanya beres, kami pun berkumpul di depan bandara menunggu bus datang.
Setengah jam kemudian, kami sampai di tempat tujuan. Aku bergegas menuju resort setelah mendapat arahan dari Pak Arya dan Bu Cintya. Syukurnya, Keenan masih sibuk dengan barangnya. Jadi dia tak akan mengusikku yang sudah lelah ini.
“Hah… akhirnya gua bisa dapet ketenangan karna gada Keenaaan,” gumamku seraya bermanja-manja di kasur. “Ekhem, mikirin Keenan nih. Kangen ya? Tuh, orangnya di depan,” goda Keana yang baru masuk. “Najis, mau dia diterkam singa pun gua gak mau samperin dia,” sinisku. “Gaes, kita bebas sampe jam makan siang nih. Main di luar yuk!” ajak Olivia yang baru masuk dengan riangnya. “Gila lu nggak capek apa, Lip? Gua aja serasa mau remuk ini badan,” gumamku yang setengah tertidur. “Aelah, lu mah emang titisan nenek-nenek. Bentar-bentar remuk tulang, sakit pinggang, macam-macam dah,” Keana tertawa. Hadeh, emang ya Keana sama Keenan gada bedanya. Sama-sama nyebelin. Olivia ikut tertawa. “Ayo dong, mumpung lagi di Pantai nih. Di Bogor, jarang-jarang bisa ke Pantai gini,” bujuk Olivia seperti anak kecil. “Gua cape woilah, kalian berdua aja sana,” usirku. Namun, mereka tak menurut. Tahu-tahu tanganku langsung ditarik saja menuju pantai. Lalu mereka menceburkan aku ke lautan.
“Emang ya, punya temen kagak ada otak semua. Kalo gua jantungan gimana heh!?” kesalku seraya mengusap wajah yang basah. Mereka malah tertawa. “Itu cara ampuh biar lu ga ngantuk lagi, Vera.” Aku melotot kesal. Kutarik lengan mereka berdua sebagai pembalasan. Byurrrr! Kini giliran aku yang terbahak-bahak.
Byurrrr! Tiba-tiba sebuah ombak menerpa wajauhku. Oh, bukan. Itu bukan ombak. Karena aku kenal siapa yang tertawa kali ini. “Keenannn! Mata gua perih tau lu sembur tiba-tiba,” omelku. Olivia dan Keana juga mengomel. “Wleee, rasain tuh nek!” ejek Keenan. “Siapa yang lu bilang nenek tadi hah?!” Keana ikut kesal dengan kembarannya. “Idih, yang ngatain lu siapa? Gua bilang ke Vera doang tuh,” Keenan semakin menyebalkan. “Oh, jadi yang istimewa Cuma Vera nih?” goda Olivia. “Siapa yang bilang? Gua kan ngejek dia nenek, karna dia emang titisan nenek-nenek, suka marah-marah.” Byuurrrr! Aku menyemburkan air ke arah Keenan saking kesalnya.
“Keen, lanjut main bolanya, lu ngapain ke tempat cewe-cewe dah,” Roy dan Nico menghampiri kami. “Main bareng mereka aja yuk, yang kalah harus jadi babu yang menang!” tantang Keenan. “Idih, siapa lu main atur-atur gitu?” aku makin kesal. “Oh, gak mau? Takut nih?” Nico malah mendukung Keenan. “Yang bilang takut siapa heh? Ayo sini kalo berani,” Keana merebut bola voli dari tangan Nico. Setelahnya, kami tanding voli di dalam air. Sangat menyenangkan karena timku unggul.
“Beh, main curang lu yak?” tuduh Nico. “Siapa yang curang? Jelas-jelas kami emang lebih hebat,” jawabku. “Udah-udah, jangan tengkar. Kita harus sportif!” Olivia menengahi.
Tanpa kami sadari, bahwa kami bermain hingga ke tengah laut. Kami sadar saat penjaga pantai berseru, “Hei, kalian dilarang main saat cuaca buruk, segera kembali!” Kami sontak melihat langit. Benar saja, akan turun hujan. Kesiur angin kencang menerpa kami. Baru saja kami hendak kembali, tiba-tiba ombak besar melahap kami berenam.
Cerpen Karangan: Nusaibah Salsabila