Aku tak tahu ini di mana. Gelap. Tak ada cahaya sedikitpun. Yang kubisa hanya mendengar suara ombak yang besar sekali. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak. Ya Tuhan, apa yang terjadi?
“Ver, Veraa. Bangun. Jangan mati dulu please!” suara yang amat kukenal memanggilku. Aku berusaha merespons panggilan itu, tapi badan ini tak kunjung bergerak. Dia mengguncang tubuhku kencang sekali. Aku sedikit kesal. Namun aku tau, dia pasti sangat cemas.
“Please, bangun dong. Tiduran disini gak enak lho, Ver. Banyak batunya, sakit. Lu gak boleh gak bangun ya?” aku tertawa dalam hati mendengar ocehannya. Sekuat tenaga aku membuka mata. “Kee… nan…” Kulihat wajah yang cemas itu menjadi berbinar-binar. “Bener kan kata gua? Tiduran disini tuh gak enak, makanya lu bangun. Ada yang sakit ga?” Aku tersenyum lemas lalu berusaha duduk perlahan, Keenan membantu. Kuperhatikan sekitar. Ini pantai. “Kita Cuma berdua?” Keenan mengangguk. “Gua ga tau di mana yang lain. Kita kepisah”
Aku menangis. Bagaimana ini? Kami seperti terdampar ke tempat lain. Aku tak mengenal daerah ini, asing sekali. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain kami. Bagaimana cara kami bisa kembali? “Udah, lu tenang ya? Kita istirahat bentar, trus cari mereka. Gua di sini, lu ga sendirian,” Keenan mengelus pundakku, aku mengangguk.
Setelah dirasa cukup mendingan, setengah jam kemudian aku bersama Keenan menyusuri pantai ini. Namun anehnya, seperti berputar-putar, kami selalu kembali ke tempat yang sama.
“Keen, ini tempat apa?” aku mulai takut dan memegang lengan Keenan. “Positif thinking aja, mungkin pulaunya bulet,” di saat seperti ini, malah dia orang yang bisa menenangkanku. Aku menghembuskan napas.
Setelah berputar sekitar tujuh kali, kami menemukan titik terang. Kami melihat bayangan seseorang. Ah, bukan. Dua orang. “Itu mereka, Keen?” “Bisa jadi, ayo samperin!” Kami menghampiri dua orang itu. Dan syukurnya, itu Nico dan Keana. Saat melihat kami, Keana sontak memeluk kembarannya. “Keenaaan! Gua takut banget gila, syukur lu selamat huwaaaa…” tangis Keana. Keenan memeluk balik saudaranya. “Udah, jangan cengeng, Na. Papa gak suka liat kamu nangis kan?” dia mengelus kepala adiknya. Sungguh, pemandangan yang jarang terlihat.
“Kalian berdua gapapa?” tanyaku pada Nico. “Lengan gua lebam dikit, mungkin kebentur sesuatu,” jawab Nico. “Itu mah, kenapa-kenapa. Aduh, mana gak bisa diobatin lagi. Gimana nih?” panikku. “Udah, jangan panik. Kita cari Roy sama Olivia dulu. Ntar mikir gimana cara baliknya,” Keenan terlihat dewasa sekali.
“Veraaaa! Lu gak kenapa-kenapa kan?” Keana lanjut memelukku. “Iya, gapapa kok. Lu yang tenang ya?” Keana hanya mengangguk.
Nico bercerita, bahwa mereka berkeliling berkali-kali namun tak kunjung menemukan kami. Hanya kembali ke tempat awal. Persis seperti yang kami alami.
“Ini tempat aneh banget deh. Kita harus keliling berapa kali sampe nemuin semuanya?” tanya Keana. “Entah, coba aja keliling dulu,” jawab Nico. Kami berkeliling lagi, entah berapa kali. Hingga akhirnya, kami menemukan 2 orang yang terdampar kaku.
“I-itu Olivia sama Roy bukan?” tanyaku cemas. “Ayo samperin!” Benar saja, itu Olivia dan Roy. Mereka tak sadarkan diri. “Mereka gak mati kan?” Keana panik. Nico dan Keenan memeriksa urat nadi mereka. Aku mulai menangis. “Aman kok aman, masih ada jiwanya.” Aku bernapas lega. “Olip, Olip, Oliiiip!” panggilku, Keana mengguncang badannya. Nico dan Keenan melakukan hal yang sama pada Roy.
”Aduh, kepala gua pusing,” keluh Olivia saat tersadar. “Oliiip, syukur masih hidup, lip, lip,” Keana dan aku memeluknya. “Eh, ini kenapa?” Roy mulai sadar. Syukurlah, kami semua selamat.
Kami menceritakan kejadian aneh yang dialami tadi sambil terus menyusuri sisi pantai. “Harusnya kita gak usah main keluar aja, bener kan kata gua, mending tidur, enak gak capek,” gerutuku. “Udah, yang namanya takdir mana bisa diubah,” Roy tetap tenang. “Gua minta maaf ya, karna gua yang ngajak kalian keluar,” Olivia menundukkan wajahnya. “Gapapa, Lip. Yang penting semua selamat kok,” Keana tersenyum, Olivia mulai tersenyum kaku. “Kalo Pak Arya nyariin kita gimana? Udah berapa jam sejak kita tenggelam?” cemas Olivia. “Tenang aja, gua yakin kita bisa balik dengan selamat,” jawab Roy.
“Kenapa gak masuk ke hutan itu aja, Keen? Siapa tau nemu sisi lain pulau ini,” tanyaku. “Bahaya, Ver. Lagian kan udah gua bilang, pulaunya bulet, jadi kita udah ngelilingin seluruh pulau daritadi,” jawabnya. “Bisa jadi kan ada penduduk di sana, kita bisa cari tau cara buat balik,” aku tak menyerah. ”Kalo penduduknya jahat gimana? Kek di film-film, bisa jadi mereka pemuja sekte tertentu atau bahkan kanibal. Atau di dalam sana ada hewan buas?” Keenan mulai mengada-ada. “Aelah, lu mah kebanyakan nonton film.” seruku jengkel “Udah, udah, daripada debat mending langsung ke hutan aja. Nih, kayu sama batu buat jaga-jaga,” Roy menengahi, yang lain menyetujui. Terpaksa Keenan menurut.
“Kita udah jalan berapa lama nih?” tanya Olivia. Sejak tadi, kami terus berjalan lurus menyusuri hutan. Pepohonan di sini sangatlah tinggi dan lebat, susah untuk mengetahui apa yang ada di depan sana. “Entahlah, jam gua rusak,” jawab Nico.
“Gaes, udah maghrib, berhenti dulu yuk,” usul Roy, kami mengangguk. “Trus, istirahatnya gimana?” tanyaku. “Di bawah pohon gede itu aja, ntar gua, Roy, sama Nico nyari alas buat kita tidur,” jawab Keenan. “Seriusan nih?” Keana mulai takut. “Mau gimana lagi, Na? Kalo bisa milih, gua mah pengen di resort aja,” ujar Keenan. Mereka bertiga pun mencari daun yang tidak gatal untuk alas kami tidur. “Nih, daunnya gede, gak gatel kok,” Roy menyerahkan 6 lembar daun (entah daun apa) pada kami.
Karena kelaparan kami terpaksa memetik buah kelapa yang ada di sekitar. Tak terlalu kenyang, tapi sanggup mengganjal perut. Malam itu, kami tidur nyenyak meskipun Cuma beralaskan daun. Mungkin terlalu lelah berjalan selama 6 jam lebih.
Paginya, aku membuka mata dan melihat pemandangan yang berbeda. Ini bukan hutan lagi. Lantas, di mana aku terbangun?
Cerpen Karangan: Nusaibah Salsabila