Aku melihat sekeliling. Ini sebuah kamar, dan teman-temanku yang lainnya ada disini. Awalnya, kukira kami sudah kembali ke resort. Tapi ini bukan ruangan yang kukenal. Atapnya terbuat dari daun kelapa kering tanpa plafon. Dindingnya dari kayu cokelat tua. Seluruh perabotan dan dipan yang kutiduri juga terbuat dari kayu dengan corak yang khas. Sangat berbeda dengan resort.
Tiba-tiba, seorang wanita paruh baya datang. “Sudah bangun, nak? Ini minum dulu jahenya biar anget.” Aku mengangguk lalu meneguk jahe itu sampai habis. “Mohon maaf, nenek siapa ya?” Nenek itu tersenyum. “Panggil aja Nek Adisri. Tetua di desa ini. Kamu ini siapa, nak?” Aku memperkenalkan diri. “Oh, ya sudah, nak Vera istirahat saja. Sebentar lagi pasti teman-temanmu bangun. Biarkanlah mereka istirahat, pasti capek.” Aku tersenyum dan mengangguk. “Omong-omong, ini dimana ya nek?” “Oh iya, kamu pasti bingung. Kamu lagi di Desa Batujineng. Desa asli pulau ini. Beberapa warga menemukan kalian di tengah hutan. Karena tau kalian orang baik, jadinya kalian dibawa ke sini,” terang Nek Adisri. Aku mengangguk paham.
“Aduh, kepala gua pusing banget,” Olivia bangun kemudian. Disusul Keenan. Lalu, satu persatu temanku mulai bangun. “Eh? Kita udah pulang?” Roy kebingungan. Aku tertawa, lalu menjelaskan yang terjadi pada mereka semua.
“Ya Ampun, makasih banyak ya Nek. Kami gak akan lupa sama jasa nenek, nenek mau apa? Nanti saya kasih deh,” Nico mencium tangan Nek Adisri. Sangat memalukan. Nek Adisri tertawa. “Harusnya berterima kasih sama warga desa, nenek Cuma menyediakan tempat buat kalian.” Nico malah mencari warga yang menemukannya. Hadeh, dasar Nico.
“Mohon maaf, nek. Izin bertanya,” Keenan membuka suaranya. “Iya nak, silahkan.” “Ini tempat apa ya nek? Gimana cara kami buat kembali?” Nek Adisri mengerutkan dahinya. “Sebelumnya, nenek ingin bertanya dulu. Apa tujuan kalian ke mari? Dan kenapa bisa sampai kesini?” Kami berenam berupaya menjelaskan apa yang terjadi.
“Oh, jadi seperti itu. Apa kalian tidak tahu aturannya? Kalau cuaca buruk, jangan main di pantai.” “Tidak tahu, nek. Itu pertama kali kami ke sana.” “Pantas saja. Ya sudah, biar nenek menjawab pertanyaan kalian,” Nek Adisri menatap kami satu persatu, “tapi kalian harus berjanji, jangan pernah membocorkan peristiwa ini pada orang lain. Atau tidak, kami terpaksa menghapus ingatan kalian.” Pernyataan Nek Adisri membuat kami bergidik ngeri. “Kami janji, Nek. Lagian, kami ceritakan pun mereka tak akan percaya.”
“Jadi, kalian berada di Pulau Batujineng. Pulau ini terlindungi oleh kekuatan. Jadi, siapapun tak akan bisa masuk apalagi melacak keberadaannya. Kami melakukannya karena kami tak ingin orang yang datang dari luar akan merusak keindahan alam disini. Biarlah ini lestari sampai selamanya.” Nek Adisri mulai bercerita, “namun, ada satu cara untuk bisa kesini dengan mudah. Cukup berdiri di tengah laut saat cuaca memburuk. Maka ombak akan membawa kalian ke sini. Makanya, ada peraturan tak tertulis, bahwa jangan pernah main di pantai saat cuaca buruk. Semua warga menurutinya, karena tak sekali dua kali warga yang terseret ombak dan tak pernah kembali.”
“Jadi nek, kami gak bakal kembali?” Keana bertanya khawatir. Nek Adisri tersenyum. “Hanya orang baik yang tak berniat merusak alam yang akan kembali. Itupun ingatannya akan kami hapus. Kecuali orang dengan ketulusan hati paling kuat yang akan kebal dengan kekuatan kami.” Kami semua takjub. Ini desa ajaib!
“Lalu, cara buat kembalinya, Nek?” Nek Adisri terdiam sejenak. “Sebelum itu, mari nenek ajak kalian berkeliling. Kita harus menyapa warga desa.” Nek Adisri mengalihkan topik. Mau tak mau kami menurut.
“Wow, desanya asri banget. Indaaah!” Olivia takjub. Desa ini sangat indah. Berbeda dengan desa-desa yang pernah kami kunjungi. Yang ini tampak kuno dan tak ada sentuhan modern sedikitpun. Namun, itulah yang jadi daya tariknya.
“Beginilah jadinya kalau kita bisa berdampingan dengan alam. Kalian akan menemukan keindahan yang tak bisa dilihat di tempat lain,” ucap Nek Adisri. “Nenek pernah keluar dari pulau ini?” tanya Keenan. “Pernah, waktu kecil dulu. Saat itu pulau ini masih jadi pulau biasa. Waktu itu, tempat ini jadi tempat wisata paling populer dan indah.” “Terus, kenapa jadi begini nek?” “Ini semua karna ulah manusia tak kenang budi. Mereka ingin menambang habis-habisan pulau ini. Kami yang marah langsung mengusir mereka dengan kekuatan dan menutup semua akses ke sini,” dari sorot matanya, Nek Adisri terlihat sangat marah. “Padahal tempatnya cantik, kenapa gak dibiarin jadi pariwisata aja sih. Malah mau ditambang. Gak habis pikir deh sama mereka, dasar rakus,” aku mengomel dongkol. Nek Adisri tersenyum.
Setelahnya, kami bertemu warga desa satu persatu. Mereka sangat ramah. Tak sekali-dua kali anak-anak kecil mengajak kami bermain permainan tradisional. Lalu diajak memasak makanan mereka. Yang paling seru adalah ketika melihat upacara adat yang kebetulan lagi diadakan. Menyenangkan sekali.
“Keknya kalo tinggal disini, hidup gua aman damai dah. Kagak ada stress,” gumamku. “Jadi, lu mau tinggal gitu, Ver?” Keana bertanya sedih. “Ya kagak lah, gua Cuma berandai-andai. Dan kalo tempatnya jadi pantai biasa, gua pasti bakal sering ngunjungin ini,” jawabku. “Ya… kirain lu mau ninggalin kita-kita,” Olivia cemberut. “Enggak Olipku sayaaang,” aku mencubit pipinya.
“Gaes, jangan lupa mikir cara buat balik,” bisik Nico. “Lu jangan bilang ke kita doang. Tuh liat Roy sama Keenan udah asyik main sepit-sepitan,” ucapku. Roy dan Keenan sedang asyik tertawa bareng anak-anak. “Udah, santai aja dulu. Ntar Nek Adisri pasti ngasih tau kok,” Keana menepuk pundak Nico.
Menjelang sore, Nek Adisri dan warga desa mengajak kami ke pesisir pantai. “Sudah waktunya, nak,” dia menengadah ke langit yang menghitam. “Lalu, gimana cara buat balik, Nek?” tanya Keenan. “Caranya sama seperti kalian datang ke sini. Kejadiannya harus sama persis,” jawab seorang warga. “Berarti kita harus main voli, dong? Kita ga ada bolanya kan?” Olivia ada benarnya. “Ini, punya kalian kan? Bapak menemukannya saat memancing. Sepertinya ikut terbawa,” warga lain memberikan bola voli kami. “Bener! Tanda tangan Shella Bernadetha ada di sini,” Nico mengambil bola miliknya, “makasih banyak, Pak.”
Lalu, kami mulai bermain voli. Awalnya, kami dan warga bermain bersama. Karena ini permainan baru untuk mereka, kami merasa sangat jago. Namun, itu tak menurunkan keseruan yang terjadi. Saat kesiur angin kencang, barulah warga menjauh dari bibir pantai. Namun, aku sempat melihat seorang warga berbisik-bisik pada Keenan. “Hahahaha, gitu ya pak?” Keenan tertawa seraya melihat ke arahku. Hey, mereka membicarakan aku?
“Kalian ngomong ap-“ kalimatku terpotong. “Sudah waktunya, nak. Bersiaplah,” ucap Nek Adisri. Kami memasang sikap siaga, “namun, yang harus kalian tahu, ingatan kalian akan terhapus setelah ini. Dan semua bisa kembali seperti semula.” Kami mengangguk saja. Tak mau banyak bicara. Lalu setelahnya, ombak besar datang dan melahap kami berenam. Disitulah semuanya menjadi gelap kembali.
Aku terbangun. Merasakan penat dan ngantuk. Anehnya, aku tak berada di pantai seperti kemarin. “Loh? Ini kamar resort? Kok gua di sini?” “Lu napa heran gitu dah, Ver? Kan daritadi lu tidur di sini, ngigau lu yak?” Keana di sampingku terheran-heran. “Loh kan… Eh, sebentar. Olivia, Keenan, Roy sama Nico mana? Mereka gapapa kan?” Keana makin heran dengan pertanyaanku. “Lu mimpi apa sih sampe nyariin mereka? Noh, ada di depan. Datengin sana Keenan tersayang lu,” cerocos Keana. Menyebalkan sekali. “Najis, mau dia diterkam singa pun gua gak mau samperin dia,” sinisku.
“Gaes, kita bebas sampe jam makan siang nih. Main di luar yuk!” ajak Olivia yang baru masuk dengan riangnya. “Gila lu nggak capek apa, Lip? Gua aja serasa mau remuk ini badan,” refleks aku mengucapkannya. “Aelah, lu mah emang titisan nenek-nenek. Bentar-bentar remuk tulang, sakit pinggang, macam-macam dah,” Keana tertawa. Olivia ikut tertawa. “Ayo dong, mumpung lagi di Pantai nih. Di Bogor, jarang-jarang bisa ke Pantai gini,” bujuk Olivia seperti anak kecil.
Tunggu, aku merasa déjà vu dengan percakapan ini. Kenapa kejadian saat di kamar resor terulang? Apakah yang terjadi di Pulau Batujineng Cuma mimpi? Atau mereka yang hilang ingatan? Atau… Ah, sudahlah, aku tak ingin terlalu ambil pusing. Yang penting, ini semua sudah terlewat dan rahasia Pulau Batujineng biarlah tetap terjaga hingga selamanya.
Cerpen Karangan: Nusaibah Salsabila