“Edo! Selamat pagi.” “Pagi juga, Riska.” Balasnya dengan senyuman. Itulah Edo teman kelasku, cukup pendiam, tidak mencolok dan sangat baik hati.
Dia murid yang rajin dan berprestasi, tidak pernah datang terlambat ke sekolah dan selalu membantu mereka yang memerlukan. Dia juga asik untuk diajak bicara, orang yang sopan dan selalu memedulikan lawan bicarannya. Tetapi semua itu tidak seberapa dibandingkan senyumannya, senyuman yang dengan instan menikam hatiku. Aku jatuh cinta.
Di sekolah tak jarang aku terus saja memerhatikannya dari kejahuan. Dari caranya berjalan, caranya merapikan rambutnya, dari gerak-geriknya, dan yang pasti senyumannya. Semuanya aku suka.
Setiap sekolah selesai dia selalu berpamitan kepadaku, bahkan rela mencariku ke seluruh gedung sekolah hanya untuk menyatakan hal itu. Entah itu disengaja atau tidak tetapi, hal itu membuatku merasa spesial.
Aku pulang ke rumah, dengan instan berbaring di ranjang membayangkan wajahnya. Hatiku deg-degan saat mengingat dirinya, saat mengingat senyuman hangatnya, sapaan halusnya. Aku menginginkan semua itu. Aku tak bisa menahan perasaan ini lagi.
Telah aku tentukan, besok aku akan menyatakannya. Perasaan yang aku pendam sejak lama, aku akan menyatakan semuanya ke dia. Aku ingin dia mengetahui ini, dalam waktu yang sama aku juga ingin tahu perasaannya dia kepadaku.
“Tuhan, aku jarang meminta apa-apa dari-Mu dan aku tahu permintaanku ini akan terdengar sangat egois tapi, tolonglah buat Edo jatuh cinta kepadaku! Hanya itu yang aku minta, Tuhan!” aku berdoa dengan serius di atas ranjang, sungguh terlihat menyedihkan dan putus asa sekali. Namun, hanya dia yang bisa membantuku sekarang. Memang kita jarang sekali berkomunikasi, tetapi aku harap Dia mendengarkan suaraku kali ini.
Esoknya aku datang ke kelas pagi seperti biasanya dan menunggu Edo. Namun, selagi pelajaran semakin dekat akan dimulai, Edo tidak terlihat di mana-mana. Ini aneh, karena sebelumnya Edo tidak pernah terlambat ke sekolah. Bel kelas pun berbunyi dan Edo tidak terlihat di mana-mana. Tadinya aku berharap wali kelas tahu keadaannya, tapi saat aku tanya, beliau tidak tahu apa-apa.
Aku mencoba mencari informasi dari teman-teman cowoknya Edo. Namun, mereka semua juga tidak tahu apa-apa. Sekolah terus saja berlangsung dan aku mulai merasa khawatir. Ada apa ini? Ada apa dengan Edo? Apa dia baik-baik saja
Bel pulang sekolah berbunyi. Tadinya aku berharap untuk pergi ke rumahnya demi mengetahui keberadaannya, tapi langkahku terhenti sesaat melihat Edo datang dari pintu gerbang.
“Edo!” Spontan aku menyapa. Dia terlihat lesu walau tidak pucat ataupun terlihat sakit. Hanya terlihat lelah saja. “Kemana saja kamu? Kamu sakit kah?” “M-maaf hehe…” Balasannya benar-benar tak meyakinkan. Dia jelas-jelas sedang ada masalah. Jawabannya itu tambah membuatku khawatir. “Ada sesautu yang ingin kau bicarakan sama aku kan?” Lanjutnya yang begitu spesifik, dan aku masih bingung bagaimana bisa dia tahu tentang hal itu. “I-iya sih tapi melihat kamu sekarang—” “Gak apa-apa kok aku baik-baik saja. Jadi… Kita ke belakang sekolah saja ya.” Aku mengangguk gugup mendengar itu, dan lanjut mengikutinya dengan jantung berdebar-debar.
Sesampainya di belakang gedung sekolah suasananya sepi, di sisi jalan ada garis pohon tak terputus yang panjang. Tak sedikit daun mati jatuh saat tertiup angin yang membuat nuansa pas untuk menyatakan cinta. Terkadang angin menyapu tubuh kita, membisikan kata-kata manis ke telingaku. Suara yang dapat didengar hanya nafasku yang cepat dan jantungku yang berdegum keras. Aku mengepalkan tangan dan tak jarang menjenggut ujung seragam sekolahku.
Walau suasannya pas sekali, tetapi Edo terlihat berbeda. Dia terlihat baru saja pergi dan kembali dari neraka. Walaupun begitu, aku sudah bertekad kemarin. Hari ini aku akan menyatakan perasaanku. “Anu… Jadi gini Edo, sebenarnya untuk waktu yang cukup lama—” “Tunggu dulu,” dia memotongku. Aku langsung terkejut dan tak berkutik. “Aku sudah tahu.” Perkataan itu benar-benar mengejutkanku dan aku langsung tersipu malu. Namun, kalimat selanjutnya membuatku heran. “Aku sudah mendengarnya berkali-kali darimu.” “M-maksudnya?”
“Dengar, hal yang akan aku katakan tidak akan masuk akal tapi… aku mohon dengarkan dulu.” Aku makin fokus penasaran dan makin khawatir, lalu penjelasaan itu datang dengan tiba-tiba. “Aku sudah menjalani hari ini sebanyak 300 kali lebih.” “Hah?” “Di 300 hari itu, aku jadi lebih banyak mengenal kamu. Aku jadi tahu banyak tentangmu dan itu membuatku senang. Di 300 hari itu kau juga mencoba untuk membantuku keluar dari loop ini. Untuk itu aku sangat berterima kasih. Tapi tidak ada yang bisa membantuku.” Mata Edo mulai berkaca-kaca mengatakan itu semua.
“Edo? Ada apa?” “Aku tahu kau bingung sekarang, memang sudah sepantasnya, tapi aku mau kau tahu tentang itu. Tidak ada yang bisa mengeluarkanku dari loop ini, aku terjebak di hari ini selamanya.” “Edo… Aku takut.” “Aku juga…” Jawabnya selagi tangan kanannya gemetar. “Aku hanya ingin memberi tahu bahwa aku juga… Memiliki perasaan yang sama. Tapi tidak ada skenario di mana kita dapat bersama, karena waktu akan mengulang untukmu dan kau tidak akan ingat apa-apa. Maka dari itu aku harus pergi.” “Pergi kemana?” Tanyaku di antara tangisanku. “Pergi jauh. Kita tidak akan bertemu lagi. Kau orang yang sangat berharga bagiku, Riska. Maka dari itu waktu harus berjalan maju untukmu.” Aku menangis tersendak sedih. Aku masih bingung untuk mencerna semuanya tapi satu hal yang pasti: Edo akan pergi menjauh dari aku.
“Sampai jumpa.” Pamitnya, meninggalkan aku yang dibanjiri air mata. Menangis dengan keras aku terjatuh ke tanah, sampai rasa sesak terasa di dada. Rasanya sakit, sakit sekali. Aku tidak mengharapkan hal ini terjadi, aku hanya mau mengucapkan perasaanku kepadanya dan sekarang kita justru berpisah. Aku bingung, aku bingung. Mengapa seperti ini, Tuhan? Mengapa semuanya jadi seperti ini?
—
“Pagi semuanya.” Sapaku memasuki kelas. Karena pagi jadi masih sepi, aku langsung duduk di mejaku dan menunggu kelas dimulai. Sesaat guru masuk beliau langsung mendata siapa saja yang masuk kelas. “Oke, semuanya sudah masuk. Ayo kita lanjutkan pelajaran.”
Hari ini geografi jadi aku mencatat dengan tekun. Tapi ada yang membuatku berfikir, sejak kapan ya aku senang masuk kelas pagi sekali, setahuku sejak awal SMA sih dan aku yakin hal itu bukan karena pelajaran. Masa SMA-ku sejauh ini cukup damai, aku punya banyak teman dan nilaiku sangatlah baik. Walaupun tidak punya pacar tapi itu tidak pernah menjadi masalah, lagipula: Tidak ada cowok yang aku sukai di sekolah ini.
“Tokyo adalah ibukotanya Jepang, ada yang tahu nama kota Tokyo sebelumnya?” Tanya guru ke kelas, dan dengan sendirinya aku mengangkat tangan untuk menjawab “Ah Riska silahkan.” “Namanya Edo—” dan semua ingatan itu menabrakku dengan seketika. Semua momen bersamanya, semua senyuman dan tatapan manisnya, semua canda tawanya, dan semua perkataannya di belakang sekolah itu. Semua itu tiba-tiba teringat olehku, dan menimpaku dengan beratnya. Hingga membuatku panik dan menangis.
“Benar—Riska, kau tidak apa-apa?” Guruku bertanya. “Edo… dimana dia?” “Itu nama Tokyo dulu benar, dan keberadaannya sekarang ya di Jepang—” “Bukan. Dia murid kelas ini namanya Edo. Di mana dia sekarang?!” Guru dan teman-teman lainnya mulai kebingungan melihati aku, suasana langsung menjadi berat dengan seketika. Lalu guru menjelaskan dengan tenang. “Tidak ada murid bernama Edo di kelas ini.”
Tidak, tidak mungkin. Apa yang terjadi? Mengapa semuanya seperti ini? Aku keloyongan keluar kelas dan mulai meneriakan namanya Edo ke seluruh gedung sekolah. Semuanya langsung panik melihatku menggila seperti ini. “Edo! Dimana kamu?!” teriak aku berulang-ulang. Hingga berlari keluar wilayah sekolah. Beberapa guru dari sekolah mulai mengejarku, tapi aku terus berlari. Aku tidak tahu ke mana tapi aku harus mencarinya dan aku harus menemukannya, di mana pun dia berada. Aku tidak boleh melupakannya lagi.
Pada akhirnya aku berakhir di jembatan sungai yang cukup tua, dan masih meneriaki namanya. Lelah, aku duduk di samping jembatan dan menangis tak berhenti. Di mana dia? Ya tuhan di mana dia? Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku mohon, Tuhan. Aku sangat ingin bertemu dengannya! “Aku hanya ingin melihatnya lagi, aku mohon!” Putus asa aku berteriak ke entah siapa.
Lalu sebuah jawaban muncul. Jembatan langsung bergoyang tak stabil, dan dasar yang aku duduki tiba-tiba patah. Membuatku langsung jatuh ke sungai yang deras di bawah. Aku bahkan tidak merasakan airnya. Sesaat aku menyentuh sungai, tiba-tiba aku langsung bangun kembali di kelas.
Nafasku berat dan tubuhku meloncat selayaknya baru jatuh. Aku melihat ke sekeliling dan sepertinya sekolah belum mulai. Walaupun kelas sudah ramai tetapi Edo tetap tidak dapat ditemukan. Dengan cepat aku melompat keluar kelas mencoba mencarinya. Namun, sesaat aku membuka pintu, di situlah dia berada.
Kepalanya selalu menunduk, wajah lesu dan sedih seperti terakhir kali aku melihatnya. Datang ke kelas tanpa semangat dan terlihat putus asa sekali. Aku hanya menangis melihatinya, tidak percaya akan semua ini. Doaku terkabulkan lagi. Aku dapat melihatnya lagi. Dia menatapku bingung, seakan-akan ini bukan aku seperti biasanya dan dia sadar akan hal itu.
Aku menutup mulutku mencoba menenangkan diri, kemudian bertanya kepadanya setengah menangis. “Edo, sudah berapa kali kau melewati hari ini?” Lalu, untuk waktu yang rasanya sudah begitu lama, akhirnya aku melihatnya tersenyum lagi. Senyuman senang dan tatapan menenangkan menyapaku. Mata berkaca-kaca terharu, nafas mulai berat dia ambil dan buang. Dia menyamkan ketenangan dan menjawab pertanyaanku hampir menangis. “300 kali lebih.”
Cerpen Karangan: Kristian Kei Blog: wattpad.com/user/KristianKei