Bersama senyap dia berhitung mundur. Jam terdengar berdetak konstan, namun jantungnya berdetak melebihi kecepatan detak jam. Dia masih harus menghitung hingga nol di tengah sepinya kelas. Ada yang harus ditemuinya siang ini.
Pada tiap hitungan, perlahan hujan mulai turun menghapus kebosanannya. Pasalnya bukan kemauannya untuk menghitung mundur. Tapi Gesa tahu bahwa itu satu-satunya cara agar dia dapat melihat makhluk itu lagi.
Gesa percaya.
Beberapa saat yang lalu bel pelajaran terakhir berbunyi. Dan beberapa saat setelahnya hanya menyisakan Gesa yang berdiri menghadap luar kelas. Gadis remaja itu yakin jika dia menghitung mundur dari seribu satu hingga nol dengan mata terpejam, maka makhluk itu —yang teman-temannya mengatakan hanya fantasinya— akan terlihat. Ya, Gesa yakin itu bukan sekedar fantasinya, tapi lebih dari itu. Gesa menghitung dengan mantap dan membayangkan makhluk itu muncul di hadapannya dengan nyata. Hingga pada hitungan terakhir detak jantungnya masih berdebar kencang. Ini sudah waktunya, pikir Gesa. Dia teringat ketika bertemu makhluk itu pertama kalinya. Saat usianya sepuluh tahun —meski terdengar aneh— dia bertemu makhluk itu di alam mimpi. Tapi bukan seperti mimpi biasanya yang memang aneh, mimpinya saat itu benar-benar berbeda dan terasa senyata panasnya api.
Makhluk itu selalu berkata padanya jika memang takdirnya untuk bertemu dengannya di alam mimpi Gesa. Meski Gesa tidak tahu mengapa melalui mimpi mereka dapat bertemu, dan entah mengapa dia tidak bisa bertanya padanya. Mulutnya seolah terkunci dan dia malah melupakannya.
Tidak di setiap mimpi Gesa dapat bertemu dengan makhluk itu. Waktunya tidak tentu, kadang sebulan sekali, atau kadang berturut-turut. Semalam adalah pertemuannya kembali setelah beberapa tahun dia tidak memimpikannya. Makhluk itu berkata jika dia akan menemuinya, bukan di alam mimpi tapi di dunia manusia. Di sekolah Gesa.
Hujan turun makin deras. Percikan air mengenai kulit putih Gesa. Dingin, tapi rasa dingin itu tidak dapat menandingi rasa kecewanya. Gesa telah menghitung hingga nol. Ketika membuka mata, dia tidak melihat apapun selain air hujan yang turun. Meski dia mengusap matanya berkali-kali, berpikir mungkin matanyalah yang salah tetap saja tidak ada. Gesa tidak dapat berpikir lagi, dia tidak mau berpikir jika makhluk itu berbohong padanya. Mungkin dirinya telah melakukan suatu kesalahan entah apa.
Tanpa sadar kaki Gesa melangkah perlahan melewati genangan air hujan. Gesa berjalan menembus hujan di sekolahnya yang sepi saat itu. Barangkali hujan mampu mengobati kekecewaan Gesa. Tapi yang Gesa rasakan tidak sepenuhnya itu, dia tidak merasa apapun, bahkan oleh dinginnya air hujan yang mengguyur tubuhnya.
Sesaat kemudian Gesa tersadar dari lamunannya. Sekelilingnya yang semula berteteskan air kini berganti menjadi ruangan putih yang menghangatkan tubuh. Gesa tidak menyangkal ketika pertama kali melihat ruangan putih itu sebagai dunia paralel. Tapi mustahil ada panggung berlatar hitam di dunia paralel, kan?
Di sudut lain ruangan itu terdapat tumpukan kostum warna-warni, Gesa tersadar jika mungkin ruang ini adalah ruang klub teater di sekolahnya dan bukannya di dunia paralel. Sesuatu di antara tumpukan kostum itu menarik perhatian Gesa. Bukan karena dia telah melupakan hal yang membuatnya berjalan tanpa arah sehingga malah tertarik pada salah satu kostum itu. Namun, kostum itulah yang mengingatkan perbuatannya tadi.
Tidak ada siapapun di ruang itu. Gesa berspekulasi jika para anggota klub teater sedang berlatih di bawah hujan atau menikmati hujan sambil minum kopi hangat, meski kedua alasan itu mustahil juga. Apapun yang dilakukan anggota klub teater sekarang Gesa tidak peduli yang terpenting tidak ada siapapun di ruang itu. Dengan cepat Gesa mengambil sebuah kostum di antara beragam kostum lain dan bergegas memakainya.
Kain hitam yang menjuntai hingga mata kaki membalut tubuh Gesa dengan pas. Meski seragamnya basah tapi Gesa tidak mempedulikannya. Toh bajunya tidak terlalu berair untuk dapat membuat kostum yang dikenakannya ikut basah.
Gesa merasa bingung dengan ruang klub teater di sekolahnya ini. Gesa tahu tentang adanya klub ini di sekolah, tapi dia tidak pernah membayangkan jika ruangannya seaneh ini. Panggung berlatar hitam yang dikelilingi tembok putih apa menariknya? Gesa mencari apakah ada ruang tersembunyi, setidaknya pasti ada ruang ganti atau ruang rias atau apalah. Tapi, karena ruang ini aneh maka ruangan tersembunyi itu tidak ada. Jika pun ada pasti sama anehnya dengan ruangan ini, pikir Gesa.
Gesa mencoba membayangkan seperti apa dirinya mengenakan kostum itu. Dia yakin kostum yang dikenakannya seperti pakaian yang selalu dipakai makhluk itu meski tidak persis serupa. Tapi dia masih kesal dengan ruang ini yang tidak menyediakan cermin, bagaimana anggota klub itu bisa berlatih maksimal jika ruangannya seperti ini?
Samar-samar Gesa mendengar langkah kaki mendekatinya dari belakang. Gesa panik, dia telah tertangkap basah dan tidak mungkin baginya untuk melarikan diri atau bersembunyi. Ya, memang mustahil bersembunyi di ruang aneh ini. Mau tak mau Gesa berhadapan dengan seseorang laki-laki yang merupakan anggota klub teater.
Sepersekian detik Gesa sempat terkesima oleh anggota klub teater itu, namun cepat-cepat Gesa memasang wajah memelas. Barangkali anggota klub teater itu bisa kasihan padanya dan memaafkannya, meski sebenarnya ekspresi Gesa lebih mirip orang yang bersedih.
“Emm …” gumam Gesa mencoba memecah keheningan yang mencekam. “Sorry, gue gak sengaja masuk ruang ini. Lo boleh marah, kok, karena emang gue yang salah. Atau tepatnya kaki gue, nih, yang salah. Btw, sorry juga kostum klub teater lo gue pake. Gue suka kostum ini. Tenang, kostumnya bakal gue kembaliin utuh, kok.” “Buat lo aja.” “Hah?” “Maksud gue, lo cocok jadi anggota klub ini.” “Hah?” “Bukan ‘hah’, tapi ‘makasih’ dong, jarang-jarang ada siswa yang cocok di klub teater ini.”
Nyaris sekali lagi Gesa berkata “hah” karena dia tidak mengerti maksud ucapan anggota klub teater itu. Tapi untungnya tangan kanannya langsung menyambar menutup mulut sebelum kata itu keluar.
Gesa berpikir ucapan anggota klub teater itu terdengar seperti ajakan masuk klub, tapi mungkin juga hukuman karena dia masuk ruang ini seenaknya, atau parahnya karena mereka kekurangan anggota sehingga terpaksa berkata dirinya cocok di klub ini. Gesa tidak tahu.
“Lo pasti awalnya ngerasa aneh, kan, waktu masuk ruang ini?” tanya anggota klub teater itu pada Gesa.
Gesa masih terlarut dalam pikirannya. Dia mencoba menafsirkan ekspresi anggota klub teater itu tanpa mempedulikan pertanyaannya. Susah sekali bagi Gesa karena anggota klub teater itu hanya memandanginya tanpa ada kerutan di kening atau lekukan tipis di bibirnya.
Anggota klub teater itu bertanya lagi. Kali ini suaranya mengeras.
“Hah?” Sepotong kata itulah yang keluar dari mulut Gesa. Gesa tahu dirinya sering dikatai aneh oleh teman-temannya. Entah itu dari ucapannya, tingkahnya, pakaiannya, ataupun imajinasinya. Namun dirinya sekarang merasa bodoh karena anggota klub teater itu.
“Ya.” Jawab Gesa sambil menunduk. Gesa berpikir anggota klub teater itu sedang memelototinya.
Entah apa sebenarnya yang dikatakan anggota klub teater itu pada Gesa setelah dia berkata “ya”. Perkataannya seperti ceramah panjang di kelas. Gesa bukannlah orang yang fokus. Rentang fokusnya berkisar sepersekian detik. Sedikit Gesa mendengar mengenai batas kenyataan dan khayalan. Dia juga mendengar sesuatu tentang kepercayaan. Kepercayaan pada teman sendiri. Sesekali Gesa memperhatikan anggota klub teater itu yang menjelaskan sesuatu padanya sambil menunjuk panggung, dinding, dan tumpukan kostum. Gesa hanya menganggukkan kepala seolah paham, meski sebenarnya tidak sama sekali.
Kemudian mata Gesa beralih pada baju yang dikenakan anggota klub teater itu. Persis seperti yang dikenakannya. Atau mungkin anggota klub teater itu adalah makhluk yang ditunggunya selama ini. Namun semua semakin jelas perkataan anggota klub teater itu. Gesa yang salah.
“Makasih.” Gumam Gesa.
Benar yang dikatakan anggota klub teater itu. Dia harusnya membuka mata lebar-lebar, memilah mana yang nyata dan khayalannya, atau eikasia.
“Lo masa lupa sama gue. Gue itu temen sekelas lo, Gesa. Gue Satria inget, gak?” tanya anggota klub teater, tertawa.
Gesa terdiam. Dia tidak menjawabnya.
“Udahlah gak penting. Yang penting lo udah setuju masuk klub ini. Gue jamin lo bakal betah di sini.” Anggota klub teater itu tersenyum tipis.
Cerpen Karangan: Shabrina Rhirin Blog / Facebook: shabrina rhirin