Pagi yang cerah. Angin dingin bekas hujan semalam serasa menusuk kulitku yang mengendarai motor Mio-ku tanpa jaket, menuju sekolahku. Aku tak menghiraukannya. Aku terus melajukan motorku menuju SMA Angkasa 2 —sekolahku.
Papan bertuliskan ‘SMA ANGKASA 2’ terpampang jelas di gapura bercat biru langit. Tanpa menghiraukan Pak Rudi —satpam sekolah— yang menyapaku, aku mengarahkan motorku menuju parkiran.
Kulangkahkan kaki jenjangku menjauhi parkiran menuju kelasku, XI IPS 3, yang berada di lantai 2.
“Pagi, Zeva, sayang!!!” suara cempreng seorang laki-laki tak menghentikan langkahku. “Hih! Sayang sayang, pala lu peang! Kayak gue pacar lo aja!” ketusku pada seorang siswa sekelasku, Reno. “Siapa bilang gue pacar lo? Gue, kan, calon imam lo,” kekeh Reno. Bhuagh!! Satu bogemanku mendarat mulus di pipi Reno.
“Cantik cantik kok hobi mukul sih? Kesian, nih, pipi gue…” ujar Reno sambil mengelus pipinya dengan dramatis. Aku tak menghiraukan ocehan Reno dan segera berjalan menuju kelas.
Aku merasa ada sesuatu yang janggal di tangga. Ada bercak berwarna merah darah yang sudah kering berceceran, seperti meninggalkan jejak. Aku mengikutinya hingga berada di anak tangga paling atas, depan kelasku, sepanjang koridor di lantai 2, tangga di sisi lainnya, dan kembali ke lantai 1. Bercaknya belum hilang. Aku terus mengikutinya hingga menuju ke arah kantin. Ketika aku tiba di kantin, bercaknya menghilang. Aku memutuskan untuk kembali ke kelas.
‘Zeva!’ Aku menoleh ke belakang, kearah orang yang baru saja memanggilku. Aku mendapati seorang siswi yang sepertinya siswi kelas XI IPA 1. “Eh, lo manggil gue, ya?” tanyaku to the point. “Boro-boro. Kenal lo aja kagak!” ucapnya lalu melenggang pergi. Aku tak menghiraukannya dan segera menuju kelas. Hhh! Udah kayak film horor aja! Perasaan gue doang, kok! Batinku.
“Ehh, lo semua pada tau gak, bercak merah yang di koridor?” “Itu tadi darah, lho!” “Iya, anjir! Gue cium bau anyir banget! Serem, ya?” “He-eh! Jangan-jangan, itu kelakuannya ‘dia’!” Suasana di kelas cukup ramai. Aku mendengar hampir semua siswa membicarakan tentang bercak merah di koridor.
“Zeva, lo tau gak, darah di koridor?” Rani dan Nina menghampiriku yang baru saja mendaratkan pantatku di bangkuku. “Ya. Kenapa, sih?” tanyaku balik. “Kata kakel kelas XII, kita, tuh, diteror sama hantu anak kelas XI IPS 1 yang katanya bunuh diri dengan loncat dari rooftop sekolah 3 tahun yang lalu!” papar Nina. “Dia cuma ngaco kali! Emang hantu itu ada?” balasku. “Aishh! Kalo kayak gini terus, sampe kambing bertelur juga kita gak bakalan tau!” celetuk Rani. “Terus, kita mau ngapain?” tanyaku. “Ca—” “Pagi, anak-anak!” ucapan Rani terpotong oleh kehadiran Bu Astrid, guru Matematika kami yang—sangat— killer –sekali.
—
“Rani! Lo tadi mau ngomong apa?” tanya Nina sewaktu jam istirahat. “Nah, jadi gini. Kalo kita mau cari tau kebenarannya, kita harus cari tau sendiri, kita lagi diteror ato enggak,” papar Rani. “Kita? Lo aja kali!” timpalku dan Nina. Rani hanya memanyunkan bibirnya kesal. “Kantin, kuy!” ajak Nina. “Kuylahh!” jawabku dan Rani.
‘Zev!’ Suara itu lagi! Aku berbalik, namun tidak ada orang. Karena di kelas ini hanya ada aku. Sedangkan Rani dan Nina sudah diluar.
“Woi! Lo ngapain diem disitu?!” teriak Rani menyadarkanku dari lamunanku. Aku segera menyusul Nina dan Rani dengan setengah berlari.
Agaknya itu siapa? Ahh! Hantu itu gak ada, Zeva! Batinku lagi.
‘Zeva!’ suara itu lagi! Aku terhenti di depan pintu kelas karenanya. Aku berusaha untuk menghiraukannya. Tapi, aku tak bisa. Rasa penasaranku mengalahkan rasa gengsiku.
‘Zeva!’ datangnya dari tangga. Suara itu membawaku melewati tangga menuju lantai 3 sekolah dan berlanjut menuju rooftop sekolah.
‘Zev!’ aku terus melangkahkan kakiku menuju arah datangnya suara. Kulihat ada siswi yang sepantaran denganku berdiri di tepi rooftop.
“Lo? Lo ngapain disitu? Ntar jatoh kelar idup lo!” teriakku pada siswi itu. Di badge namenya tertulis ‘Amalia. A’. Nama yang pernah kudengar, tetapi sudah lama terlupakan. ‘Mana bisa gue jatuh. Gue, kan, udah pernah!’ ujarnya dengan suara serak yang sedikit samar. ‘Jangan diem disitu! Sini, dong!’ lanjutnya. Kakiku tanpa aba-aba menuruti perkataannya. Aku terus berjalan dan tanpa kusadari aku telah sampai di tepi rooftop. Begitu aku sampai di tepi, siswi itu menghilang. Aku langsung tersadar dan secara tidak sengaja aku terpeleset. Aku ingin berteriak, namun suaraku hilang.
Bruukk!! Pandanganku buram. Samar-samar aku mendengar beberapa siswa dan guru memanggil namaku. Termasuk Nina dan Rani dengan terisak. Aku… Mati, ya?
Pandanganku mulai hilang dan… Gelap. Hanya ada kegelapan. Tak lama kemudian….
Bletakkk! Sakit! Kulihat banyak pasang mata memerhatikanku, dan yang paling mengerikan adalah sepasang mata tajam milik Bu Astrid.
Jadi, itu Cuma mimpi, ya?? Tapi, kok, nyata banget? Pikirku
“Zeva?! Kamu tidur di pelajaran saya lagi, ya?! Lari kamu keliling lapangan 10 kali! Sekarang!” teriak Bu Astrid. “Hoyoloh, Zev! Sapa suruh lo tidur di dikelas lagi?” ejek Sekar, teman sebangkuku. Aku membalasnya dengan pandangan awas-lo-ya. “Zeva! Harus berapa kali Ibu nyuruh kamu!” ujar Bu Astrid tiba-tiba.
Aku memutar bola mataku malas sebelum keluar kelas. Aku tidak melihat ada bercak darah lagi, bahkan hingga aku turun menuju lapangan. Aku memulai hukumanku dengan berlari—yang terlihat lebih seperti jogging.
Diputaran kedua, aku melihat seorang siswi yang sama seperti di dalam mimpiku. Ia tersenyum miring padaku, lalu menghilang begitu saja. Aku sempat berhenti berlari karenanya.
“Zeva!” Aku melanjutkan lariku ketika mandengar suara Bu Astrid dari depan pintu kelasku.
Hmm?? Deja Vu?
Cerpen Karangan: Erllyta Rachma