“Baiklah, kita akan memulainya dari sini” ucapku sembari menatap bangun usang ini. Kulangkahkan kaki mengikuti arah kemana hatiku ingin melangkah. “Excuse me…” Seseorang menghentikan langkahku, seorang wanita paruh baya dengan seikat bunga krisan putih yang berada di rangkulannya. Aku sedikit membungkuk dan mengangkat kembali tubuhku untuk memberi salam padanya. “apa yang kau lakukan disini?” tanyanya penasaran. “Aku… aku…” “tanyakan apa sekolah ini masih menerima pendaftaran atau tidak” aku mulai sadar jika pria di sampingku ini cukup cerdas, dengan saran bagus yang ia berikan. “Apakah sekolah ini masih menerima murid?” “Hhee??” sahut wanita itu dengan wajah anehnya. “Apa kau orang baru disini?” Tanyanya kembali padaku. “Ya, aku baru pindah satu minggu yang lalu” Akhirnya wanita itu memberikan senyuman tipisnya padaku. “Sekolah ini sudah ditutup empat tahun yang lalu, dan tak akan pernah dibuka kembali” “Hhee, bukankah ini salah satu sekolah terbaik disini?” “kau benar, tapi itu dulu dan sekarang.. Tak akan pernah” jawabnya dengan nada lemah diakhir kalimatnya. “Benarkah, ah… Kedatanganku sia-sia” ucapku berpura-pura menyesali semuanya. “kalau begitu aku permisi dulu” tanpa menunggu jawabanku, wanita paruh baya itu pergi memasuki bangunan lusuh itu dengan buketan bunga krisan yang tak lepas dari rangkulannya.
Aku mencoba mengikuti jejaknya yang berakhir di sebuah sudut yang berada cukup jauh dari pintu masuk. Kulihat puluhan buket bunga yang sudah mengering dan wanita itu kembali menaruh buketan bunga segar itu tepat di sudut yang mulai diselimuti lumut-lumut hijau. Ia tampak menundukan kepalanya, dan aku yakin bahwa wanita itu sedang berdoa yang tak kuketahui untuk siapa doa itu ia sampaikan.
Kembali kulihat buketan bunga yang baru saja ia letakan, dengan lingkaran tali penyangga buketan bunga itu serta foto seorang wanita seumuranku berukuran oval kecil yang tergantung di depannya. Kuperhatikan kembali puluhan buket-buket lainnya dan aku menemukan hal yang sama, yaitu foto seorang wanita seumuranku. Apakah, buket bunga dan doa itu untuk wanita yang berada di foto itu, entahlah, aku mencoba untuk menerka-nerka apa sebenarnya misteri dibalik sudut ini.
“Kau, apa yang kau lakukan disini?” Wanita itu begitu terkejut melihat aku yang tiba tiba saja berada di sampingnya saat ini. “Bukankah aku sudah mengatakan jika sekolah ini sudah ditutup” “Ah, aku…” “Kau, sebaiknya pergi dari tempat ini, karena bangunan ini bukanlah taman bermain” Belum sempat aku menanyakan maksud dari perkataannya, wanita itu bergegas meninggalkan aku disini dengan rasa penasaran yang kian menggebuku.
“Korra-kun…” Kulihat Korra yang menatap lekat foto gadis dengan ekspresinya yang tak dapat kumengerti. “Korra-kun, apa…” Aku tak mungkin menannyakan hal-hal mengenai ekspresinya itu karena aku yang sudah memutuskan untuk berpura-pura tak bisa melihatnya. “Korra-kun, apa kau masih disini” aku berpura-pura mengedarkan pandanganku untuk mencarinya. “Ya, aku di samping kirimu saat ini” jawabnya dengan nada tak bersemangat. “Ah, Korra-kun, apa kau melihat foto gadis itu” “Ya, aku melihatnya” imbuhnya lagi tetap dengan nada bicara Yang sama. “Kau kenal siapa gadis itu?” “Entahlah, tapi… aku tiba-tiba saja merasa jika aku harus… melindunginya” ucapnya dengan jeda yang cukup lama. “Wanita itu pasti tau siapa gadis ini” kukeluarkan ponselku agar dapat memotret, mengambil foto gadis yang terlihat begitu manis itu. “Dia adalah narasumber utama kita” ucapku begitu yakin bahwa kami bisa mendapatkan informasi lebih mengenai sekolah ini.
Kulangkahkan kakiku, meninggalkan pria bernama Korra itu yang terlihat enggan untuk berhenti menatap foto gadis di buket bunga itu. Tujuanku kali ini mencari kediaman wanita yang kujumpai untuk mencari tahu semuanya. Kumulai dengan menjelajahi beberapa komplek perumahan yang berada tak jauh dari sekolahan itu. Kuputuskan untuk mengunjungi salah satu rumah dengan pintunya yang terbuka.
Ttiitt…. ttiitt… “Ya, ada yang bisa kubantu” “Ah, namaku Zuya, aku ingin bertanya apa nona kebetulan tahu dimana rumah gadis ini?” Kutunjukan foto gadis yang kupotret melalui kamera ponselku tadi. “Ah, tunggu sebentar…” wanita yang terlihat masih muda itu berjalan ke dalam rumah dan memanggil seseorang. Wanita lain muncul dan berjalan ke arahku dengan memberikan senyuman tipisnya. “Ya, ada yang bisa kubantu?” “Ah, namaku Zuya, apa kau tahu dimana rumah gadis ini?” Wanita itu membelalakan matanya secara sempurna tepat setelah ia melihat foto yang aku tunjukan. “Ah, itu…” “Kau tahu dimana dia tinggal?” “Gadis ini, gadis ini sudah meninggal, hanya itu yang kutahu” tanpa berbasa-basi, wanita itu masuk dan menutup pintu dengan sangat kasar. Hal itu membuatku semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Gadis ini.
Kembali kukunjungi beberapa rumah dengan pintu mereka yang terbuka, menanyakan alamat gadis ini dan jawaban yang sama kuterima pula, bahwa gadis ini sudah tak ada lagi di dunia ini.
Hari semakin larut, kuputuskan untuk mengakhiri pencarianku. Aku baru menyadari bahwa sejak tadi aku hanya berjalan sendiri, tanpa pria itu menemaniku. Kubawa laju van-ku agar dapat segera sampai ke rumah. “Apa ini, apa hanya aku yang bekerja keras, sebenarnya siapa yang membutuhkan informasi itu?” sungutku kesal karena pria itu yang belum juga menampakkan dirinya. “kau mencariku?” Sahutnya dari kursi belakang yang entah sejak kapan ia telah duduk di kursi itu. Aku tak menjawab, kupasang wajah kesalku dengan terus membawa laju mobilku. “Kau marah, maafkan aku” ucapnya kembali. Namun, aku tetap tak akan menyahut ucapannya itu.
Aku akhirnya sampai, kubuka dan kututup pintu mobil dengan membantingnya kasar. Kulangkahkan kakiku, dan kulihat Korra yang telah berada tepat di depan pintu entah sejak kapan. Aku tetap acuh, tak kuhentikan langkahku hingga aku melawatinya. Kubanting kasar pintu rumah serta pintu kamarku. Aku tak tahu mengapa aku sangat kesal saat ini. Tak hanya pintu, tubuhku juga kurebahkan kasar pada ranjang king-size ini. Kupejamkan mataku, namun keberadaan pria aneh itu yang berada di sampingku membuatku tak dapat terlelap. Aku bangkit, menuju balkon kamarku setelah selesai membuat capuchino untuk menghangatkan tubuhku.
“Zuya-chan, kau marah padaku?” Pria aneh itu akhirnya membuka percakapan diantara kami. “Kau disini?” “Hem, aku duduk di kursi kosong di samping kirimu, kau suka capuchino?” “tidak juga, aku hanya meminumnya untuk menghangatkan tubuhku” “Aku sangat suka capuchino, boleh aku memintanya?” “Hhee, tapi bagaimana caramu meminumnya?” “Aku hanya perlu menghirup aromanya” “Hanya itu?” “Hem, may i??” dengan sangat terpaksa kuberikan capuchino yang bahkan belum sempat kuseruput kepada pria di sampingku ini.
“Ahhh, ini adalah minuman pertama setelah kematianku” ucapnya dengan nada puas. “Minuman pertama…” “Hem..” gumamnya sembari terus menghirup aroma capuchino kesukaannya itu. “Korra-kun, mengenai gadis di foto itu apa kau benar-benar tak ingat siapa dia?” “Aku… aku sama sekali tak ingat siapa gadis itu” sahutnya datar. “Lalu, apa kau ingat bagaimana kau… ee, maksudku kau bisa seperti ini” “Aku juga tak mengingatnya, aku bahkan tak ingat kapan dan dimana aku mati, yang kuingat… aku adalah salah satu siswa di sekolah itu” Korra mengakhiri ucapannya dengan kembali menghirup aroma minuman di cangkir berwarna putih itu. Aku mulai mengira apakan Korra salah satu siswa yang diperlakukan tidak senonoh seperti yang tuan Rean katakan. Kupandangi wajah pucat dan polos pria di sampingku ini. Iapun memandangiku dengan memperlihatkan ekspresi heran.
“Apa kau memandangiku, ba.. bagaimana kau tahu jika aku disini, aa…apa kau bisa melihatku?” “Heh, bukankah kau berkata jika kau duduk disitu, dan… dan aku tidak melihatmu, bukankah aku sudah mengatakan jika aku tak bisa melihatmu” “Lalu kenapa kau seperti sedang melihatku?” “Aku… aku…” aku kembali harus mencari alasan agar ia dapat percaya padaku. “Aa, kau bisa melihatku bukan, I know that!” “Korra-kun, kau tahu, kau terlalu percaya diri. Aku tak melihatmu, aku… aku… hanya sedikit aneh melihat asap tipis itu yang hanya tertiup ke satu arah, apa kau yang melakukannya?” “Ah, itu.. ya, aku sedang menghirup aroma sedap ini” jawabnya sembari menghirup asap tipis itu kembali. “Aku juga ingin meminumnya..”
“Hhee, tapii Zuya-chan kau tak bisa meminum minuman yang telah dihirup olehku” “Maksudmu?” “Aku tak ingin ada anggapan bahwa kau menciumku secara tak langsung” kusemburkan kembali capuchino yang telah terasa hambar ini setelah mendengar omong kosongnya itu. “Aku, menciummu???” Tanyaku dengan nada tak mengerti. “Aku hanya bercanda…” “Argggg…” gumamku geram dan kembali menyeruput minumanku ini. “Tapii… kenapa capuchino ini menjadi hambar?” “Itulah maksudku, kau tak akan menikmati rasa manis dari minuman itu lagi karena aku telah menghirupnya”. Kembali kupandangi wajah pria itu. Wajah, dengan kedua matanya yang terlihat begitu sayup, wajah, dengan bibirnya yang sedikit kering, wajah yang begitu dingin dan seakan menyimpan sesuatu yang menyedihkan, yang harus segera kupecahkan.
“Zuya-chan, apa yang kau lihat?” “Tidak, aku hanya merasa kau berada begitu dekat denganku” “Zuya-chan, bukankah sudah kukatan jika aku memang berada di dekatmu, belum lama kau menyebutkannya dan sekarang…” “Korra-kun, apa kita bisa saling menyentuh?” Tanpa sadar, aku mengucapkan kata-kata aneh itu. “Zuya-chan…” “Aku sangat ingin menyentuhmu” ya, aku ingin menyetuh wajahnya dan merasakan apakah wajah itu sedingin es, seperti yang kurasakan selama aku menatapnya tadi. “Korra-kun, apa kau masih disitu?” Kuberanikan untuk mengangkat tanganku, mencoba untuk menyentuhnya. Untuk beberapa saat Korra terdiam dengan tanganku yang terus berusaha untuk menyentuhnya. Jemariku hampir menyentuh pipinya, namun Korra yang tiba-tiba saja beranjak dari duduknya membuat keinginanku tak terlaksana.
“Zuya-chan…” “Apa aku sudah menyentuhmu, tapi kenapa aku tak merasakan apapun?” Kugerakan jemari tanganku ke kanan dan ke kiri berulang kali agar semuanya terlihat bahwa aku benar-benar tak bisa melihatnya. “Zuya-chan, kau tak hanya menyentuhku, tapi kau juga menamparku” imbuhnya polos yang yang masih mempercayai bahwa aku tak bisa melihatnya dengan membodohiku. “Benarkah??” Kutarik tanganku dan memandanginya secara rinci. “Tapi…” “Sebaiknya kau tidur Zuya, malam sudah semakin larut” “Baiklah..” jawabku datar. Aku berjalan masuk dan kubaringkan tubuhku yang terasa lelah ini. Arghh, apa yang aku lakukan. Mengapa tiba-tiba aku menuruti semua ucapannya itu. Aku berusaha melupakan pria itu yang telah pergi entah kemana, hingga akhirnya aku terlelap dengan begitu nyaman.
—
“Apa kau tau dimana keluarga gadis ini tinggal?” Rumah ini adalah rumah kesekian yang telah kutanyakan mengenai gadis ini. “Kau, siapa gadis itu?” “Aku… aku sepupunya yang baru saja datang dari Kanada” aku harus kembali berbohong demi mendapatkan informasi itu. “Waah, aku tak menyangka jika mereka mempunyai keluarga di luar negeri” “Ahh, jadi apa tuan tahu dimana mereka tinggal sekarang?” “Mereka berencana untuk pindah tiga hari yang lalu, tapi coba saja kau kunjungi rumah berwarna putih coklat di ujung jalan ini, mungkin mereka masih disana” ujarnya sedikit panjang. “Arigato…” “Tapi, apa kau sudah tahu jika gadis di foto itu sudah meninggal?” “Ya, aku sudah mendengar kabar itu…” Sahutku datar. “Sayang sekali, ia harus meninggal dengam cara yang tak lazim..” kubelalakan mataku mendengar informasi baru yang kudapat. “Tak lazim, maa..maksudmu?” “Kau tak tahu? Ia meninggal setelah dijadikan kepuasaan oleh para guru-guru laki-lakinya” jantungku terasa berhenti berdetak. Apakah itu salah satu penyebab hingga sekolah itu ditutup. “Mereka bahkan tak segan untuk membunuh para siswa yang menyaksikan semuanya” aku tak dapat berkata-kata lagi. bagaimana bisa sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk menuntut ilmu, menjadi tempat pembantaian seperti ini.
“Kau baik-baik saja” “Ya, aku baik-baik saja. Arigato!” Kulangkahkan kakiku mencari rumah mendiang gadis ini. Perasaanku sangat tak menentu saat ini, terasa ada sesuatu yang begitu mengganggu perasaanku. “Ia meninggal setelah dijadikan kepuasaan oleh para guru-guru laki-lakinya, Mereka bahkan tak segan untuk membunuh para siswa yang menyaksikan semuanya” kata-kata itu tak bisa lepas dari otakku. “What is that…” Gumamku mencoba untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Kulirik Korra yang sejak tadi hanya terdiam sembari terus mengikuti langkahku.
“Korra-kun, kau dimana?” panggilku untuk memulai percakapan diantara kami. “Ya, aku di sampingmu” jawabnya datar. “Korra-kun, apa kau masih tak mengingat apapun?” “Hem…” ujarnya lesu dengan terus menatap kosong kedepan. “We found that…” Ucapku pada rumah sederhana berwarna putih kecoklatan itu. “Kau yakin ini rumahnya?” Ujar Korra yang angkat bicara. “Ya…” aku melangkah sedikit maju dan membunyikan bel rumah tersebut. Tak lama, keluar seorang wanita paruh baya yang pernah kutemui saat aku mengunjungi sekolah lusuh itu. “Ah, nyonya….” “Ka..kau… Apa yang kau lakukan disini?” “Aku, aku hanya…” “Jika kau ingin mencari tahu tentang sekolah itu, maaf aku tak tahu apa-apa!” ujarnya dengan ketus dan membanting pintu rumahnya dengan sangat kasar. Aku terus mencoba membunyikan bel dan mengetuk pintu itu, wanita itu memang membukannya, tapi ia juga menghempaskan pintu tanpa berkata apapun setiap kali aku mengunjunginya. Berulang kali aku mencoba berbicara dengannya, berulang kali pula hempasan pintu itu yang terdengar olehku. Dan aku berusaha untuk terus mengunjunginya, berharap agar ia dapat menerimaku sebagai tamunya walaupun hanya sesaat.
“Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tak tahu apa apa!” Ia mencoba menutup kembali pintunya dan aku tak tinggal diam, kutahan ganggang pintu tersebut mencoba manahannya agar tak tertutup. “Bagaimana jika, putrimu masih terjebak di dunia ini” kudengar tarikan napas keterkejutannya setelah mendengar ucapanku, serta kedua matanya yang membulat sempurna. “Ap..apa.. Maksudmu?” “bagaimana jika putrimu masih terjebak di dunia ini? Bagaimana jika putrimu belum juga menyeberang ke dunianya, bagaimana jika…” “Hentikan omong kosongmu gadis kecil, kau tak tahu apa-apa!” bentaknya yang cukup memanaskan telingaku. “Gadis kecil?? Lalu apa yang dilakukan orang dewasa seperti kalian? Apa kalian akan menyerah begitu saja?” “Hentikan!!!!” Ia mengangkat tangannya dan mengarahkannya kewajahku. “Zuya-chan…” Kuhalau tangan yang hendak menyakitiku itu dengan segenap tenaga yang kumiliki. “Putrimu menangis, disana…” Ia menghembuskan napas panjangnya dengan kepalan tangannya yang mulai melemah. “Ap..apa…” Ucapnya sedikit terbata. “Ya, putrimu menangis, disana…” Kulihat gadis dengan rambut panjang yang melawati bahunya menatap wanita paruh baya ini. Matanya yang tampak sembab dan bibir merah mudanya yang begitu pucat. “ibu….” Kudengar suara lembutnya memanggil wanita yang mulai kehilangan tenaganya ini. “Dia, merindukanmu…” Kucoba untuk menyampaikan pesan yang ia ucapkan untuk ibunya. Perlahan lahan, wanita yang ada di hadapanku ini melonggarkan kepalan tangannya dan kehilangan kesadaraannya. Iapun jatuh di papahanku.
Cerpen Karangan: Anita Della Blog / Facebook: Anita Della Nama: Anita Della Tempat, Tanggal Lahir: Sintang, 02/11/1997 ALamat: Jalan Sengkuang No.70, RT.008/RW.002, Desa/Kel. Sengkuang, Sintang, Kalimantan Barat Pendidikan Terakhir: SMA