“Kau benar-benar bisa melihatnya?” Tanya wanita itu dengan suara lemahnya. “Ya, dia sangat mengkhawatirkanmu saat ini” “Ahh….” Buliran air bening jatuh dari kelopak-kelopak matanya. “Jangan menangis, itu lebih menyakitinya…” “Tiga tahun setelah kejadian itu, aku bahkan tak bisa melakukan apapun untuknya” “Dia sangat berterima kasih, atas seluruh bunga dan doa yang kau berikan padanya” Tangisan itu mulai terasa perih di relungku karena seketika itu pula bayangan ayah dan ibu yang telah lama pergi dan terlupakan olehku, tiba-tiba saja memenuhi pikiranku. “Aku tak tahu harus berbuat apa, hanya buketan bunga dan doa itu yang dapat kuberikan padanya dan menunggu keadilan itu datang dengan sendirinya” “Keadilan tak bisa datang dengan sendirinya, keadilan harus kau cari dan kau buktikan” “Apa yang bisa dicari dan dibuktikan oleh wanita tua sepertiku?” “Maka dari itu, aku datang untuk membantumu!” ia menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca, seakan ingin menjelaskan semuanya.
“Mereka memang sudah meninggal, tetapi sampai detik ini aku sendiri bahkan tak pernah melihat wajah putriku saat ia tak lagi menghirup udara di dunia ini” Mereka? Kebenaran lain terungkap, bahwa lebih banyak korban atas kejadian tragis di sekolah itu. “Mereka??” Tanyaku penasaran. “Lebih dari 10 siswa menghilang sejak tiga tahun lalu, dan tak ditemukan hingga sekarang” dan lagi, informasi baru kudapatkan. Aku hanya dapat menatap lurus ke depan dan kulihat Korra yang hanya terdiam dengan wajah sendu dan bayangannya yang mulai memudar, begitu pula dengan gadis yang tak jauh berada di sampingku ini. “Apa kau tahu bagaimana putriku?” “Kau meragukanku?” “Aa..” “rambutnya berwarna coklat kehitaman dengan panjang yang melebihi bahunya, matanya sedikit bulat dengan…” Aku benar-benar lupa bahwa aku memutuskan untuk berpura-pura tak bisa melihat mereka. Kutarik dan kuhembuskan napas beratku agar dapar menyelesaikan perkataanku. “Matanya sedikit bulat dengan dua tahi lalat kecil yang berada di ujung alis kanannya dan… Ia mengenakan seragam sekolah berwarna maroon serta nametag IZUKA!” kuakhiri deskripsi panjangku dengan melirik Korra yang memperlihatkan wajah kecewanya. Iapun menghilang secara tiba-tiba, tanpa mempedulikanku sedikitpun. “Ya, namanya adalah Izuka, apa kau kebetulan tahu dimana ia berada sekarang?” “Ia, berada tepat di samping kirimu saat ini” Wanita itupun mengarahkan duduknya menghadap gadis bernama Izuka itu yang tak dapat ia lihat. “Izuka, maafkan ibu…” “Ibu…” “Maaf, maaf jika ibu tak bisa berbuat apa apa selama ini” “Ibu…” Keduanya hanyut dalam penyesalan masing-masing.
Kuputuskan untuk meninggalkan mereka dan kembali bergegas mencari dimana keberadaan korban-korban yang belum ditemukan. Kubuka pintu mobil dan Korra yang entah sejak kapan telah duduk di kursi belakang. “Korra-kun…” “Jadi selama ini kau membohongiku?” “Korra-kun, aku…” “Tidak, kau tak bersalah, aku saja yang terlalu percaya hingga sangat mudah dibodohi seperti ini, kenapa aku tak bisa berubah, bahkan saat aku sudah seperti ini sifat bodoh itu masih ada padaku. “Korra…” “Aku hanya ingin sendiri, dan kau… Jangan mencariku!” Kata-kata itu sangat jelas bahwa Korra begitu marah padaku. Aku tak dapat menghalaunya yang tiba-tiba saja menghilang. Cukup lama aku duduk terdiam, menyesali perbuatan ini, hingga aku sadar bahwa lamunanku itu tak akan membuat Korra memaafkanku. Kunyalakan dan kujalanku Van-ku menuju tempat dimana aku dapat dengan puas menyesali keputusanku untuk membohongi pria yang tak lagi seorang manusia itu.
—
“Zuya, tolong aku… Zuyaa… Zuyaaa…” “Hahhhh!” kubuka kedua mataku setelah mendengar suara yang memanggil manggil namaku itu. Kulihat sekeliling kamarku dengan cahaya matahari yang tak dapat menembus gorden tebal berwarna Hijau tua itu. Kulirik jam wakker yang sudah menunjukkan pukul 1 siang. Sepertinya aku sangat kelalahan karena ini adalah kali pertama aku bangun selambat ini. Kuhela napasku dan beranjak dari tempat tidur untuk membersihkan diriku. Waktu terasa berjalan begitu cepat kali ini, dan selama aku terbangun aku sama sekali tak melihat Korra di dekatku. Aku sangat mengerti perasaan kecewa itu dan akupun berusaha untuk menghormati keputusannya untuk marah padaku dan memutuskan untuk menyendiri.
Hari semakin larut, dengan langit yang terlihat sedikit gelap kali ini, tanpa satupun temannya yang mau menemaninya mengusir kegelapan itu. “Zuya!!!” suara itu tak asing di telingaku. Apakah Korra memanggilku, kulirik sekelilingku dan tak kutemukan Korra. “Cukup Zuya, apa yang kau pikirkan?” Gumaaku dengan memukul kecil kepalaku. “Zuya…” Kali ini suara itu cukup jelas dan membuatku mengedarkan pandanganku kembali untuk mencarinya. “Zuya-chan!!!” Korra benar-benar memanggilku. Tanpa sadar kuambil jaketku serta kunci mobil dan menjalankannya sesuai naluriahku hingga akupun sampai di depan sekolah yang terlihat sangat gelap itu.
Kulangkahkan kakiku, dengan telingaku yang terus mendengar suara-suara asing yang memanggil namaku. “Zuya tolong aku… Zuya-chan…. Zuya-chan, kumohon tolonglah kami” kuhentikan langkahku dan kulihat Korra yang berdiri tegak membelakangiku dengan kepalanya yang menunduk ke bawah. “Ko..Korra-kun…” Panggilku lirih pada bayangannya yang semaki memudar itu. Iapun membalikan badannya dan menghadapku dengan memberikan senyumannya yang terlihat menyimpan kesedihan. “Aku mengingatnya….”
Flashback ( 4 Tahun Yang Lalu ) Entah apa yang dipikirkan oleh para laki-laki biadab itu, setelah puas menikmati rekan wanitanya, mereka mulai menjajal para siswinya. Dan Izuka, menjadi korban terparah. Ia meronta kian hebat, berusaha untuk mempertahankan kesuciannya. Namun, seorang gadis muda melawan lebih dari lima pria dewasa terasa sangat tak adil. tak hanya itu, mereka bahkan menjadikan Izuka bahan lelucon dengan terus menyakiti tubuhnya dengan pukulan pukulan keras mereka bila Izuka menolak.
Korra, Korra yang menyaksikan adik kelasnya diperlakukan tak pantas mengambil tindakan, dengan sangat berani ia berusaha menghentikan perbuatan keji itu. Dan lagi, satu pria remaja tak akan mampu untuk melawan raksasa raksasa menjijikan itu. Namun, ia berhasil membuat mereka menemui ajal mereka, tak terkecuali dirinya sendiri dan juga Izuka yang lebih dulu menghembuskan napas terakhirnya. Dan pemilik Yayasan, menutup kasus itu bersamaan dengan terbentuknya trowongan rahasia yang ia gunakan untuk mengubur mayat mayat itu secara massal dan dengan perlakuan tak wajar. Namun keadilan mulai terlihat, Pemilik Yayasan mengalami sakit parah hingga tak lama iapun menyusul mayat mayat itu.
—
“Tak ada yang berhasil menemukan tempat ini, Zuya. Itulah mengapa polisi menutup kasus ini” ucapnya dengan nada kepedihannya. Aku berjalan mendekatinya. Ingin rasanya aku memeluk pria ini, namun hal itu tak akan pernah terjadi karena menyentuhnyapun aku tak bisa. “Aku akan menyelesaikan semuanya dan memberikan keadilan pada kalian. Kujanjikan itu” hanya itu yang dapat kukatan untuk memperbaiki keadaan yang terasa begitu dingin ini.
Kulangkahkan kakiku menyusuri terowongan bawah tanah yang berbau tak sedap itu. Udara yang terasa begitu lembab ditambah kegelapan yang menemani tapakan kakiku ini. Kukeluarkan ponselku untuk menghubungi tuan Rean, karena ialah yang dapat membantuku membawa keadilan kepada pemilik suara-suara asing yang terus saja memanggil namaku. Kulangkahkan kakiku tanpa tahu dimana trowongan ini akan berujung.
Kurasakan kakiku yang menginjak suatu yang tak dapat kupastikan apa itu. Kuhidupkan senter ponselku dan kulihat sebuah kaki yang mulai membusuk yang berada tepat di bawah telapak sepatuku ini. Darahku berdesir kian hebat saat kuedarkan pandangan beserta senter tersebut ke seluruh sudut, dan kutemukan pemilik suara yang perlahan menghilang setelah mereka dapat melihat akhir tragis dari hembusan napas terakhir mereka. Terakhir, kutemukan mayat seorang pria dan wanita berseragam maroon dengan wajah dan tubuh mereka yang sama sekali tak membusuk seperti mayat mayat yang lainnya. Air mataku tiba tiba mengalir setelah kubaca siapa pemilik badan itu, KORRA dan IZUKA. Wajah yang sangat kukenal, ditambah nametag yang terpasang di baju lusuh itu.
“Korra…” “Terima kasih Zuya, karena kau, kami dapat merasakan keadilan itu sekarang” “Korra…” “Aku sudah tahu apa yang terjadi hingga aku seperti ini, sekarang saatnya aku meninggalkan dunia ini” “Korra-kun…” Aku tak tahu perasaan apa yang berkecamuk di benakku saat ini. Tak dapat kupingkiri saat saat ini adalah saat yang begitu menyakitkan karena Korra yang akan pergi jauh, seperti perasaan yang kurasakan saat melihat senyuman terakhir ibu dan ayah di wajah mereka dengan tubuh yang telah mengkaku. “Terima kasih Zuya-chan, setelah kematiannku, bertemu denganmu adalah kenangan terindah bagiku” kuangkat kedua tanganku mencoba untuk menyentuh wajah pucat nan dingin itu, dan aku tak berhasil menyentuhnya. Perlahan, bayangan itu menghilang, meninggalkan aku sendiri dengan tangisan yang sangat menyesakkan dadaku ini.
“Zuya.. Zuyaa…” Kudengar suara khawatir dari tuan Rean yang memanggil namaku. “Zuya, apa….” Aku juga mendengar suara sirine dan riuhan yang mulai terdengar jelas dan menghilang di telingaku. Aku tak tahu apa yang sedang kurasakan, hingga akhirnya… BRUKKK….
—
“Kau suka bunga?” “Ya, aku menyukai bunga soba”
~ 1 Bulan Kemudian ~ Bunga soba, kubawa buketan bunga itu sembari berjalan menyusuri makam-makan yang terasa begitu damai ini. Kutemukan sebuah makam yang dijadikan tempat peristirahatan terakhir oleh pria bernama Korra itu. Kuletakan bunga soba yang menjadi bunga favoritenya itu. Kulihat wajah yang dihiasi senyuman manisnya yang tepasang di bingkai foto berwarna Hitam itu, ditambah setelan Jas Sekolahnya berwarna Maroon semakin membuatnya terlihat begitu rupawan.
“Satu hal yang tak kau sadari Korra, kaulah pembawa keadilan yang sesungguhnya” ucapku berharap agar Korra disana mendengarkannya. “maaf karena aku sudah membohongimu!” imbuhku sedikit bergetar. Aku sangat berharap agar aku dapat bertemu denganmu sekali saja untuk mengungkapkan bahwa aku sangat menyesal telah membohongimu. Kuangkat wajahku setelah puas menatap wajah dibingkai foto itu dan, kulihat Korra yang menatapku dengan senyuman hangatnya. “Arigato!” Kata kata itu hanya terlihat oleh pelafalannya. Korrapun kembali memberikan senyumannya dan kembali meninggalkan aku sendiri meratapi makam hijau ini. Kulangkahkan kakiku, dan beranjak pergi.
Aku tak dapat berjanji dapat membawakan bunga soba itu terus setiap kali aku mengunjungimu, namun aku berjanji akan meneruskan sikap tegasmu untuk mencari keadilan di muka bumi ini, bahkan untuk kalian yang telah terlebih dahulu meninggalkan bumi ini.
– THE END –
Cerpen Karangan: Anita Della Blog / Facebook: Anita Della Nama: Anita Della Tempat, Tanggal Lahir: Sintang, 02/11/1997 ALamat: Jalan Sengkuang No.70, RT.008/RW.002, Desa/Kel. Sengkuang, Sintang, Kalimantan Barat Pendidikan Terakhir: SMA