Namaku Zifa, Zifanya Aurora. Orang-orang di sekitar memberi julukan ‘knife master’ kepadaku. Mereka memberiku julukan demikian karena memang aku pandai memainkan sebilah pisau. Aku bersekolah di jurusan tata boga, jadi tak heran jika aku cukup lihai dalam menggunakan pisau.
Keahlianku dalam bermain pisau ini sempat membawaku pada sebuah ajang kejuaraan memasak tingkat nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah. Di sekolah pun aku terkenal sebagai murid berbakat diantara teman-temanku yang lain, khususnya sahabatku. Namun begitu, aku tak pernah merasa bahwa diriku ini hebat dan juga aku tak pernah membanding-bandingkan keahlianku dengan teman-temanku. Sahabat baikku, Nina, sering berlatih memasak bersamaku.
Jumat, 4 Maret 2022, tepatnya pada pukul 06.30 pagi, sekumpulan warga berkerumun di rumah Nina. Aku yang tak sengaja melewati rumah Nina dan melihat gerombolan warga pun bingung dengan apa yang terjadi. Menepis segerombolan massa, aku berusaha untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Betapa terkejutnya aku ketika melihat seorang gadis yang telah bersimbah darah sedang diangkat oleh petugas ambulan yang memang dipanggil oleh salah satu warga. Ibu dari gadis itu menangis histeris saat mengantar jazad anaknya masuk ke dalam mobil ambulan. Ketika beliau melihat diriku, beliau mengehentikan langkahnya dan menatap diriku tajam dengan jari telunjuk yang diarahkannya tepat di depan wajahku. “Kamu pembunuh! Kamu sudah membunuh anakku Nina kan?! Dasar pembunuh! Ayo sini, akan aku beri pelajaran kamu!” Beliau mengamuk dan warga sekitar dengan sigap memeganginya.
“Tenang Bu, tenangkan diri ibu.” Ujar salah seorang warga berusaha menenangkan beliau. Namun bukannya tenang, beliau justru semakin menjadi, tak berselang lama akhirnya pihak berwajib pun tiba. Dengan sigap mereka segera menenangkan keributan. “Ibu, kami harap ibu tenang dulu,” “Ibu jangan asal menuduh orang, kami akan segera menyelidiki akibat dari kematian anak ibu. Jadi kami harap ibu tenang,” seorang polisi yang aku rasa adalah salah satu ketua dari mereka berujar. “Saya yakin dia pelakunya pak, karena di tubuh anak saya ada bekas tusukan pisau yang cukup dalam,” “Dia sahabat anak saya pak, tapi dia bermuka dua. Di depan anak saya dia baik, tapi dibelakang dia memang punya rencana untuk melenyapkan anak saya,” ibu Nina menuduhku sambil terisak-isak. Aku melihat beliau menarik napas dengan tersengal-sengal dan setelah itu beliau terjatuh dengan mata menutup. Beberapa warga dengan sigap langsung menggotong tubuh beliau dan membaringkannya di lantai teras.
Sirine ambulan telah terdengar, itu tandanya jazad Nina telah dibawa menuju rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan oleh dokter. Karena aku tak punya banyak waktu, aku pergi meninggalkan rumah Nina. Hari ini ada sebuah perlombaan menghias buah yang diadakan di sekolah, tak mungkin juga bila aku tak jadi ikut hanya karena insiden kematian Nina ini. Aku paham kenapa ibu Nina sangat marah kepadaku. Beliau sebenarnya sangat sedih akan kematian anaknya, karena Nina memang anak semata wayangnya, suaminya pun sudah meninggal, jadi beliau hanya tinggal seorang diri.
—
Aku terbangun dari tidurku. Melihat sekelilingku yang dipenuhi pohon dan rerumputan, membuat diriku bingung dan bertanya-tanya. Dengan pertanyaan yang membumbung, aku segera berdiri dan memandang keatas. Kenapa aku bisa langsung melihat langit, dan warnanya gelap. Apakah ini malam hari? Aku ingat tadi aku sedang tidur di kamar, dan tak mungkin juga tiba-tiba aku telah berpindah ke luar.
“Hai Zifa, apa kau senang?” Aku menengok ke sumber suara ketika mendengar namaku disebut. Kudapati Nina, sahabatku, sedang berdiri menatap seseorang di depannya, ia mengenakan Hoodie hitam serta menaruh tangan kanannya ke dalam saku Hoodienya. Kutengok ke sebelah kiri, seseorang dengan penampilan mirip denganku mengenakan jaket jeans navy dan memakai topi putih berjalan perlahan ke arah Nina, kedua tangannya dimasukannya kedalam saku celana jeans-nya itu. Mereka berdua saling tersenyum picik.
“Apa kau bersemangat untuk perlombaan besok?” Nina berujar sembari memicingkan sebelah matanya. Keduanya saling mengikis jarak satu sama lain, hingga terciptalah sebuah jarak berukuran se-penggaris 30 Senti. “Jika pertanyaan itu aku balikkan ke kamu?” “Cuih,” sepatu yang ‘aku’ kenakan kotor terkena ludahan Nina. “Kenapa kau mau menerima ajakanku untuk bertemu malam-malam? Apa kau gak ada pikiran macam-macam tentangku?” Tak ada respon dari diriku. “Ohhhh aku tahu, kau sangat mempercayaiku sebagai sahabatmu kan? Seberapa percayanya kau terhadapku,” “Sahabat, suatu kata yang bermakna indah bagi kebanyakan orang. Tapi tidak untukku.” Dia berjalan mengitari tubuhku yang masih berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan.
“Emang kamu tau alasanku mau jadi sahabatmu? Cih, dipanggil sebagai sahabatmu oleh orang-orang saja aku tak sudi. Selama ini kau kira aku tulus? Dasar bodoh!” Jari telunjuknya menoyor jidatku yang tertutup topi itu. “Aku akui kau memang berbakat, kau pandai dalam bermain pisau. Tapi kalau aku pikir-pikir lagi, bermain pisau saat memasak rasanya kurang menyenangkan, iya gak?” Bersikap lebih jauh lagi, dia membuka topiku dan menjatuhkannya ke tanah. “Gimana menurutmu, wahai sa-ha-bat?” Sengaja dia mengeja kalimat ‘sahabat’ untuk membuat diriku panas. “CK, aku ngomong sama orang tapi berasa ngomong sama patung. Dasar gak ada guna,”
Jleb! Crott! Kreek! Kejadian itu berhasil membuatku meringis kesakitan. Orang yang berada di depanku kini memutar kepalanya kesamping, ke arahku. Dengan tangan, wajah, serta jaketnya yang berlumuran darah, dia tersenyum ke arahku dan berkata, “misi selesai.” Dia acungkan jari jempolnya yang memegang pisau berlumur darah merah segar itu ke arahku. Aku bergidik, seluruh tubuhku kaku di tempat. Bola mataku membulat sempurna dan mulutku tak kuasa untuk mengucapkan sepatah kata. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa orang yang di depanku itu adalah diriku yang lain.
“Hah hah hah,” seperti habis lari maraton aku terengah-engah dan terbangun dari tempat tidurku. Sebuah mimpi yang aku alami beberapa saat yang lalu menyadarkanku, dan aku segera beranjak dari tempat tidur. Aku mencari-cari diseluruh rumah, tapi tak juga menemukannya. Ketika memasuki dapur, aku melihat seonggok kresek hitam besar dibuang di tempat sampah. Merasa curiga, aku mengambil kresek itu dan membawanya ke kamarku untuk aku buka dan kulihat isinya. Betapa terkejutnya diriku melihat isi di dalamnya. Sebuah jaket jeans navy yang berlumur darah tetapi telah mengering, pisau dapur yang sering aku gunakan, serta topi putih yang terdapat cap jari yang kutebak itu adalah cap jari milik Nina sebelum dia meninggalkan raganya.
Suara jangkrik dan angin yang menggesek ilalang begitu ramai terdengar. Di tempat ini aku seorang diri ditemani berjejer-jejer tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang. Aku berjongkok di salah satu gundukan tanah, kemudian menyiram air mawar agar tanah tersebut tetap segar dan meletakkan setangkai bunga mawar kuning ke atas gundukan itu.
“Apa kau suka dengan kejutan yang aku berikan ini?” Pertanyaan yang aku lontarkan diakhiri dengan sebuah kekehan kecil. “Benar katamu, jika bermain pisau saat memasak kurang menyenangkan, lebih menyenangkan lagi jika digunakan untuk hal lain yang menggugah gairah.”
Suara gesekan alas kaki dengan dedaunan kering terasa di telingaku. Suara tersebut mendekat secara perlahan. Aku dapat memastikan siapa pemilik suara itu. “Zefa?” Aku menengok ke belakang dan wajahnya tampak terkejut. Dia mengarahkan pandangannya pada gundukan tanah yang telah aku beri bunga mawar kuning itu. “Mawar kuning? Ka-kamu?” “Iya mawar kuning. Kamu inget apa yang dikatakan oma dulu?” Dia mengangguk menanggapi pertanyaan dariku. Kata Oma dulu, bunga mawar kuning berarti melambangkan rasa kebencian dan ketidaksetiaan pada seseorang.
“Aku rasa kamu udah tau semuanya Zif.” Dia mengangguk dengan wajah mirip orang bodoh. Aku tak habis pikir dengan sikap saudari kembarku yang satu ini. Apakah dia bodoh atau baik? Atau karena dia terlalu baik, makanya dia jadi bodoh? “Udah aku bilang kan dari dulu, jangan jadi orang baik sampai bodoh.” Setelah aku beri toyoran kecil di dahinya, aku beranjak meninggalkannya yang masih mematung di tempat
Cerpen Karangan: Dinda Dewi Ig: @anggra_0597 Semoga kali ini bisa lolos
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com