Namaku Jessi, seorang mahasiswi di salah satu universitas yang ada di Seoul. Di umurku yang sudah menginjak 22 tahun ini aku memilih untuk tinggal terpisah dengan orangtuaku. Aku tinggal di sebuah apartemen yang berada tak jauh dari kampusku. Aku tinggal di gedung lantai 3 nomor 303. Tetanggaku, yaitu orang yang tinggal di gedung nomor 302 adalah seorang laki-laki paruh baya yang kerap sekali mengajak anak kecil untuk main ke apartemennya. Aku tak tahu siapa anak kecil itu, karena laki-laki itu belum menikah dan belum memiliki anak, mungkin saja keponakannya.
Pagi ini seperti biasa aku berangkat ke kampus sekitar pukul 9 pagi. Saat aku mulai keluar, aku menjumpai tetanggaku yang tinggal di gedung nomor 302 itu juga keluar dengan memakai pakaian serba hitam dan mengenakan topi yang menutupi wajahnya. Sebagai tetangga yang baik, aku menyapa paman itu. “Halo paman, selamat pagi.” Tapi bukannya mengindahkan sapaanku, paman itu malah langsung berlalu dari hadapanku tanpa menggubris atau melirikku. Mungkin saja paman itu sedang terburu-buru, pikirku.
Pulang dari kampus, saat aku melewati gedung nomor 302, aku seperti mendengar sebuah teriakan. Karena penasaran, aku menghentikan langkahku tepat di depan pintu. Aku mengetuk pintu sebanyak 3 kali. Ketika pintu terbuka, aku melihat paman itu yang memasang wajah tak suka kepadaku yang telah mengganggunya. “Ada apa hah!?” tanyanya dengan nada tinggi. Aku tersentak dan dengan refleks menggeleng. “Ah tidak ada paman, tadi saya mendengar suara teriakan dari dalam. Paman tidak apa-apa kan?” tanyaku. “Sana pergi!” oke fine, paman itu sudah mengusirku, saatnya aku pergi dari sini. “Maaf telah mengganggu Anda.”
Siang hari pukul 12.00, aku yang keluar untuk mengambil makanan pesananku tak sengaja melihat paman tetanggaku itu membawa anak kecil lagi ke dalam apartemennya. Dua orang anak laki-laki dan perempuan itu nampak senang dan bersemangat ketika memasuki gedung paman itu. Aku mengedikkan bahu dan menepis segala pikiran buruk yang tiba-tiba saja singgah di kepalaku. “Mungkin hanya perasaanku aja.” Pikirku. Namun saat aku sudah berada di dalam apartemenku sambil menikmati makananku, aku mendengar bunyi seperti sesuatu yang menghantam ke lantai dengan keras. Tapi ini lebih seperti sesuatu itu sengaja dihantamkan ke lantai. Setelah hantaman itu, terdengar suara tangisan. Karena tak nyaman dengan suara itu, aku langsung memanggil penjaga apartemen dan menyuruhnya mengecek gedung sebelah. Selang beberapa menit, penjaga apartemen itu mengabariku bahwa tidak ada apa-apa di gedung sebelah.
Selama 3 hari aku selalu tak tenang. Telingaku selalu saja mendengar suara-suara seperti sesuatu hantaman, suara tangisan, pukulan, dan juga jeritan. Tapi setiap kali aku meminta penjaga apartemen atau seseorang untuk mengecek, semuanya selalu bilang tidak ada apa-apa. Dan selama 3 hari ini hidungku mencium bau-bau seperti sesuatu yang busuk. Makin lama aku biarkan, bau itu makin menyengat hidung. Karena sudah tak tahan lagi, aku mulai menelusuri darimana asal bau busuk itu.
Ketika indera penciumanku berada di gedung nomor 302, bau busuk itu kian membuncah. Aku sampai mual saking baunya. Aku ketuk pintu itu dengan tak sabarnya. Sudah ada 7 ketukan, namun pintu tak juga terbuka. Karena aku sudah muak dengan kelakuan paman tetanggaku itu, aku mendobrak pintu itu dan betapa terkejutnya diriku saat mendapati banyak bercak darah yang sudah mengering di seluruh lantai. Bau busuk itu semakin menusuk hidungku. Mataku tertuju pada sebuah lemari yang besar dan terlihat penuh. Perlahan-lahan aku mendekati lemari itu, dan bau busuk semakin menjadi, membuat diriku hampir pingsan. Dengan mengumpulkan keberanian, kedua tanganku perlahan bergerak membuka lemari itu.
Kriet, bruk! Aku jatuh terduduk di lantai. Badanku seketika gemetar hebat. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Keringat dingin mulai bercucuran. Segera aku menelepon 119 untuk meminta bantuan. Duk duk duk, terdengar suara langkah memasuki ruangan. Seketika jantungku berdetak kencang, aku ketakutan setelah mengetahui fakta paman tetanggaku itu. “Ada apa kamu kesini!?” glarr!
Suara paman itu membuatku membeku di tempat. Aku tak bisa bergerak dan berbicara, hanya bisa meneguk ludah. Paman itu menyeringai ke arahku sembari berkata, “Aku sudah tahu kau akan kesini. Jadi aku sudah siapkan sesuatu untuk menyambut dirimu.” Apa maksud ucapan paman itu? Paman itu mendekat ke arahku sambil masih tersenyum. Aku mundur selangkah demi selangkah menjauhi paman itu. “Nikmatilah penyambutanku, Jessi.”
Cerpen Karangan: Dinda Dewi Ig: @anggra_0597 Fighting. Jangan mudah puas dengan sebuah perjuangan, karena kepuasan tak ditentukan dari kedudukan-dinda22
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com