“Sampai kapan aku bisa bertahan?” pertanyaan itu terus mengalun dalam pikiranku. Kadang aku merasa depresi secara tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas. Pernah terbesit untuk pergi ke psikolog namun harganya mahal. Hingga saat ini aku terus berjalan luntang lantung melewati jembatan dan jalan raya. Badanku yang semakin tidak terurus menjadikanku terlihat seperti orang gila. Atau sebenarnya aku telah gila? Satu minggu yang lalu aku diajak main teater, berperan sebagai putri raja, sebelum akhirnya jadi begini.
Pada ujung jalan, yang ditumbuhi pohon-pohon lebat seorang lelaki tua menarik perhatianku. Ia sibuk manari-narikan kuasnya di atas kanvas yang berukuran sedang. Aku pun mendekatinya perlahan, berdiri dibelakangnya dan mengamati apa yang dilukisnya. Aku sangat heran, lukisan yang tidak biasa Sesosok tubuh terbaring, siluet perempuan di atas ranjang, tampak ringkih dan auranya gelap.
“Kau melihatnya?” lelaki tua itu menghentikan tarian kuasnya setelah membubuhi hitam pekat pada bagian kepala si perempuan. Ia menatapku sejenak lalu tersenyum. Lalu kembali fokus dengan lukisannya, dan membuka cat bewarna kuning. Di sebelah perempuan itu, ditambahkannya seikat bunga tulip yang cantik. Bewarna kuning.
“Ini lukisan siapa pak?” tanyaku padanya. Namun ia enggan untuk menjawab, hanya fokus dengan kuas dan cat. Tanpa kusadari aku ikut terlena saat melihat hasil lukisannya. Terkesan memiliki aura misterius. Ia mulai mengemasi barang-barangnya, memasukkan semua peralatan ke dalam tas.
“Ambillah, lukisan ini untukmu,” ujarnya sebelum pergi. Aku menerima lukisan tersebut dengan senang hati, karena di rumahku belum memiliki lukisan untuk dipajang. Lumayan untuk dijadikan hiasan. Lalu aku memutuskan untuk pulang ke rumah, setelah beberapa hari berkelana.
Sudah tiga hari lukisan itu terpajang di rumahku. Pelan-pelan hidupku membaik. Aku pun kembali bermain teater dan merasa lebih bahagia. Kualitas aktingku di dalam teater mendapatkan banyak pujian, setelah berperan sebagai putri raja, selanjutnya aku berperan sebagai penyihir.
Ratna, teman satu pementasanku datang ke rumah. Ratna adalah seorang teman yang baik, dia selalu memberikanku dukungan di saat mentalku tidak baik-baik saja. Ratna membawakan satu kotak donat, benar-benar perhatian.
“Ayi, duh kangen banget. Udah lama ngga mampir ke rumah kamu.” Ratna memelukku sebentar. Oh iya, namaku adalah Ayi Delifia, pemberian dari kedua orangtuaku yang telah bercerai lima tahun yang lalu. “Kalau kamu kesini, ngga usah bawa makanan sebanyak ini na, jadi ngerepotin,” ujarku. “Santai aja yi, ayok dimakan,” balasnya.
Aku dan Ratna mengobrol dengan asyik, mulai dari membicarakan pementasan teater yang akan datang sampai kepada hal-hal random. Namun, Ratna menyudahi pembicaraan ketika ia melihat ke arah dinding. Ia terlihat mengernyit dan terdiam sekian menit.
“Kenapa na?” tanyaku. “Aku baru tahu ada lukisan di rumah kamu,” ucapnya datar. “Ouh lukisan ini pemberian bapak tua yang aku temui di jalan. Lumayan buat pajangan.” “Kenapa ngga kamu buang aja sih?” “Aku ngga ada pikiran buat buang lukisannya, menurut aku lukisannya unik, walaupun agak seram sedikit,” ujarku sembari terkekeh.
Setelah aku mengucapkan itu, Ratna hanya diam. Raut wajahnya sangat berbeda saat ia datang. Aku bingung, kenapa mood Ratna bisa berubah begitu cepat karena lukisan ini. Aku berusaha mengajaknya mengobrol kembali, namun Ratna memilih pamit. Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.
Besoknya aku berangkat untuk latihan pementasan yang semakin dekat. Namun Ratna tidak datang. Aku coba tanyakan keberadaan Ratna kepada Doni, salah satu teman teaterku. Namun Doni juga tidak mengetahui kabar dari Ratna. Akhirnya kami memulai latihan walaupun tanpa kehadiran Ratna.
Aku memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Ratna. Aku mulai mencari-cari akun media sosialnya. Namun, Ratna tidak aktif di media sosial. Agak aneh juga menurutku, dia menghilang setelah kembali dari rumahku, lebih-lebih lagi dia sangat aneh ketika melihat lukisan itu.
Apa yang disembunyikan Ratna? Kenapa dia tampak tidak suka dengan lukisan itu. Berbagai pertanyaan terus mengalun dalam pikiranku.
Langkah pertama yang aku lakukan adalah mencari alamat Ratna, walaupun kami satu teater, namun aku belum pernah mampir ke rumahnya dan juga belum pernah bertanya dimana alamatnya. Aku bertanya kepada Doni, barangkali ia mengetahui alamat rumah Ratna, karena Doni termasuk orang yang dekat dengan Ratna.
“Don, kamu tahu ngga alamat rumah Ratna?” Doni menoleh ke arahku. “Alamat Ratna ya? Tahu. Kebetulan aku juga mau kesana, pengen tahu keadaan si Ratna,” ujarnya.
Kami akhirnya menuju rumah Ratna menggunakan motor. Letak rumah Ratna dan rumah-rumah yang lainnya terpisah. Rumahnya tidak terlalu besar. Aku pun turun dari motor dan mengetuk pintu rumah Ratna. Namun, tidak ada tanggapan sedikitpun dari yang punya rumah. Aku pun akhirnya masuk saja karena pintunya tidak dikunci. Doni pun mengikutiku untuk masuk ke dalam rumah Ratna.
“Kok banyak bunga tulipnya sih,” ujar Doni. Aku pun tidak menyangka, banyak terdapat bunga tulip di rumah Ratna. Bunga tulip yang sudah tidak segar lagi, bewarna kuning terang. Ratna tidak kunjung kami temui di rumahnya. Aku dan Doni pun pulang.
“Aneh banget ya rumah Ratna, banyak bunga tulipnya,” ujar Doni. Aku pun berpikir hal yang sama. Malam itu aku lalui dengan banyak tanda tanya.
Kabar Ratna tak kunjung menguap ke permukaan. Entah dimana keberadaannya. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Berbagai upaya telah aku lakukan bersama dengan teman-teman teater, namun hasilnya tetap nihil.
Ketika sedang asyik duduk di ruang tamu, mataku tertuju pada lukisan yang pernah diberikan oleh kakek tua waktu itu. Tersirat sesuatu yang aneh dalam pikiranku, lukisannya terdapat bunga tulip. Di rumah Ratna juga terdapat banyak bunga tulip. Aku dekati lukisan tersebut, dan membaliknya, seketika badanku berkeringat dingin, melihat satu nama, yaitu nama Ratna. Pikiranku kalut, teringat semua memori masa kecil dan cerita nenek tentang sebuah lukisan kematian.
“Selamat jalan, Ratna…”
Keesokan harinya, tersiar kabar bahwa Ratna ditemukan meninggal di kamarnya sendiri diantara bunga-bunga tulip. Memang tak dapat kucerna kejadian itu, bagaimana bisa aku dan Doni tidak melihat Ratna di rumahnya. Semua teman-teman teater heboh dan berduka sangat mendalam, aku hanya mematung dan terdiam.
Tak lama kemudian kepalaku pusing, badanku gemetar, sekejap aku lihat bayangan kakek tua sedang melukis seorang perempuan yang memakai kostum putri raja. Kakek itu tertawa terbahak-bahak seiring dengan mataku yang mulai terpejam.
Cerpen Karangan: RenaiLikeRain Blog / Facebook: Reni Putri Yanti
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com