Bel pertanda pulang sekolah sudah menggelegar lima belas menit yang lalu. Namun, Michele masih berada di sekolah sebab hari ini adalah jadwalnya untuk piket. Seusai meletakan alat kebersihan, Michele menuju ke perpustakaan untuk mengambil beberapa buku. Setelah mendapat buku yang dicari, dia segera keluar dari sana, sebab sekolah sudah terlihat sepi.
Saat melewati lorong kelas sepuluh, Michele melihat sebuah ruang yang tampak aneh. Sebuah ruangan yang terletak di antara kelas X A-4 dan X A-5. Pintunya yang berwarna hitam berbeda dengan pintu lain yang seragam berwarna coklat. Di atasnya tertulis sebuah kalimat yang membuat dahi Michele mengernyit bingung.
“Go or regret.” Michele mengeja tulisan itu, sebelum kembali berkata, “Sejak kapan ada ruangan seperti ini di sini?” Michele merasa penasaran dengan ruangan ini. Dengan perlahan, tangannya mencoba memutar kenop pintu. Rupanya, tidak terkunci. Perlahan tapi pasti, kaki Michele memasuki ruangan dengan pencahayaan minim itu. Dia memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh, menelusuri tempat yang sebelumnya tidak pernah dilihatnya.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu tertutup, diikuti suara seseorang. “Welcome, bad girl.”
—
Berita penemuan mayat di Groastov High school membuat gempar seantero sekolah. Sang petugas kebersihan tengah membersihkan sekolah tadi pagi, dan menemukan mayat Michele tergeletak di kamar mandi. Anehnya, terdapat luka tusukan pada perut bagian kanan gadis itu, yang menandakan bahwa ini adalah kasus pembunuhan. Garis polisi sudah terpasang di sana. Kegiatan pembelajaran dihentikan untuk sementara waktu, untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk lainnya. Petugas polisi juga melakukan penyelidikan terkait kasus ini.
Sementara itu, di grup sosial media. Para siswa Groastov High school sedang saling menyalahkan. Mereka menuduh bahwa ini adalah perbuatan dari Shilla, sebab gadis inilah yang terakhir kali bermasalah dengan Michele.
Geo: Bukankah kemarin Michele dipanggil BK bersama Shilla dan Chelyn? Glenca: Kau benar, kemarin mereka bertiga juga bertengkar di kantin. Josh: Aku rasa, pelakunya ada di antara mereka berdua. Chelyn: Apa yang kau katakan? Aku ini sahabat Michele, tidak mungkin aku membunuhnya. Josh: Kenapa tidak? Justru orang terdekatlah yang bisa membunuh secara diam-diam. Chelyn: Aku masih sedih sebab kehilangan sahabat baikku, dan kalian menuduh bahwa aku yang membunuhnya? Benar-benar tidak punya hati! 085xxxxxxxxx: Jika bukan Chelyn, apakah ini ulah Shilla? Dev: Sepertinya benar, lihatlah, dia tidak muncul, sebab dia takut aksinya terbongkar.
Tak tahan melihat tuduhan dari teman sekolahnya, Shilla memutuskan untuk mematikan ponselnya. Baru beberapa detik di letakan di atas meja, terdengar nada dering dari ponselnya yang berhasil membuyarkan lamunan gadis bersurai coklat ini. Sesaat setelah melihat nama yang tertera, Shilla segera menggeser tombol hijau.
“Halo.”
Di sinilah Shilla sekarang, di sekolah bersama Bu Glora—guru BK—dan juga dua orang polisi untuk dimintai keterangan. Dengan wajah menunduk, Shilla menjawab semua pertanyaan yang diberikan tanpa ragu.
“Jadi, kau dipanggil ke ruang BK bersama Michele kemarin?” tanya seorang polisi dengan name tag Jovan yang terpasang di dada kirinya. Shilla mengangguk, membenarkan pernyataan polisi itu. “Bisa kau jelaskan, masalah apa yang terjadi di antara kalian?”
“Waktu di kantin, aku sedang menuju kursi dengan minuman di tanganku, tiba-tiba Michele datang dari belakangku dan menabrak bahuku dengan sengaja hingga minuman di tanganku harus tumpah mengenai baju Chelyn yang berada di sampingku. Chelyn marah padaku, aku bilang bahwa Michele yang menabrakku, tapi keduanya malah menyalahkanku,” jelas Shilla.
“Apa kau berencana balas dendam kepada Michele? Pasti kau sangat kesal padanya.” Kini polisi yang satunya yang berbicara. Shilla mendongakkan kepalanya sebab terkejut mendengar pernyataan yang keluar dari polisi yang terpasang name tag William ini.
“Tidak. Sama sekali tidak. Sekalipun aku ingin balas dendam padanya, aku tak akan memiliki keberanian lebih untuk membunuhnya,” jawab Shilla dengan lantang.
“Yang dikatakan Shilla benar. Dia sering menjadi korban perundungan dari Chelyn dan Michele, tapi dia tak pernah sekalipun membalasnya. Melawan saja dia tidak berani, tidak mungkin dia berani membunuhnya,” ucap Glora membela Shilla.
Kedua polisi itu mengangguk, kemudian menyudahi sesi interogasinya. Kini tinggal Shilla dan Glora yang tersisa. “Ibu memang mengatakan agar kamu melawan ketika mereka sedang merundungmu, tetapi bukan membunuhnya,” ucap Glora yang membuat tubuh Shilla menegang tak percaya.
“Apa ibu juga menganggapku sebagai pembunuh? Apakah aku memang terlihat seperti seorang penjahat? Aku kira ibu membelaku tadi sebab ibu percaya padaku, rupanya … ibu sama saja seperti mereka. Menuduh tanpa tahu kebenarannya.” Shilla terkekeh, kini dirinya benar-benar terlihat sangat menyedihkan. Tak ingin mendengar tuduhan lain yang ditujukan kepadanya, Shilla segera beranjak menuju kediamannya, berharap mendapat ketenangan.
Malam harinya, Shilla memutuskan untuk menuju sekolahnya. Dirinya akan berusaha mencari barang bukti bahwa dirinya memang tidak bersalah. Shilla berusaha mengusir rasa takutnya. Dia tak ingin dituduh sebagai pembunuh. Tanpa Shilla sadari, ada seseorang yang bersembunyi di balik dinding yang berjarak lima meter dari tempatnya berdiri. Netra Shilla mulai berkelana, hingga sebuah benda kecil berkilau tertangkap netranya. Berlari mendekat, Shilla mengambil benda itu, yang rupanya adalah sebuah cincin.
“Bukankah ini cincin milik—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Shilla mendengar suara dari dekatnya. Saat dia menoleh, dia melihat di jarak sekitar dua puluh meter darinya, ada seseorang yang diseret paksa. Shilla segera bersembunyi, diam-diam mengikuti ke mana orang itu pergi. Rupanya, orang itu berhenti di toilet. Mengikat tangan korbannya dengan tali yang entah sejak kapan dia bawa.
“Siapa kau?!” Rupanya orang yang diseret adalah Chelyn. Sang pelaku melangkahkan kakinya memutari Chelyn. Suara ketukan antara high hills dengan lantai begitu menggema. Dia berjongkok di hadapan Chelyn sebelum akhirnya membuka masker. “B-bu Glora … apa yang kau lakukan?” Chelyn terkejut tatkala mendapati orang yang menyeretnya adalah gurunya. “Aku … hanya ingin balas dendam,” ucapnya dengan seringai menakutkan. “A-apa yang k-kau bicarakan?” Chelyn masih tak paham dengan maksud Glora. “Apakah kau Ingat Vey?” tanyanya sembari mengangkat dagu Chelyn dengan paksa. Chelyn terdiam, pikirannya melayang pada kejadian satu tahun yang lalu.
“Hei cupu, apa ini diarymu?” tanya Chelyn sembari memutar-mutar sebuah buku berwarna biru terang. Gadis berkucir dua dengan kacamata minus itu menghentikan langkahnya, membelalakkan matanya ketika melihat diarynya di tangan Chelyn. “Kembalikan!” seru Vey, tetapi justru mendapat gelak tawa dari Chelyn dan Michele. “Ambil saja jika kau mau!” Dengan tiba-tiba, Chelyn melempar buku Vey ke dalam kolam renang. Vey segera berlari berusaha menghentikan aksi Chelyn. Namun, langkahnya terhenti sebab dia teringat jika dirinya tak bisa berenang. “Kenapa kau berhenti? Kau tak mau mengambilnya? Atau perlu kudorong?” Tanpa diduga, Michele mendorong tubuh Vey hingga masuk ke dalam kolam renang. Vey terus mengangkat tangannya, berharap ada seseorang yang datang menolongnya. Namun, Chelyn dan Michele justru tertawa dan meninggalkan Vey begitu saja.
“Pastinya kau ingat. Vey yang kalian bunuh itu, dia … putriku.”
Tanpa sadar, Shilla yang sedari tadi mendengarkan percakapan kedua orang ini terjatuh lemas, terkejut mendengar penuturan dari Glora. Sementara Glora, dia tersenyum kala melihat adanya Shilla. “Rupanya kau di sini juga, ini akan semakin menyenangkan.”
“Jadi, a-apa kau yang sudah membunuh Michele?” tanya Shilla dengan nada bergetar. Glora mengangguk santai, kemudian melanjutkan, “Dan sekarang, giliranmu, Chelyn.” Entah dari mana, tiba-tiba di tangannya ada sebuah pisau yang ujungnya langsung dia arahkan pada Chelyn. “Jangan!” pekik Shilla dan Chelyn bersamaan, ketika melihat Glora semakin mendekatkan mata pisaunya pada leher Chelyn. Glora menghentikan pergerakan tangannya, menatap kedua gadis itu secara bergantian.
“M-maafkan a-aku …. Aku t-tidak tahu jika Vey t-tidak bisa berenang,” ucap Chelyn gemetar. “Terlambat! Kau kira, dengan kau minta maaf, Vey akan hidup kembali?!” tangannya kembali digerakkan, semakin mendekatkan mata pisaunya pada leher Chelyn. “Tidak, aku mohon jangan! Vey sudah tenang di sana. Dia pasti sedih melihat ibunya menjadi seorang penjahat,” ucap Shilla, berharap agar Glora menghentikan aksinya. “Setidaknya, mereka merasakan apa yang Vey rasakan.” Glora tersenyum licik, sebelum akhirnya benar-benar menancapkan pisaunya tepat di leher Chelyn. Setelahnya, Glora mencabut paksa pisaunya, meninggalkan sungai darah yang mengalir dari sana. Shilla berteriak histeris, dengan susah payah, dia berdiri dan segera berlari menghampiri Chelyn yang sudah ambruk, pun dilumuri cairan pekat berwarna merah.
“Kenapa kau peduli padanya? Seharusnya kau senang. Berkatku, tidak akan ada yang merundungmu lagi!” seru Glora.
Shilla tak memedulikan Glora. Dirinya masih berusaha menekan bekas tusukan pisau di leher Chelyn, berusaha agar darahnya tak keluar terlalu banyak. “Chelyn, bertahanlah. Aku akan menelepon polisi, kau bertahan, ya?” ucap Shilla. Tangannya yang gemetar berusaha mengambil ponsel, menekan beberapa digit nomor, dan mulai meneleponnya. Mendengar kata polisi, Glora terlihat panik dan segera melarikan diri dari sana.
“Ada percobaan pembunuhan di Groastov High school, tepatnya di toilet siswa. Korban memerlukan pertolongan medis. Pelakunya guru BK, dia melarikan diri waktu tahu aku menelepon polisi.” Shilla segera mengatakannya dengan lantang.
Tubuh Shilla sedikit terlonjak ketika tangan Chelyn bergerak, menggenggam tangannya. Bibirnya terlihat mulai bergerak, berusaha mengucapkan beberapa kata. “M-maafkan aku s-sudah j-jahat pa-padamu. S-se-karang k-kau tak p-perlu takut di-run-dung la-gi.” “Tidak, jangan bicara seperti itu. Kau harus bertahan, aku mohon. Bertahanlah,” ucap Shilla dengan air mata yang mulai keluar.
Tak lama kemudian, terdengar suara sirene. Shilla segera berteriak agar para polisi mengetahui di mana keberadaannya. Tubuh Chelyn segera dibawa ke ambulance, Shilla mengikuti di belakangnya, sebelum pandangannya berubah menjadi gelap.
Shilla mengalami trauma. Mentalnya terguncang sebab menyaksikan pembunuhan tepat di depan matanya. Sementara Chelyn dinyatakan tewas, sebab tusukan pisaunya terlalu dalam dan harus kehilangan banyak darah. Para polisi berhasil menangkap Glora. Dia dinyatakan memiliki gangguan jiwa, sehingga harus menjalani rehabilitasi di rumah sakit kejiwaan.
“Vey … apa kamu sudah bertemu Michele dan Chelyn di sana? Apa kamu sudah menghukum mereka? Bukankah ibumu ini sangat keren? Kau harus menghukum mereka! Kau harus menghukumnya!”
Cerpen Karangan: Imeldavrita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com