Kantor kepolisian Aachen semakin dekat, si sopir polisi memarkir mobil di halaman yang luas. Kami semua turun. Dua orang polisi kekar memegangi bahuku, dan polisi bercambang lebat berjalan di depanku dengan sombongnya, seakan ingin mengumumkan keberhasilannya menangkap si pelaku kejahatan, yang nyatanya keliru.
Kami baru saja sampai di ruang depan kantor, ketika ada yang menyapa, “Hallo, Antonio!” Polisi bercambang lebat menoleh, “Hallo, Von Bram. Ach, hallo juga Bondan. Lihatlah, aku telah menangkap si pelaku pembunuhan itu!” Inspektur Bram menatapku dengan terkejut, lalu pandangannya beralih ke Antonio. Detektif gemuk yang biasanya lembut dan santai, kini meledak marah. “Yan Sebastian?! Tak mungkin dia, Antonio!” “Aku sudah mendapatkan buktinya,” kata Antonio sambil bertepuk dua kali.
Seorang anak buahnya maju sembari membawa sebuah kotak… Kotak biolaku! Antonio tersenyum saat mengeluarkan biolaku dan menunjuk inisial yang terukir pada alat musik itu. “Ya.S,” ucapnya. “Inisial ini adalah bukti yang cukup untuk memberatkan posisimu, kan, Yan?” “Di mana Anda menemukannya?” “Kau masih ingat kan, kalau kamarmu berbatasan dengan taman rumah Afro? Di luar kamarmu, terdapat semacam lorong yang menjadi jalan masuk ke ruang bawah tanah. Sewaktu sampai di sana, aku menemukan biola ini di samping seorang pelayan tua yang pingsan. Sekarang, apa yang akan kau katakan?” “Dengar, Fritz Antonio! Kau tidak bisa menahan Sebastian hanya karena inisialnya! Satu bukti saja tidak cukup! Perlu lebih dari-” “Akan kucari bukti lain, Bram! Jangan mentang-mentang kau sudah naik pangkat, lalu kau berbuat semaumu! Bagaimana kalau Yan benar-benar bersalah? Aku akan mencari bukti lain yang dapat-” “Sudah kutemukan! Aku ingin memberitahumu tadi, tapi kau sudah pergi! Barang bukti itu dibawa Bondan, namun terlebih dahulu kita akan mendengarkan kesaksian dari si pelayan Afro sebelum bertindak buru-buru. Si pelayan masih berada di rumah sakit saat ini, jadi ayo kita bergegas!”
Sepuluh menit kemudian, kami tiba di salah satu rumah sakit Aachen. Inspektur Bram menuju ke meja resepsionis. “Guten Abend (selamat sore). Kami ingin menengok Friedrich Gutenberg. Dapatkah Anda memberitahu kami di kamar mana dia dirawat?” “Gutenberg?” si resepsionis perempuan mencari dalam daftar nama pasien. “Hm, hier ist er (ini dia). Lantai satu, pintu keempat sebelah kiri.” “Danke (Terima kasih).”
Sesampainya di sana, terlihat seorang dokter yang keluar dari kamar Gutenberg. Inspektur Bram bertanya, “Permisi, Dokter. Bagaimana keadaan Gutenberg sekarang?” “Dia sudah siuman dari pingsannya. Denyut nadi dan tekanan darahnya normal, tak ada keluhan apapun. Silahkan jika ingin menengok, tapi batas pengunjung maksimal empat orang.” “Baik, Dokter.”
Aku, Antonio, Bondan, dan Inspektur Bram masuk ke kamar. Kulihat seorang laki-laki yang berambut putih dan sedikit dengan kulit berkeriput sedang berbaring di atas tempat tidur, memandang langit-langit. “Hallo, Gutenberg,” sapa Inspektur Bram. “Wie geht’s? (Apa kabarmu?)” “AFRO!” seru si pelayan tiba-tiba. Dia langsung duduk tanpa memedulikan tulang punggungnya yang rapuh. “Di mana anak itu sekarang? Dia harus dihukum!” “Tenang dulu, Gutenberg. Ceritakan pada kami apa yang kau ketahui tentang peristiwa pembunuhan Novaya.”
“Kemarin malam hari Selasa/15 Juni saya tidur agak larut, sekitar jam 10 malam. Lalu, saya mendengar suara cangkir pecah di dapur, dan saya bangun. Saya melihat Afro membawa sebuah biola dan sebuah pisau tajam menurut keluar rumah. Karena mencurigakan, saya mengikutinya diam-diam dan sampai di ruang bawah tanah. Di sanalah, saya melihat Afro yang memainkan biolanya dengan nada minor, seram juga mendengarnya. Dan dia mengucapkan beberapa kalimat kata dengan lirih, kedengarannya seperti ‘… tak ada jalan lain, kak. Maafkan aku.’ Lalu dia membunuh Novaya! Barangkali karena Afro baru menyadari kehadiran saya, lalu dia memukul kepala saya dengan biola. Saya jatuh pingsan dan akhirnya tersadar sekarang.”
“Ach ja… Begitu rupanya. Kau mendengar sendiri, kan, Antonio?” “Ja, Bram,” gumamnya kesal. Entah bagaimana, aku sangat senang melihat wajah cemberut Antonio. “Tapi aku belum melihat bukti-bukti yang sudah kau dapatkan,” kata Antonio.
“Buka kopermu, Bondan.” “Siap, Pak!” Bondan mengeluarkan sebuah foto Novaya, sebuah pisau berlumur darah, dan entah masuk akal atau tidak, tapi ini jelas sebuah naskah drama.
“Begini…” Inspektur Bram memulai penjelasannya. “Alasan Afro membunuh Novaya dikarenakan Afro tak mau berbagi warisan dengannya. Maka, Afro merencanakan pembunuhan kakaknya dengan menulis naskah drama tragedi ini yang tadi kutemukan di kamar Afro. Pastinya penulisan naskah ini memakan waktu yang cukup lama, namun akhirnya selesai juga sebelum tanggal 15 Juni.
“Dan pada hari Selasa/15 Juni, kebetulan sekali orangtua Afro akan berlibur ke luar negeri. Lalu, dia mengunci kakaknya di gudang bawah tanah tanpa ketahuan, setelah itu mengantar orangtuanya ke bandara, dan dia menjemputmu, Yan. Dia mungkin telah menduga bahwa kau akan membawa biola, jadi bereslah sudah. Dan setelah kau tidur malam itu, dia menyelinap ke kamarmu untuk mengambil biolamu itu. Seperti pernyataan Gutenberg, Afro mengambil pisau dan menuju ke ruang bawah tanah. Dan saat itulah, kukira, pementasan dramanya. Kemudian Afro memukul Gutenberg, lalu menyeret mayat Novaya dan membawanya ke kamarmu, Yan.
“Aku tahu karena ada tetesan darah mulai dari lorong bawah tanah sampai di ambang jendela kamarmu. Bondan dan aku menemukan foto ini di kamar Afro. Foto ini sebelumnya sudah ditandai silang dan dipotong kecil-kecil. Jadi, kami menyatukannya kembali dan merekatnya dengan selotip. Foto ini menunjukkan bahwa Afro membenci Novaya.
“Jadi, Antonio, lepaskan borgolnya.”
Aku benar-benar tertawa melihat Antonio yang semakin cemberut saat menuruti perintah Inspektur Bram. Antonio kalah telak!
“Pak Inspektur, apakah Anda tahu di mana Afro?” tanyaku saat kami sudah berada dalam mobil, perjalanan menuju ke kantor kepolisian. “Di sel tahanan kami, tentu saja. Tadi sore, aku telah menangkapnya sebelum Antonio pergi ke rumahmu. Sekitar jam 16.30 saat masih melakukan penyelidikan di Karottestrasse, aku melihat anak laki-laki berambut pirang itu di undakan depan. Dia bersedekap, bahkan tidak bersusah-susah bersembunyi. Karena aku yakin dengan bukti yang kudapatkan, aku bertanya apakah benar dia pelaku pembunuhan. Dia mengakuinya. Maka aku meringkusnya dan memasukkan Afro ke dalam mobil, dijaga ketat oleh polisi-polisi lain. Lalu, aku hendak memberitahu Antonio, tapi dia buru-buru pergi. Dan terjadilah insiden kecil ini yang memalukannya sendiri.” “Oh, begitu. Saya hanya ingin bertemu dengan si rambut kuas- eh maksud saya Afro.”
“Kita sudah sampai.” Hari sudah beranjak gelap ketika kami semua turun dari mobil. Aku mengikuti Inspektur Bram dan Bondan ke sel tahanan. Kami melewati koridor yang suram dan berpenerangan remang-remang. Di ujungnya, terdapat sebuah sel beralaskan semen yang hanya ditempati satu orang.
“Sepertinya ini bukan tempat tahanan biasa, Pak Inspektur.” “Memang bukan. Aku menempatkan Afro di sini karena dia akan masuk koleksiku. Jarang sekali aku menangkap pelaku kejahatan yang masih semuda dia, dan cara pembunuhan yang digunakannya tidak biasa. Coba kalau kau membaca naskah dramanya,” Inspektur Bram menggelengkan kepala saking terpesonanya. “Walaupun tokohnya hanya dia dan Novaya, penulisan dialognya benar-benar berkesan dan adegan yang dilakukannya sangat sadis. Dia adalah dramawan muda yang sangat berbakat, hanya saja ada kemungkinan dia kerasukan roh jahat, jadinya begitulah… Ach, akan kutinggalkan kalian sebentar.”
Aku mendekati jeruji besi, menatap Afro yang dari tadi duduk dan memejamkan matanya. Aku merasa cemas kalau-kalau aku yang menjadi korban berikutnya. Tapi sebenarnya, jauh dalam benakku, ada rasa dukacita yang mendalam dari seorang sahabat.
“Afro?” Dia membuka matanya perlahan. Menatapku. “Yan?” Afro bangkit berdiri. Dia mengenakan setelan bergaris hitam putih khas seorang tahanan. Dia menghampiriku.
“Kenapa kau tampak murung, Afro?” “Kurasa aku mendengar Dewi Melpomene yang memainkan drama sedihnya. Tidakkah kau mendengarnya, sahabatku? Bahkan dewa-dewi yang menontonnya pun ikut menangis pilu…” “Aku serius, Afaro. Jadi, itu benar kau yang membunuh kakakmu sendiri?” Dia berbalik ke belakang, lalu menoleh. “Ya, memang.” Tanganku mencengkram jeruji besi, ingin sekali melepaskan besi itu dari engselnya dan melemparnya jauh-jauh.
“Kenapa kau melakukannya? Mari kita bicarakan persoalan ini sebagai sesama laki-laki.” “Maafkan aku, Yan Sebastian. Tapi ini tak ada hubungannya dengan-” “Tapi kau sahabatku, Afro! Sudah sepantasnya kau berbagi cerita denganku. Dan, kupikir, setelah semua hari yang telah kita lewati bersama…”
Afro berbalik mendadak, air mukanya berubah. Dari pengalamanku, aku menangkap sinyal bahwa dia sedang geram, khususnya menyangkut hal yang sensitif baginya. “Kau juga sahabatku, Yan, tapi impian kita berbeda. Kau terobsesi dengan Sherlock Holmes dan aku yang mengagumi William Shakespeare, namun ingatkah kau bahwa kita tidak pernah bertengkar? Kita justru mengobrolkan hal-hal kecil lainnya, dan itu selalu seru. Biarkan apa yang sudah terjadi, Yan, aku telah menerimanya. Jangan mengira bahwa aku tak sanggup menghadapi kenyataan ini, karena toh aku telah menduga bahwa aku akan berakhir di sini.”
“Afro… Kalau saja di dunia ini tak ada yang namanya Sherlock Holmes ataupun William Shakespeare, akankah kita menjadi teman yang sebenarnya?” Afro tersenyum sedikit, “hanya ada kita dan langit biru, maksudmu?” “Jangan membuatku terharu, pembunuh.” “Kau duluan yang mulai, kutu buku.”
“Kapan kau akan dibebaskan?” “Memangnya kau akan merindukanku, ya? Kenapa kau tidak masuk ke sini saja dan menemaniku sampai saatnya dikeluarkan?” “Dasar bodoh,” umpatku sambil tertawa. “Salahmu bertanya.” Aku mengembuskan nafas. Setidaknya aku lega karena Afro telah menerima nasibnya.
“Bis spater (sampai jumpa), Afro.” “Bis spater, Yan. Aku akan merindukanmu.”
Cerpen Karangan: Fatiha Wardiya Facebook: Fatiha Wardiya Masih bersekolah di MAN 2 Yogyakarta