Di siang hari. Langit nampak murung berselimut mendung. Hawa dingin merengketi kedua tubuh yang memiliki ikatan batin dalam persahabatan. Namanya Pii dan Gempi. Batang kaki mereka tengah menyusuri gang Argabel.
“Elo tahu gak cii? Gosip yang lagi heboh di gang Argabel.” Ujar Gempi. Perjaka cantik yang satu ini memang suka ngerumpi alih-alih update informasi. “Enggak. Gue enggak tahu. Emang apa?” Tanya Pii. Rasa penasarannya mulai terpancing. “Gini ya, Cin. Ekuh akan jelasin padamu, Cucu dari pemilik kedai yang ada di ujung gang Argabel. Dua hari yang lalu meninggal. Akibat jatuh dari kereta saat dia ingin pulang sekolah.” Terang Gempi seterang-seterangnya. “Innalilahi wa inna lillahi rajiun.” Pii merapal kalimat Istirja.
“Terus apa yang bikin gempar gang Argabel?” Lanjut Pii ke inti persoalan. “Kuburan Almarhum. Sampai sekarang belum ditemui warga.” Tandas Gempi intens. Di dalam perjalan mulut Pii bergeming, tetapi batang otaknya bekerja keras mengais solusi untuk mematahkan masalah segenting apa pun. Jika memang benar kenyataannya seperti itu. Pii pemuda berlian inilah yang akan menyibak tabir gelap.
Di menit-menit berikutnya. Suara guntur terdengar dari kejauhan seraya hujan tipis bak salju turun perlahan. Mereka saling berlarain menghindari batang-batang hujan yang semakin deras. Gerakan kaki mereka tunggang langgang mencari tempat untuk berteduh. Dalam pelarian bak lomba maraton itu, jelas, Pii lebih unggul karena Gempi tidak bisa berlari kencang. Terlihat sejoli kakinya meliuk-liuk seperti model yang sedang mengikuti audisi. Ya, benar. Gempi adalah sosok seorang feminin disebabkan faktor biologis.
Sementara itu. Saat langkah kaki mereka membelah jalan. Suara Gempi terdengar merintih kesakitan akibat terperosok genangan air. Medan jalan yang mereka tempuh sangat licin.
“Awwww… Awww Pii. To…Tolong. Aww … tolong aku.” Gempi merengek kesakitan. Pii tak henti berlari sembari kepalanya menoleh ke belakang. Ia tergelak melihat tubuh lelaki feminin itu ngejelunge. Baca: Terjengkang. Meski Gempi selalu dijadikan bahan tertawaan, tapi Gempi tidak marah. Itulah simbol persahabatan mereka.
Terkadang terdengar aneh mentertawakan seorang yang sedang dihimpit musibah. Namun, lain halnya dengan Gempi. Perbuatannya memang seringkali mengundang gelak tawa. Jika tawa mengalirakan listrik. Pii percaya, dia sudah menyalahkan ribuan lampu di pusat desa.
Pada akhirnya, pelarian Pii terhenti di beranda kedai tua yang terletak di penghujung jalan gang Argabel. Tatapan Pii mengurung tubuh Gempi tengah berjalan bak model ke arahnya. Juga terlihat dari ekspresi wajah Gempi seperti menyimpan hal yang ingin ia utarakan kepada Pii. Apalah entah? Selintas kemudian. Pii tersenyum sumringah menyambut kedatangan Gempi dengan seluruh pakaiannya basah total.
“Pii. Menong janjimu? Kamu, kan, sudah dapat beasiswa. Katamu mau teraktirku makanan.” Diseraki celoteh yang sedari tadi Gempi pendam. Sembari menepuk-nepuk lengan baju melenyapkan dari gelimang dosa, Eh. Noda, kotor. “Jangan sekarang Gem. Gue lagi boke.” Pii tahu lawan bicaranya bukan manusia yang gampang menyerah dalam mencecar apa yang dia hendaki. “Ehh Cwiiin, kalau janji itu sama saja hutang. Secepatanya elo harus bayar.” Pii tercenung sesaat. Seonggok otaknya bekerja keras memproduksi akal untuk akhiri seutas janji. “Oke. Elo mau makan apa? Tapi jangan lebih dari sepuluh ribu.” Tawarnya. “Aih cuma sepuluh ribu. Aku mau makan apa? Dapat apa?” Pertanyaan itu membuat Pii memutar otak lagi, Tapi hanya sebentar. Dia sudah tahu jawabnya. Setelah menoleh ke arah belakang. Pandangan Pii terpana pada tulisan kedai tua tertores di selonjor papan berdiri tepancag di beranda. Kedai ini hanya menjual makanan sederhana, tapi murah. Apa? Seblak!
“Gimana kalau gue teraktir makan seblak?” Pii menunjuk kedai tua yang berada di depannya. Padangan Gempi melesak ke dalam ruangan kedai, terlihat fasilitas di kedai tua itu cukup lengakap mulai dari: Gelas, piring, meja, kursi, pintu, jendele. Semuanya ada lengkap.
Suasananya juga selalu ramai dengan pengujung. Bagaimana tidak? Olahan bumbu yang tercampur dalam bahan seblak memiliki citra rasa dengan ciri khas tersendiri. Entah campuran bumbu apa yang menguatkan rasa hingga melekat kuat di dasar lidah membuat para tamu tergila-gila.
Seperti sekarang ini di dalam ruangan kedai sudah disesaki pengujung. Bahkan ada pula yang menjadikannya langganan saban hari. Apakah kamu mau mencicipi rasa seblak terenak di desa ini?!
“TIDAK … TIDAK … AKU TIDAK MAUUUU…” Teriak Gempi membelah jalan setapak. Menolak tawaran pii. Dia heran tidak biasanya. Gempi bersikap begitu. Seperti ada sesuatu yang membuat bantinya berasa gelisah. Kalau pun ada hal yang janggal, Pii harus tahu lebih dalam. Prinsip.
“Tumben lo enggak mau? Biasanya kalau ditawarin makanan elo enggak pernah nolak.” Pii mengalihakan pandangannya ke arah Gempi. Terlihat Wajahnya nampak pucat. Bukan karena suhu dingin merengketi tubuhnya, Melainkan didekami rasa ketakutan sangat.
Pii mengikuti arus pandangan Gempi yang membuat mengusap pundaknya. Di sana. Di dalam ruang kedai tua. Banyak orang berkerumun tengah menikmati potongan belulang. Ukurannya hanya sepanjang rok*k. Bukan hanya itu. Mereka juga menyeruput kuahnya hingga tak tergenang di mangkuk cap ayam jago.
Diambang ketakutan kian meraja dalam jiwanya. Gempi memutuskan memalingkan tatapanya ke lukisan sang ayam jago yang dijadikan transisi untuk meredam perasaan kekalutannya.
“GEMPI.” Panggil Pii sembari menepuk bahunya. Jelas tujuannya untuk mengagetkan Gempi. Dengan sepontan ia melantangakan suara melebihi gemerik hujan.
“KUKURUYUUUUK! Eh. Ayam” Gempi latah.”
Pii menutup mulutnya menahan gelak tawa. Gelombang emosi yang bergulung di jiwanya membuat genangan tipis mengambang di pematang matanya, meluap secara perlahan. Air mata kebahagiaan. Hanya hitungan detik kebahagiaan itu lenyap ditelan rasa tegang. Rupanya percakapan mereka mengudang kedatangan seorang nenek. Padangan mereka mengurung nenek itu tengah berjalan menghampirinya. Selangkah, dua langkah dan seterusnya.
Sebentuk sosok seorang nenek mulai terlihat jelas. Wajahnya teramat pucat. Juga sejoli pipinya mengedur. Kerutan yang menghiasi wajahnya seumpa gulungan ombak. Pun tubuhnya membungkuk dan posisi lengannya berada di belakang seperti menampuk suatu.
Sesaat kemudian. Nenek yang membuat nyali Gempi, menyusut, mengecil. Dia berada tepat di hadapan Gempi Sekarang! Dalam hati Gempi yang didekami ketakuan. Dia berupaya memberanikan jiwanya membuka sapaan dengan salam.
“Assalamualaikum, Nek.” Seruan salam menyeruak dari rongga mulut Gempi. Seruan indah itu mengalirkan getaran kuat kepada sang nenek. Membuat kedua bola matanya membulat kecang kian berang. Seolah Gempi adalah mangsanya yang ingin ia buru. Gempi semakin ketakuan hampir pipis di celana.
Saat Gempi berhadapan dengan perempuan yang berumur lebih dari satu abad. Tiba-tiba si nenek menyodorkan sebungkus plastik hitam. Di dalamnya terdapat kudapan favorit. Seblak. Diambang kekhawatiran yang memberangus jiwanya. Sungkan ia menerima apa yang nenek itu beri. Namun, Pii mendesaknya sebelum sang nenek menjadi lebih sangat marah.
“Ambil Gem. Ambil. Elo mau ditelan hidup-hidup.” Sergah Pii. Namun hati kecilnya tak sudi jika terjadi apa-apa pada sahabatnya. Batin Pii menjerit histeris. “Jika nanti terjadi apa-apa padamu. Aku orang pertama yang akan menolongmu.” Kepala Gempi mengangguk. Serta lengannya bergetar kecang saat meraih sebungkus plastik hitam. Setelah Gempi berhasil mengambilnya. Sosok seorang Nenek yang berada di hadapan mereka pun pergi memasuki kedai tua.
Batang-batang perak yang jatuh dari awan membasahi bumi kini sudah sirna. Mereka mulai meninggalkan kedai ini. Tetapi dalam perjalanan pulang. Tempurung kepala mereka sedang disengat tanda tanya besar: Apakah tujuan sang Nenek memberi Gempi kudapan lezat ini?
Sesampainya di jalan bercabang mereka terpisah. Gempi sedirian mengayunkan kakinya. Hanya ditemani bayang-bayang seorang nenek berkecamuk dalam pikiran. Merambat kedalam hatinya membuat ia gelisah. Sesekali Gempi menoleh ke belakang ia berasa seperti ada mahluk yang mengikuti.
Hati kecilnya merapal larik-larik surah yang terdiri enam ayat. Annas. Terdapat di dalam kitab suci Al-Quran. Dalam perjalan dia tak pernah luput mengulaingi surah Annas hingga dia sampai di depan rumah. Kakinya terhenti. Gempi membenturkan penglihatannya ke pintu. Ia heran melihat pintu rumahnya terbuka sejengkal. Padahal sebelum pergi ke sekolah. Dia sudah menutup rapat. Dia tahu di dalam rumahnya tak berpenghuni kedua orangtuanya dari azan subuh sudah berdagang di pasar. Saat menjelang siang. Mereka merawat kebun teh milik juragan.
Kembali lagi pada Gempi yang sedang menyiapkan nyali untuk membunuh segala sugesti mahluk Gaib tengah besemayam di batang otaknya. Setalah itu Gempi mengenda-endap mendekati pintu. Begitu saat dia masuk.
“GEMPII” “ESEMPAK. EKANCUT” Gempi latah lagi ia buat. Gempi kaget hampir jantungnya melopat ke tenggorokan. Entah sebentuk mahluk apa yang menyerukan namanya. Tak terlihat.
Gempi baru sadar akibat tubuhnya berjengit bengis. Plastik yang dia genggam terlepas serta isinya bersekaran di lantai. Gempi mengusap pundaknya yang meremang melihat batang-batang belulang tercecer di situ. Namun pada saat Gempi hendak membersihkannya.
“JANGAN SENTUH BELULANGKU” Suara itu memekak di telinga. Berdengung-dengung di dalam kepalanya serta melenyapkan alam bawah sadar. GEMPI PINGSAN.
—
Malam bertandang. Sayup-sayup Gempi terjaga. Pandangannya meguning membentur langit-langit. Entah di mana sekarang dia berada. Apakah jiwanya sudah berpindah ke alam lain? Jika memang benar. Gempi ikhlas. Berlapang dada.
“Udah sadar lo. Kenapa bisa pingsan?” Celoteh dalam jenis suara buat Gempi tersentak. Ia menoleh ke inti suara yang terdengar di sampinganya. Gempi tersenyum berbarengan dengan air matanya berderai-derai. Ketika melihat sosok Pii. Gempi merasa bahagia juga bersedih pada saat yang sama.
Di kolong langit malam berhias bintang dan rembun. Dia menceritakan peristiwa apa yang sudah ia alami kepada Pii. Saat di pertengahan alur cerita. Kedua bola mata Pii terbelalak serta mulutnya menganga. Di balik selonggok otaknya. Pii mengambil kesimpulan. Dia percaya bahawa kudapan seblak yang menjadi makan favorit sudah dicampur dengan potongan belulang seorang cucu yang terjauh dari kreta. Astaghfirullah!
Setelah usai bercerita peristiwa yang hampir merenggut nyawa Gempi. Lalu Pii tahu apa yang harus ia lakukan untuk menyibak tabir gelap dengan kecerdasannya.
—
Mereka bergegas menyambangi kedai tua yang berada di depan gang argabel. Namun ketika mereka berada persisi di depan pintu. Gempi putus asa saat menatap pintu yang terkunci dengan gembok. Tetapi tidak dengan Pii. Dia sudah membaca situasi kesulitan yang bakal mereka terima. Selintas kemudian dia mengguyur gembok dengan zat asam. Tak terlalu banyka waktu yang terbuang untuk membuka pintu. Gempi melayangkan tendanganya ke arah gembok meragakan seperti aktor di film action.
“Aaaawww. Awwwww… Aaaawwww kaki gue.” Ujung kaki Gempi berasa sakit. Ia melompat-lompat sembari memegang kakinya. “Nah, kan. Kebanyakan gaya banget sih jadi orang. Hahaha” Heran di situasi genting seperti ini. Gempi masih bisa buat Pii tertawa.
Dalam kurun waktu tiga menit. Selonggok Gempok dapat Pii retas. Saat mereka masuk ke dalam ruang kedai. Tipis-tipis aroma bau busuk bangkai mereka hirup. Entah di mana sumber bau busuk yang menguar dari belulang. Mereka mulai mencari melalui indra pernafasannya.
Keempat batang kaki Gempi dan Pii berdiri terpancang di depan lemari pendingin. Aroma bau busuk terasa semakin pekat dan kuat. Tanpa aba-aba saat Pii membuka pintu kulkas. Di situ, di dalamnya. Terlihat jelas selonjor belulang. Mereka berdua berjengit kaget. Berbarengan bau bangkai yang sangat busuk dan pekat menguar dari dalam kulkas ini. Gempi dan Pii hampir muntah ia buat.
Mereka cepat bertindak meraih apa yang hendak mereka cari. Hitungan super detik. Sejoli kedua sahabat bergegas untuk mengubur sisaan belulang di tanah lapang. Lubangannya pun sudah Pii keruk sebelum menolong Gempi.
Sehari kemudian. Setelah selesai memproses penguburan belulang. Ada selembar kabar duka bahwasanya seorang nenek pemilik kedai meninggal. Sepulang sekolah Pii dan Gempi bergegas pergi untuk takziah. Sesampainya mereka di kedai itu, di seberang mata Pii terlihat para pelanggan saling berdesaka memasuki pintu kedai. Satu peristiwa yang sangat memilukan tak akan mereka lupakan sepajang masa.
Belulang sang nenek menjadi perebutan. Mereka percaya kalau belulangnya lebih mujarab bisa membuat makan menjadi lebih lezat. Dan mereka juga percaya. Kalau menyimpan belulang sang nenek pastilah dagangan mereka laris manis dan buat mereka tajir melintir.
Cerpen Karangan: Faisal fajri Blog: xfaisalfajri.WordPress.com