Pagi hari yang penuh awan di kota New York, tahun 1979.
Seorang pria berusia 30-40 tahunan sedang berjalan tak menentu. Orang-orang memanggilnya Jack. Mereka menamai sosok itu demikian sebab ia terkadang mengunjungi kamar misterius bernomor 7 dan bertuliskan nama “Jack” di plakatnya. Kamar tersebut berada di Coney Island, dan terkadang dikunjungi orang-orang misterius dengan pakaian yang sama seperti Jack.
Tubuhnya tinggi dan tegap serta diselimuti mantel tebal dan celana panjang berwarna hitam. Jack terus berjalan, berjalan, dan akhirnya mencegat taksi kuning Dodge Monaco lansiran 1974. Kemudian, ia naik taksi tersebut yang dikemudikan pria berusia 38 tahun yang bernama Julien Johnson.
“Selamat pagi, Pak.” sapa Julien dengan ramah. “Selamat pagi, juga. Tolong antarkan saya menuju Coney Island.” “Baik, Pak. Akan saya antarkan Anda.”
Kemudian, Julien menjalankan mobilnya menuju Coney Island. Sembari mengemudi, ia mencoba mengakrabkan diri dengan Jack. “Anda warga Coney Island?” “Tidak, Pak. Saya ada perlu dengan seseorang di sana. Kami janjian pada pukul 11.00” “Ooh… Janjian dalam rangka apa?” “Jangan tanya lagi!”, seketika nada bicara Jack menjadi ketus.
Julien terhenyak mendengar perkataan Jack. Akhirnya ia fokus mengemudikan mobilnya. Sementara, Jack mengambil koran yang pada bagian headline-nya memuat laporan tentang berita konferensi pers Presiden Jimmy Carter mengenai krisis Kedutaan Amerika Serikat di Tehran.
Di Coney Island, taksi itu tiba dan menurunkan Jack seperti yang diminta. Julien berhenti tepat di depan kamar flat misterius nomor 7. Kamar itu terlihat kumuh, tidak terawat, dan sekilas cukup angker. Tanaman hias yang mengerubuti halaman depan kamar tersebut tampak layu. Jack membayar dengan uang 3000 dolar, padahal ongkos taksi hanya sebesar 25 dolar.
Julien kaget. Akan tetapi, ia tetap berpikiran positif bahwa mungkin uang sebesar itu bisa dipakai untuk apapun yang dia inginkan. Kemudian, Jack mengayunkan tangan sebagai isyarat agar Julien segera meninggalkan tempatnya, lalu Julien menurutinya. Dengan sengaja, Jack menjatuhkan kertas yang kondisinya telah sobek namun mengandung suatu pesan inti, yaitu bertuliskan angka 7.
Di pangkalan taksi, Julien bercerita kepada teman-temannya, yaitu Leroy Kowalski dan Harry Delgetti. Dengan panjang lebar dengan raut wajah yang sedikit tegang, ia menjelaskan sikap yang tidak biasa dari penumpangnya hari ini.
“Begitulah ceritanya, teman-teman. Rasanya ada yang tidak beres mengenai sikap penumpangku tadi siang. Bahkan, dia memberiku 3000 dolar sebagai ongkosnya.” “Aku rasa, kamu ketinggalan berita, Julien.” Leroy menegur Julien. “Kamu tahu tidak, penduduk kota New York sedang dihebohkan cerita tentang Jack. Dia berpakaian serba hitam dan tidak diketahui pula apa yang dia lakukan. Namun, menurut keterangan orang-orang di sekitarnya, Kamar 7 selalu didatangi orang-orang yang berpenampilan serupa.” “Astaga, kamu benar.” Julien terkejut setelah mendengar kata-kata Leroy. “Berarti aku mengantarkan Si Jack, dong?” “Tepat sekali. Untungnya, kamu tidak bernasib seperti korban-korban Jack sebelumnya.” tambah Harry yang sedang asyik membaca majalah sambil merokok. “Maksudmu apa, Harry?” “Belakangan ini, banyak kasus penculikan misterius di New York. Konon, pelaku penculikannya adalah Jack.” “Bagaimana petunjuknya?”
“Menurut penyelidikan polisi, potongan kertas yang bertuliskan angka 7 selalu ditemukan dari setiap tempat kejadian, persis dengan kertas yang kamu bawa. Sudah seminggu yang lalu terjadi tiga kasus penculikan yang disebabkan oleh Kamar 7. Korban pertama adalah seorang wisatawan asal Austria bernama Wolfgang Reiter yang berusia 56 tahun. Dikatakan, Reiter hilang setelah berinteraksi dengan Jack. Dia pertama kali bertemu dengan Jack di dekat Fifth Avenue. Korban kedua adalah seorang mahasiswi yang bernama Olivia Cohen berusia 21 tahun. Dia bertemu dengan Jack setelah pulang dari perpustakaan di daerah Harlem. Korban terakhir adalah Martin Henderson, seorang polisi berusia 35 tahun. Opsir Henderson hilang setelah membantu Jack memperbaiki mobilnya di Jembatan Verazzano-Narrows.”
“Mungkin penculikan tersebut ada kaitannya dengan Kamar 7-nya Jack.” “Harry benar. Kamar 7 penuh dengan konspirasi. Bagaimana kalau kita selidiki nanti malam?” Leroy mengajak Julien dan Harry untuk menyelidiki Kamar 7 di Coney Island. Julien dan Harry mengangguk setuju.
Pada pukul 21.30, Harry dan Julien berkumpul di apartemen miliki Leroy. Mereka berangkat dengan menumpangi mobil Leroy dan langsung menuju Kamar 7 di Coney Island.
Setibanya di sana, bukan main terkejutnya mereka bertiga ketika melihat tiga unit mobil Cadillac hitam terparkir di depan kamar tersebut. Mereka makin curiga, apalagi dengan keberadaan ketiga mobil tersebut. “Kenapa ada mobil limusin di sana? Apa Jack merupakan orang kaya atau dia merupakan agen federal.” Julien keheranan. “Belum tentu juga, Julien. Siapa tahu itu atasan Jack di organisasi rahasia.” bantah Leroy dan Harry. “Ya sudah. Aku akan ke sana.” tiba-tiba Julien keluar dari mobil dan bergegas menyeberang ke Kamar 7. “Bodoh kamu! Jangan berlagak sendirian” sahut Leroy. Lantas, Leroy juga ikut turun dan mengikuti Julien. “Leroy! Harry! Kalian tunggu di mobil saja. Nanti aku beri tanda padamu!” kata Julien. Akan tetapi, Leroy dan Harry tak mengindahkan dan tetap mengikuti Julien. Mereka mengendap-endap dengan melewati lorong sempit di sebelah kanan flat tersebut.
Kemudian, mereka berjalan ke kiri yang juga terdapat lorong yang sedikit lebih besar. Tepat di bagian belakangnya, seberkas sinar lampu menerangi lorong itu yang terpantul dari sebuah pintu belakang yang diduga merupakan jalan pintas menuju Kamar 7.
Julien mengeluarkan sebuah potongan besi kecil untuk membuka kunci pintu belakang. Setelah dibuka, Julien, Harry dan Leroy menyusup dan mencari tahu apa yang disembunyikan oleh Jack di Kamar 7. Julien menyuruh Harry untuk bergerak lebih dulu guna mencari tahu rahasia kamar tersebut.
“Buk!” Harry mendadak dipukuli oleh seseorang. Julien dan Leroy terkejut dan melihat sekelompok pria berbadan besar, yang telah menumbangkan Harry hingga pingsan. Pakaian yang dikenakan mereka serupa dengan pakaian yang dikenakan Jack, seperti penuturan Julien. Dalam keadaan gawat, Julien dan Leroy bergegas menghindar dari serangan para pria berbadan besar itu.
Julien mendapat ide. Dia menemukan senjata submachine gun jenis Smith and Wesson M76 yang diletakkan dalam keadaan berdiri di sisi kiri pintu masuk tempat mereka berada. Kemudian, ia meraih menembakkan senjata itu dalam maksud menakut-nakuti gerombolan tersebut. “Dor! Dor! Dor!”, tembakan Julien membuat para pria berbadan besar panik dan masing-masing mulai mengeluarkan pistolnya, lalu menembakkan pistolnya ke Julien.
Dengan sigap, Julien menghindar berondongan tembakan tersebut dan menyuruh Leroy bergegas masuk ke ruangan yang aman sambil membopong Harry yang terkulai lemah.
“Tat! Tat! Tat! Tat!” beberapa orang lainnya yang diduga rekan pria berbadan besar itu muncul dan menyerang tiga sekawan itu dengan berondongan submachine gun. Peluru itu mengenai lengan kanan Leroy. Julien terkejut dan menoleh ke arah Leroy yang tertembak.
“Kalian pergi duluan.” kata Leroy dalam keadaan tertelungkup. “Bodoh kamu, Leroy!” Julien berteriak setengah panik setelah mendengar ucapan Leroy menyuruhnya pergi terlebih dahulu bersama Harry. “Jangan pedulikan aku. Pokoknya kalian harus pergi dari sini”.
Terpaksalah Julien menturuti perintah Leroy. Sambil merangkul Harry, Julien bergerak dalam keadaan terengah-engah karena badan Harry yang lebih besar dibanding dirinya, dia paksakan untuk tetap menggendongnya hingga ke tempat yang lebih aman. Di depan matanya, terdapat pintu yang terletak di sisi kanan dan meja yang dipasang telepon di sisi kiri. Julien bergegas menuju meja telepon itu untuk menghubungi 911 bahwa terjadi peristiwa yang mengerikan pada dirinya.
“Halo!” panggil Julien kepada telepon itu. “Hubungkan saya dengan operator. Panggilan darurat.”
Setelah itu, operator telepon 911 telah terhubung. “Operator 911 NYPD di sini. Bisa saya bantu? Sebutkan nama, alamat, dan jelaskan permasalahannya.” kata operator 911. “Ju…Julien Johnson…. Kejadian penembakan…” jawab Julien gugup. “Di mana kejadiannya?”
Belum sempat menjawab pertanyaan operator telepon. Buk! Julien dipukul dari belakang hingga tak sadarkan diri. Bagaikan hewan buruan yang tak berdaya ditembak pemburu, gerombolan pria berbadan besar dan Jack menyeret Leroy, Julien, dan Harry ke sebuah ruangan.
Cerpen Karangan: Murti Laksana Facebook: Harimurti Kridalaksana