“Sepertinya, aku tidak layak untuk hidup di dunia ini, Aini.” “Jangan berpikir begitu, Samsul.” Kata Aini menghibur Samsul. “Memang, teman-temanmu dan beberapa orang di sekitarmu memperlakukan kamu sebagai orang buangan. Akan tetapi, ada satu hal yang kamu miliki namun tidak bagi mereka, yaitu kamu mandiri dan selalu memandang semua orang itu baik, meskipun mereka tidak tahu balas budi.” “Balas budi dari mana? Aku ‘kan hanya orang buangan, Aini… Orang buangan!!” “Aku melihatnya pada tadi pagi.” “Maksudmu apa?”
“Saat kamu bergegas menuju bus ini, sebenarnya aku hampir ketinggalan perjalanan ini. Secara tidak langsung, kamu mengingatkan aku untuk segera bergegas masuk ke dalam bus. Aku melihat, kamu seperti mengayunkan tangan sebagai isyarat menyuruhku untuk naik.” “HAH?” Samsul terkejut. Rupanya Aini memperhatikan dia sejak naik bus dari Pasar Rebo. Namun, dia mengelak. “Hanya itu saja kamu menganggap aku balas budi?” “Dari ceritamu saat kamu belajar kelompok. Aku yakin, kamu itu orang yang suka menolong, cerdas, dan berhati baik.”
Samsul masih tidak percaya dengan kalimat pujian tak terduga dari Aini. Namun, dalam hatinya, Samsul sadar bahwa Aini menyukai dirinya. Bahkan, tubuhnya yang semula keringat dingin mendadak panas.
“Kalau kamu masih belum yakin, tidak apa-apa. Aku hanya mengatakan kesan pertama pada dirimu.” kata Aini sambil memberikan botol berisikan teh hangat untuk Samsul.
Samsul meminum teh pemberian Aini, kemudian dia tertidur lelap. Aini membiarkan tubuh lemas Samsul yang tertidur bagaikan seekor kerbau, lalu dia mengeluarkan buku untuk dia baca di dalam perjalanan yang masih jauh ini. Sambil menengadah ke arah langit, Aini tersenyum, lalu menitikkan air mata. Rupanya, tetesan air matanya adalah wujud rasa terharu, kagum, dan cintanya Aini secara diam-diam kepada Samsul, meski hanya kenal sekilas dalam perjalanan bus antar kota.
Bus PO. Lancar Utama berhenti di sebuah rest area. Para penumpang memanfaatkan waktu istirahat untuk mampir ke toilet maupun membeli makanan dari minimarket dan pusat jajanan. Namun, hanya Samsul yang tetap berada di bus. Situasi terasa sepi. Samsul terlihat seperti seseorang yang benar-benar dikucilkan dari arus kehidupan.
Dengan segera, dia mengeluarkan “barang-barang” yang tidak pernah diketahui siapapun, termasuk Aini. “Barang-barang” itu ternyata merupakan buku tulis, tak lupa dia mengeluarkan beberapa boneka santet dan pistol, entah dari mana Samsul mendapatkannya.
Dengan boneka santet itu, Samsul merapalkan mantra dan menyebutkan nama-nama orang yang pernah menyakiti dirinya agar mendapat musibah dan menusukkan jarum ke boneka-boneka itu. Setelah itu, Samsul menuliskan surat wasiat untuk Aini. Lalu, dia mengambil pistol dan menempelkan pistol itu tepat di samping kepalanya.
DOR!! Letusan pistol menggema dari bus tempat Samsul berada. Semua orang yang berada di sekitar bus itu terkejut mendengar suara letusan pistol Samsul, tak terkecuali Aini dan beberapa penumpang yang mampir ke minimarket dan toilet.
Aini dan beberapa orang; sopir, kondektur, dan penumpang bus lainnya menyusuri bus itu. Alangkah terkejutnya mereka bahwa mereka mendapati Samsul yang sudah terbujur kaku tak bernyawa dalam keadaan menggenggam pistol, lengkap dengan peralatan santet yang berserakan di sisinya. Sopir bus dan kondektur bergegas melapor kepada polisi dengan ponselnya. Sedangkan Aini menjerit pilu melihat teman seperjalanannya mati dengan cara tak wajar. Salah seorang penumpang merangkul dan membawa Aini ke tempat yang tenang.
Selang satu jam kemudian, polisi tiba di tempat kejadian dan memulai investigasi. Kemudian, salah seorang detektif polisi bertanya untuk meminta keterangan dari Aini perihal kematian Samsul.
“Apakah Anda mendapati tanda-tanda mencurigakan sebelum kematian Saudara Samsul Sudiro, Bu Aini?” “Iya, Pak.” jawab Aini. “Sebelumnya, dia terlihat tidak ceria. Sepertinya ada tekanan hidup. Namun, hal itu sirna setelah saya mengajaknya untuk berbicara mengenai hal ringan, walaupun dia sempat tidak enak badan. Mungkin badannya sempat tidak bugar inilah yang disebabkan cerita masa lalunya.”
“Bagaimana masa lalunya sehingga dia termotivasi untuk melakukan itu?” tanya sang detektif. “Dulu, Samsul merupakan korban perundungan teman dan senior kampusnya. Sejak kecil, ia sudah yatim piatu, bahkan tidak pernah diurus kerabatnya sendiri. Bahkan dia pernah menjadi korban perampokan. Saya sendiri juga tidak tahu kalau dia membawa boneka santet untuk mencelakai orang yang menyakitinya dan pistol untuk bunuh diri. Saya rasa, kejadian itu merupakan ekspresi kemarahannya terhadap pengalaman hidupnya yang pahit ini.”
Aini dimintai keterangan oleh polisi sebagai saksi kasus kematian Samsul. Setelah penyelidikan tersebut usai, polisi menyatakan bahwa Samsul meninggal murni bunuh diri. Aini diizinkan untuk melanjutkan perjalanannya hingga tiba di kota Semarang untuk pulang kampung.
Walaupun Samsul telah tiada, namun Aini tetap merelakan dan mengikhlaskan semua yang terjadi. Setidaknya, dia memiliki teman ngobrol yang baik dalam perjalanan pulang kampungnya.
Dua minggu kemudian, Aini dan keluarga besar menonton tayangan berita di TV. Tayangan tersebut memberitakan rentetan kejadian misterius yang terjadi di Jakarta, yaitu beberapa mahasiswa di sebuah perguruan tinggi dilarikan ke rumah sakit karena menderita penyakit aneh, bahkan salah seorang di antaranya meninggal dunia.
Selain itu, tayangan itu juga melaporkan berita seorang perampok tewas tertabrak KRL Commuter Line di kawasan Lenteng Agung saat dia menghindari kejaran polisi yang sedang berpatroli. Dua peristiwa itu terjadi secara bersamaan. Aini dan keluarganya dibuat heran dengan berita itu, mengapa dalam satu hari terjadi dua peristiwa yang muncul bersamaan. Dalam pikiran Aini terbersit dugaan ada kaitannya dengan kematian Samsul.
“Ah… Mungkin hanya kebetulan.” dalam hati Aini berbisik menyangkal.
“Paket!!” mendadak terdengar suara kurir paket memanggil Aini. “Bulik Aini, ada paket.” seru keponakannya menyuruh Aini untuk mengambil paketnya. “Iya, Mas. Tunggu sebentar.” Jawab Aini.
“Atas nama Aini Nurudin. Alamatnya di Jl. Bung Tomo RT004/8 No. 2, Jatingaleh, Candisari, Semarang, Jawa Tengah, 50254?” “Iya, Mas.”
Aini curiga, ukuran paket yang dikirimkan sebesar tas yang dibawa Samsul saat itu.
“Ini paket dari Saudara Samsul Sudiro.” “Hah? Samsul?” tanya Aini heran. “Sebenarnya, Samsul Sudiro sudah meninggal dua minggu yang lalu, Mas. Kenapa paketnya bisa dikirimkan ke rumah saya? Siapa yang mengirimkannya” “Jelas-jelas, nama Samsul Sudiro tertera pada stiker nama pengirimnya. Yang penting, Anda terima dulu paketnya.”
Lalu, Aini menerima paket misterius yang mengatasnamakan Samsul. Dengan segera, Aini merobek kertas pembungkusnya dan memeriksa isi paket tersebut.
Ternyata, isi paket itu berupa sepucuk kertas dan bingkisan kado untuk Aini. Karena penasaran, Aini membaca kertas tersebut yang ternyata berisikan surat wasiat dari Samsul berbunyi:
“Aku rasa waktuku tak akan lama lagi. Mungkin dari kata-katamu yang menghiburku itu benar, kamu sebenarnya suka denganku. Dan aku juga menyukaimu karena hanya kamu yang bisa mengerti perasaanku. Maaf aku tidak terlalu menanggapi pembicaraanmu, Aini. Selamat tinggal, kenalanku di bus. Tanda cinta, Aini Samsul”
Dia mendadak menangis dan tersanjung karena ternyata Samsul menyukai dirinya. Mungkin sebagai kesan bahwa Aini berhasil menenangkan hati Samsul, walaupun berujung maut.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan bagi Aini adalah siapa yang mengirimkan surat dan kado tersebut kepadanya. Apakah kerabat jauh Samsul yang mendengar berita kematiannya, pihak keluarga pengganggu Samsul yang mengirimkannya sebagai tanda permohonan maaf, penipu yang mengatasnamakan Samsul, perbuatan hantu Samsul, atau sosok misterius yang menyebabkan bus tempo hari mengerem mendadak? Yang jelas, Samsul sudah tiada di muka bumi. Begitulah kehidupan, tak ada habisnya berbicara mengenai nasib baik dan buruk seseorang.
TAMAT
Cerpen Karangan: Murti Laksana Blog / Facebook: Harimurti Kridalaksana (Facebook)