Matahari mulai terbit dari timur, bersamaan dengan langit yang mulai terang, cahayanya mulai menembus jendela. Pagi ini, pagi setelah peristiwa penghukuman, rasanya sangat sunyi namun juga tenang. Akibat dari pembunuhan yang dilakukan Iblis, penduduk di desa ini hanya tersisa belasan orang lagi. Bagaikan desa kosong terbengkalai, tidak seperti beberapa hari yang lalu, jalanan desa bahkan menjadi sangat sepi.
Disaat matahari mulai naik, jalanan masih saja sepi, tentunya karena jumlah penduduk yang berkurang. Hanya tersisa sedikit yang beraktivitas. Si Penyair sendiri memutuskan untuk melupakan kejadian sebelum-sebelumnya. Dan seolah tidak terjadi apa-apa, ia dengan suara merdunya membaca lantunan syair dengan lembut meski terpancar kesedihan.
Ada juga si Penari yang sudah siap menari di panggungnya. Kaki dan tangannya memang agak kaku karena sudah lama tidak menari. Meski begitu, ia tetap berusaha sekeras mungkin untuk menari dengan indah. Terukir kesedihan di wajah cantiknya, mungkin ia masih teringat dengan kematian beberapa penduduk.
Seperti biasa, si Pelukis yang antisosial dan apatis ini sibuk mencoret-coret cat di kanvas. Ia sama sekali tidak peduli dengan peristiwa pembunuhan beberapa hari lalu. Tangannya masih menggerak-gerakkan kuas seolah tak terjadi apa-apa. Di kuburan, hanya ada si Penjaga Makam seorang diri yang sedang menjaga kuburan seperti biasa. Daripada memikirkan peristiwa masa lampau, ia lebih baik melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Kemudian, di Gereja yang sunyi, hanya ada sedikit jemaat yang hadir. Si Pendeta berdiri di hadapan mereka sambil memimpin doa dengan tenang. Ia juga memberikan sedikit ceramah. Dan doa-doa mereka terjawabkan, setelah penghukuman, suasana desa kembali seperti semula. Para penduduk pun mencoba untuk melupakan kejadian itu dan fokus menjalankan kehidupan mereka yang sekarang.
Kebanyakan dari mereka menggelar pesta meriah untuk merayakan kemenangan. Mereka berhasil membawa cahaya harapan dan memusnahkan sang Iblis terkutuk. Semua orang bersukacita merayakannya. Mulai dari bernyanyi, menari, bahkan makan bersama-sama. Momen yang sangat membahagiakan.
Pagi ini bisa dibilang sebagai pagi yang cukup dingin. Cahaya matahari tidak dapat muncul sepenuhnya karena langit yang tertutup awan. Hari ini juga cukup sunyi, tidak ada burung-burung yang berkicau. Hanya ada beberapa orang sudah bersiap untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Namun sayang, seolah ditertawakan oleh sang takdir itu sendiri. Ditengah kesunyian ini, mereka menemukan mayat-mayat yang sudah dingin. Sama seperti peristiwa sebelumnya, mereka semua mati dalam keadaan mengenaskan. Mulai dari tulang-tulang mereka yang patah, anggota tubuh yang terpisah, atau bahkan darah yang menggenang.
Di antara tumpukan mayat itu, ada mayat si Pendeta. Ia mati dalam keadaan terduduk dengan luka tusuk di dada dan perut. Kedua tangannya terangkat seolah-olah sedang berdoa. Kasihan sekali, bahkan dalam kematian, ia masih sempat berdoa. Tapi kepada siapa? Apakah ia berdoa pada Dewa untuk memohon perlindungan? Ataukah… Ia berdoa pada sang Iblis untuk dikasihani?
Lonceng gereja yang berbunyi di pagi yang sunyi ini seolah mengawal roh si Pendeta menuju gerbang akhirat. Mungkin sekarang, Dewa sedang menertawakan perbuatan para makhluk fana yang bodoh ini. Karena pada nyatanya, sang Iblis belum berhasil dimusnahkan. Sekarang, ia masih bersembunyi diantara mereka.
Para penduduk yang tadinya merasa tenang dan aman kembali panik. Ternyata selama ini mereka salah. Kenyataan bahwa mereka telah menghukum orang tak bersalah membuat hati dan pikiran mereka dihantui rasa takut. Cepat atau lambat, sang Iblis akan membunuh mereka yang berjiwa kotor.
Kini hanya tersisa 4 orang di desa itu. Rasa takut dan putus asa kini memenuhi pikiran si Penari dan Penyair. Si Penjaga Makam hanya sibuk menguburkan jenazah, lagi-lagi ia harus berkerja keras. Sementara si Pelukis masih tetap tidak peduli, ia masih melukis layaknya tidak ada hal yang terjadi.
Hari-hari berikutnya mereka jalani dengan rasa takut. Harapan telah sirna dari desa ini, dan hanya menyisakan kehancuran. Tinggal menunggu waktu, cepat atau lambat, mereka semua akan mati. Saat ini, pasti sang Iblis sedang menyaksikan dengan tawa dan senyum kegirangan.
Desa kecil yang semula dipenuhi kebahagiaan, sekarang menjadi semacam desa mati yang terbengkalai. Atas keserakahan para manusia sendiri, Dewa seolah-olah meninggalkan mereka. Dan menyerahkannya pada sang Iblis. Meski begitu, jauh dalam lubuk hati, mereka ingin bebas dari penderitaan ini.
Puluhan orang tewas hanya karena permainan gila sang Iblis. Permainan yang membuat mereka menuduh dan menghukum satu sama lain atas dosa yang tak pernah dilakukan. Doa mereka tak pernah sampai pada Dewa, itu semua adalah usaha yang sia-sia.
Alangkah terkejutnya mereka kala melihat sesosok mayat pada keesokan harinya. Mayat ini bukan mati karena pembantaian Iblis. Tapi ia mati dengan menyayat urat nadinya, si Pelukis yang apatis mati dengan bunuh diri. Tergambarkan dengan jelas di wajahnya bahwa sebenarnya ia sudah putus asa dan lelah dengan permainan ini. Daripada mati dibunuh dengan mengenaskan, tampaknya ia lebih memilih untuk mati dengan caranya sendiri.
Di sebelah mayat Pelukis yang sudah dingin, terdapat secarik kertas bertuliskan sesuatu. Tampaknya ia meninggalkan surat wasiat bunuh diri. Surat itu sudah ternodai darah si Pelukis sendiri, dapat dilihat bahwa ia menulis ini dengan keadaan tangan yang berdarah-darah.
“CEpaT … SeLAMatkaN AKuu!”
“Apa-apaan ini? Kenapa si Pelukis sialan itu memilih untuk mati?” Ucap si Penjaga Makam yang kesal. “Yah, bukan berarti aku peduli sih. Lebih baik orang sepertinya mati daripada tidak berguna sama sekali.” Tambahnya. Ia tidak suka dengan si Pelukis yang selalu bertindak tidak peduli namun pada akhirnya malah mati bunuh diri.
Si Penari yang tidak terima dengan ucapan si Penjaga Makam mulai marah. “Tarik kata-katamu, kau tak berhak berkata seperti itu! Kita tidak tahu penderitaan macam apa yang dirasakannya!” Karena terpancing ucapannya, si Penjaga Makam pun menjawab. “Aku hanya mengatakan fakta. Lagipula untuk apa kau membela Pelukis bodoh itu?”
Lelah dengan penderitaan tanpa akhir ini, si Penyair juga kesal mendengar perdebatan mereka. Ia pun melerai keduanya dan berucap “Tenanglah kalian berdua. Lebih baik kita berhenti membohongi dan menuduh masing-masing. Jika kita terus bertengkar, bisa-bisa kita mati seperti yang lain.”
“Maaf… Ucapanmu benar. Tapi sekarang hanya tersisa kita bertiga, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat untuk menghukum Iblisnya. Semakin sedikit yang tersisa, semakin besar kemungkinan untuk menebak Iblis yang bersembunyi!” Usul si Penari yang disetujui si Penyair. Tapi sepertinya, ada satu hal yang mengganjal pikiran.
Tiba-tiba saja si Penyair terpikir pemikiran gila yang mungkin saja masuk akal. “Tunggu dulu, bagaimana jika sebenarnya tidak ada Iblis?” Si Penari yang kebingungan pun bertanya “Apa maksudmu?” Dan dijawab si Penyair dengan gemetaran “Bagaimana jika semua ini ternyata hanyalah perbuatan seseorang agar ia bisa melakukan pembunuhan?”
“Maksudmu ada orang yang cukup gila untuk membuat permainan Iblis ini?” Tanya si Penari dengan tak percaya. Namun ucapan mereka lumayan masuk akal. Bisa jadi selama ini tidak ada Iblis, dan hanya ada seorang pembunuh yang bersembunyi.
Pembunuh itu membuat permainan gila atas nama Iblis dan membuat orang-orang percaya agar ia bisa melancarkan aksinya. Ia membuat semua orang percaya bahwa Iblis adalah dalang dibalik ini semua. Mungkin saja pelakunya adalah seseorang dengan jiwa kotor menyerupai Iblis. Tapi siapa?
Dipaksa menerima kenyataan bahwa mereka akan segera mati. Ditambah teori liar si Penyair bahwa sebenarnya tidak ada Iblis. Si Penari yang lelah fisik dan mentalnya memilih untuk beristirahat di rumah si Penjaga Makam yang hanya berjarak beberapa langkah. Ia tak memiliki cukup keberanian untuk menyaksikan pemakaman si Pelukis.
Kakinya berjalan lemah ke arah pintu dan membukanya dengan perlahan. Kemudian ia duduk di sofa ruang tamu. Tapi ada yang aneh, hidungnya mencium sesuatu. ‘Bau apa ini?’ Pikirnya dalam hati. Bau busuk yang menyengat indra penciuman ini berasal dari sebuah ruangan.
Bukannya si Penari bertindak tidak sopan di rumah orang lain. Tapi wajar baginya untuk merasa curiga setelah mengalami berbagai peristiwa pembunuhan. Meski sempat bimbang dan ragu. Ia menarik nafas dalam-dalam dan membuka pintu ruangan tersebut dengan perlahan.
Sesaat setelah pintu dibuka, ada bau busuk sangat menyengat. Tangannya refleks menutup hidung dan mulut. Matanya terbelalak kaget melihat pemandangan mengerikan. Si Penari seketika mendadak mual. Tubuhnya gemetaran dengan hebat.
Ruangan itu dipenuhi dengan mayat-mayat yang tergantung di dinding. Bagaikan hiasan, mayat-mayat yang tampaknya sudah diawetkan itu dipajang dan didandani layaknya boneka. Dinding kanan, kiri, bahkan atas, semua dipenuhi mayat. Ada mayat si Gadis muda, Ksatria, Pendeta, dan mayat penduduk lainnya.
Kaki si Penari mendadak lemas, tidak kuat melihat pemandangan dihadapanya. Ia pun terjatuh ke lantai. Dan dengan ketakutan, ia berteriak sekuat tenaga. Teriakannya yang menggema terdengar keluar. Si Penyair dan Penggali Makam yang khawatir langsung berlari melesat kearah sumber suara.
Begitu sampai disana, si Penari yang ketakutan, menangis gemetaran. Dan si Penyair yang baru saja sampai juga tidak mempercayai apa yang ia lihat sekarang. Ia hanya berlutut disamping si Penari, mencoba menenangkannya meskipun ia juga sama terkejutnya.
‘Orang gila mana yang mengoleksi mayat sebagai hiasan?’ Pikir mereka berdua. Sementara itu, si Penggali Makam hanya berdiri diam menatap mereka dengan tatapan kosong, kemudian dia tertawa dan menyeringai. “Ah gawat, aku ketahuan ya?”
Tawa si Penjaga Makam semakin keras. Sambil menatap mereka yang ketakutan, ia hanya tersenyum. “Kau… Dasar gila! Kau pikir mayat adalah hiasan?!” Ucap si Penyair dengan marah, orang yang sudah mati itu seharusnya dikuburkan dengan layak, bukan digantung seperti hiasan.
“Kalau iya kenapa?” Jawab si Penjaga Makam dengan entengnya. Disaat-saat seperti ini ia masih bisa tersenyum. Si Penari yang tidak terima dengan perbuatan tak bermoral ini berkata “Sungguh menjijikan, ini sangat tidak manusiawi! Kau pasti pengikut ajaran sekte sesat!”
Dengan tatapan polos, si Penjaga Makam menjawab dengan wajah tanpa dosa. “Benarkah? Oh ayolah, aku hanya bersikap profesional. Tugasku adalah mencintai dan merawat orang yang sudah mati. Apa yang salah dengan itu?” Karena kesal, si Penyair langsung memegang pisau dan menodongkannya.
“Tentu saja salah, perbuatanmu yang menjijikan ini sudah menyerupai Iblis.” Tanpa bergeming sedikitpun, si Penjaga Makam tersenyum manis dan menjawab dengan santai. “Kenapa aku tidak diperbolehkan untuk mencintai mayat-mayat ini? Lagipula, dulunya mereka manusia juga, kan?”
“Sudah cukup! Berhentilah beralasan, dasar Iblis!” Si Penari langsung mengambil sekop disampingnya dan memukul si Penjaga Makam. Ia mencoba untuk menghindar dari serangan, namun sayang, keberuntungan tak akan pernah memihak Iblis terkutuk sepertinya. Pada akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri akibat terkena pukulan sekop si Penari.
Mereka yang tadinya bertiga, kini telah mengungkap Iblis yang bersembunyi. Setelah sekian lama, akhirnya permainan gila ini selesai dengan menyisakan dua orang. Mereka berdua menatap kearah sang Iblis yang tak sadarkan diri dengan tatapan marah dan benci. Sekarang, mereka dapat membalas perbuatannya.
Dan sesuai rencana awal penghukuman. Tubuh si Penggali Makam diikat pada batang pohon dan akan dibakar hidup-hidup. Si Penyair cukup kesulitan untuk mengikat tubuhnya pada batang pohon karena sekarang mereka hanya tersisa berdua. Dengan bantuan seadanya, si Penari pun mengumpulkan kayu bakar dan air suci.
Akhirnya permainan ini selesai. Meski tersisa dua orang, tapi mereka dapat membawa cahaya harapan dan mengusir kehancuran. Iblis terkutuk itu juga akan dihukum untuk membayar dosa-dosanya. Memang benar, Dewa selalu menjawab doa mereka dengan cara yang berbeda. “Oh Dewa, maafkanlah kami yang telah berprasangka buruk padamu…”
Mereka yang tadinya putus asa dan hampir keluar dari jalan keimanan, kembali bersyukur pada Dewa. Dewa mereka memanglah maha pengampun. Doa-doa mereka selama ini memang terjawab, namun dengan cara yang berbeda. Kini, desa itu kembali mendapatkan cahaya rahmat Dewa.
Dengan tatapan benci, si Penari hanya melihat penghukuman Iblis itu dari kejauhan. Bahkan saat dibakar hidup-hidup pun, si Penjaga Makam sama sekali tidak berteriak kesakitan, sungguh Iblis yang mengerikan. Tak lupa, mereka juga merapalkan doa-doa, memohon perlindungan. Setidaknya sekarang mereka berdua selamat.
Ketika matahari mulai terbenam, bersamaan dengan langit yang mulai berwarna oranye kemerahan, proses penghukuman selesai. Kini hanya menyisakan api yang belum padam. Warna langit dan api itu kini menjadi sangat serupa. Si Penyair dan Penari hanya menyaksikan dalam diam.
“Minumlah, setidaknya kita harus merayakan kemenangan.” Ucap si Penyair sambil menyodorkan jus apel. Si Penari tersenyum dan meminumnya. “Aku senang karena akhirnya Iblis itu musnah. Sekarang kita bisa bernafas lega.”
Malam ini, mereka berdua menghabiskan waktu dengan merayakan kemenangan. Saling tertawa dan bercanda bersama. Akhirnya mereka bebas dari jeratan permainan sang Iblis. Meski hanya tersisa berdua, setidaknya mereka dapat hidup bahagia dan tenang mulai sekarang. Dewa memang maha Penyayang.
Namun setelah menghabiskan jus apel yang diberikan si Penyair, si Penari merasa aneh. Tenggorokannya terasa terbakar dengan hebat. Beberapa saat kemudian, ia terbatuk-batuk dan mengeluarkan banyak darah. Seketika itu, tubuhnya terasa sangat sakit, organ dalamnya seperti dibakar.
Tubuhnya yang mungkin diracuni tak sanggup menahan rasa sakit. Si Penari langsung terjatuh lemas. Tubuhnya yang tumbang segera ditahan oleh si Penyair yang sigap menangkapnya. “A-apa… Apa yang terjadi…?” Ucapnya dengan lirih di pangkuan si Penyair.
Seketika mata si Penyair berubah menjadi merah darah, lebih tepatnya berubah menyerupai mata Iblis. Disaat itu si Penari sadar bahwa ia telah ditipu. Iblis itu tersenyum sadis kearah si Penari, dan dengan tatapan kasihan, ia berkata “Shh… Jangan khawatir, sekarang kau bisa beristirahat dengan tenang.”
“Kau…!!” Sayang sekali, si Penari tak dapat menyelesaikan ucapannya karena kondisinya sekarat ditambah tenggorokannya yang mungkin terluka parah karena racun. Ia hanya bisa menatap si Penyair dengan tatapan tak percaya. Ekspresinya menggambarkan rasa terkhianati dan amarah. Ekspresi yang dinantikan sang Iblis.
Sang Iblis terkutuk dalam wujud si Penyair hanya tertawa terbahak-bahak menatap si Penari. “Sejak awal Dewa tak pernah berniat untuk menyelamatkan kalian. Kalian makhluk fana pada akhirnya berakhir tertipu permainanku, sungguh menyenangkan. Sekarang tidurlah dengan nyenyak. Mimpi indah…”
“Terimakasih banyak atas hiburannya, wahai manusia. Tapi sayang sekali, dalam permainanku tidak ada yang diselamatkan. Semuanya harus mati.” Ucap si Penyair, atau lebih tepatnya sang Iblis. Ia menari-nari kegirangan sambil tertawa senang. Permainan kali ini sangat-sangat menghiburnya.
Untuk kesekian kalinya manusia ditipu oleh Iblis lagi. Dan pada akhirnya, dewa benar-benar telah meninggalkan mereka. Doa-doa dan usaha mereka tak pernah tersampaikan. Yang tersisa hanyalah tipu daya dan siksaan sang Iblis yang bermain dengan mereka. Tak ada satupun dari mereka yang selamat dari permainan gila ini.
Sang Iblis yang masih merasuki tubuh si Penyair mulai tertawa jahat. Ia sengaja berjalan melompat-lompat hingga kakinya terpeleset dan jatuh dari tangga. Tubuhnya yang berguling-guling mengakibatkan patah tulang. Dan lehernya tanpa sengaja tertusuk ujung payung yang runcing, seketika mengakibatkan pendarahan.
Si Penyair yang sudah terbebas dari pengaruh Iblis hanya bisa mengerang kesakitan. Tubuhnya mengalami banyak patah tulang, ditambah pendarahan di leher akibat tertusuk. Cepat atau lambat ia pasti akan mati kehabisan darah. Si Penyair yang mengetahui takdirnya hanya bisa meneteskan air mata dan berdoa mengharapkan keselamatan. Namun sayang, dalam permainan sang Iblis, semua orang harus mati.
“Sudah kubilang, kan? Tidak akan ada yang selamat.”
Cerpen Karangan: Faniel Vian