‘Tiara Tewas Setelah Jatuh Dari Lantai Tiga Gedung SMA Candra Bakti dengan Luka Sayatan di Sekujur Tubuh’ ‘Kristian Ditemukan Meninggal Penuh Sayatan di Salah Satu Toilet Pria Sekolah’
Kabar itu menyebar luas dengan cepat, bahkan belum sampai satu minggu dari terjadinya Tragedi itu. Tidak hanya di Sekolah tetapi juga di penjuru kota sudah mengetahui tragedi mengerikan itu. Pihak sekolah sudah tidak dapat menutupi tragedi ini. Keluarga korban terus menuntut pihak sekolah dan kepolisian agar dapat menemukan dan menangkap tersangka pembunuhan secepatnya.
—
Seorang siswa laki-laki bername tga Dika Wijaya berjalan di koridor menuju kelas. Dika menuju kelas XI IPS 2 yang berada tepat di sebelah UKS.
Sekolah sudah cukup ramai. Tragedi yang menimpa kedua teman sekelas Dika menjadi ketakutan tersendiri bagi sebagian siswa, takut mereka akan menjadi korban berikutnya.
Siswa sekelas Dika hanya diinterogasi oleh pihak kepolisian mengenai kejadian ini. Hanya beberapa pertanyaan biasa yang berhubungan dengan tragedi. Dika sendiri tidak terlalu peduli dengan kejadian ini. Karena Dika tidak berteman dekat dengan Tiara ataupun Kristian. Kabarnya mereka berpacaran sudah seminggu yang lalu. Hanya sesekali mereka bertegur sapa dengan Dika, mereka tampak sungkan untuk bergaul dengan Dika. Atau, Dikalah yang lebih nyaman bergaul dengan Vito, teman sebangkunya. Karena Dika sulit bergaul atau yang sering Vito bilang, Dika itu introvert.
“Woy Dika! Jalan ya jalan, jangan ngelamun. Kesandung tau rasa lo,” ujar seorang laki-laki berambut kriting dan berkaca mata sebaya Dika. Dia merangkul pundak Dika akrab. Yah itu teman Dika, Vito. Dika melepas rangkulan Vito. “Nggak ada yang ngelamun,” ujar Dika dengan volume pelan. “Yee, nih anak!” Balas Vito lalu berjalan mendahului Dika.
Mereka masuk ke dalam kelas menuju pojok kelas, tempat duduk Dika dan Vito. Kelas udah cukup ramai. Sebagian besar sedang membicarakan tragedi yang menimpa sepasang kekasih itu, Tiara dan Kristian. Setelah duduk Dika mengeluarkan komik, yah Dika memang suka membaca komik.
“Eh Dik, lo tau nggak? Katanya Polisi mencurigai mantannya Tiara, si Rehan, dan Rido temen tapi musuhnya Kristian. Katanya, Rehan sempat ngirim pesan ke Tiara dimalam tragedi itu. Kalo Rido, polisi taunya dari laporan teman-teman Kristian. Mereka ada cekcok beberapa hari sebelumnya, nggak tau deh masalahnya apaan,” jelas Vito, ia menyandarkan diri di bangkunya.
Kegiatan membaca Dika teralihkan oleh omongan Vito. Dika menatap jengah Vito. Sejak kejadian Tiara tiga hari yang lalu, disusul Kristian sehari yang lalu, Vito mendadak menjadi paling up date. Bahkan Vito turut berspekulasi seperti siswa lainnya. Biasanya dia yang paling masa bodoh.
“Tau dari mana lo? Jangan sembarangan ngomong,” tegur Dika sambil meneruskan bacaannya. “Ahh lo nggak asik,” celetuk Vito. “Lagian kayaknya pelakunya satu orang. Korbannya juga punya kesamaan. Pertama, mereka dikabarkan tewas pada malam hari. Kedua, jasad mereka sama-sama ada luka sayatan. Cari aja satu orang yang berhubungan dengan Kristian ataupun Tiara.” Dika memandang Vito menunggu tanggapannya. “Eh bener juga,” ucapnya tampak berfikir. “Mungkin aja Rehan! mantannya Tiara. Mungkin Rehan kesel sama Tiara, gara-gara Tiara lebih cepet move on-nya. Mereka putus juga belum lama baru tiga hari, ehh Tiara udah punya pacar baru. Mereka putus juga katanya karena Tiara selingkuh,” tungkas Vito menggebu-gebu.
Dika menghembuskan nafas, menatap jengah Vito. Vito merespon dengan menaikkan alis seolah berkata ‘gue salah?’ Pada Dika. “Vito, Lo cocok jadi admin Lambe Turah.” Dika lalu melanjutkan membaca komik, untuk kesekian kalinya. “Ck, nih bocah.” Vito berdecak kesal.
Dika menyandarkan punggungnya, beberapa hari ini tubuhnya terasa lebih lelah. Padahal Dika yakin tidak melakukan pekerjaan berat. Pikiran Dika bercabang, tidak lagi 100% fokus pada komik yang Dika baca. ‘Tiara dan Kristian yah?’ Dika seperti teringat sesuatu. Tapi… apa?
—
Pihak kepolisian beberapa hari ini gencar mencari barang bukti dari tempat kejadian, rumah korban dan tersangkapun tidak luput dari penyelidikkan. Seluruh teman kelas dan teman akrab Kristian dan Tiara juga diinterogasi. Kabarnya polisi sudah menemukan barang bukti berupa remukan surat di Apartement Kristian yang diduga pancingan untuk Kristian dan sobekkan kain berbahan kulit berwarna hitam di kamar Tiara.
Pihak sekolah hanya bisa berharap tidak ada lagi kasus pembunuhan di SMA Candra Bakti, terutama dalam waktu dekat. Beberapa orangtua siswa sudah ada yang memindahkan anaknya dari SMA Candra Bakti, karena khawatir akan keselamatan anaknya. Siswa diharapkan terus waspada, dan melapor sesuatu yang mencurigakan.
Sekarang Dika sedang di dalam perpustakaan. Pak Rahmat berinisiatif mengajak Siswa kelas XI IPS 2 belajar di perpustakaan sekolah. Lima menit lagi jam pelajaran Bahasa Indonesia akan habis dan dilanjutkan jam istirahat.
Terdengar bel tanda masuknya jam istirahat berbunyi. Seluruh teman kelas Dika membereskan alat tulisnya dan mulai beranjak keluar kelas, setelah pelajaran ditutup oleh pak Rahmat.
Vito tampaknya sudah pergi lebih dulu ke kantin sekolah. Dika menghela nafas, tubuhnya masih sedikit lelah. Dika berjalan gontai menuju pintu keluar.
“Nak!” Dika kenal suara itu, suara Pak Rahmat. Dikapun membalikkan badan dan memperhatikan sekitar perpustakaan, tinggal Dika yang tersisa di ruangan ini. Dika mengahampiri pak Rahmat yang masih di salah satu meja. “Iya, Pak?” tanya Dika singkat. “Tolong kamu hantarkan kertas-kertas ini ke meja saya. Saya masih harus bertemu Pak Erlan, penjaga perpustakaan.” Pak Rahmat menunjuk tumpukkan kertas di atas meja. Dika mengangguk singkat lalu mengambil kertas-kertas itu. berjalan sembari kedua tangannya memeluk kertas-kertas berisi puisi yang mereka buat tadi. Ramai.
Dika melihat di depan ruang kepala sekolah ada sepasang suami istri dan Pak Adi, Kepala Sekolahnya. Dika masih harus melewati mereka untuk sampai ke ruang guru. Ruangan guru tempat meja Pak Rahmat dan Guru lainnya berada di dekat ruangan Kepala sekolah.
Saat Dika melewati depan ruang kepala sekolah ada suara yang membuat Dika terhenti, “Dika, kan?! kamu Dika yang waktu itu hampir mendorong anak saya ke sungai, kan! Yang waktu kalian camping saat SMP? Jawab saya?! Pa, Mama tau siapa pembunuh Tiara! Mama yakin pembunuh Tiara itu Dika. Mama yakin Pah,” ujar wanita itu yang terlihat panik dan berusaha meyakinkan suaminya.
Setelah menatap Dika sinis. Dika menatap wanita paruh baya itu bingung. Ibu itu terus meracau dengan suara bergetar menahan tangis sembari menggoyangkan lengan suaminya. Lalu Dika melihat ke arah pria paruh baya yang mungkin adalah Ayah Tiara. Matanya menatap Dika Tajam dengan alis terangkat.
“Nak, benar yang dikatakan Ibu Mira?” tanya Pak Adi meminta jawaban. Tampak Ayahnya Tiara berusaha menenangkan istrinya. “Maaf, saya memang Dika dan mengenal Tiara karena kami satu kelas. Tapi saya tidak merasa pernah mendorong Tiara ataupun mencelakainya. Bahkan saya sangat jarang saling menyapa dengan Tiara,” jawab Dika masih dalam keadaan bingung. Memang Dika jarang berinteraksi dengan Tiara ataupun Kristian. Bahkan dalam tugas berkelompokpun Mereka jarang bertegur sapa.
“Iya Pak, Ibu. Dika ini sepertinya tidak pernah terdengar sebagai pembuat onar di sekolah ini. Saya juga jarang mendengar namanya dipanggil guru Bimbingan Konserling,” ucap Pak Adi membela Dika.
“Ma, tenang jangan asal tuduh begitu,” ujar pria itu. “Maafkan istri saya Dika. Istri saya cukup kalut dengan apa yang menimpa Tiara.” Sambungnya, masih dengan upaya menenangkan istrinya. Dika hanya mengangguk meresponnya. “Ya sudah, Dika lanjutkan saja kegiatanmu. Bu, Pak mari ke ruangan saya,” ucap Pak Adi yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka. Wanita paruh baya itu melihat Dika sekali lagi, lalu mereka masuk kedalam ruangan Pak Adi.
Dikapun melanjutkan langkahnya memasukki ruang ruang guru dan meletakkan kertas-kertas tadi di meja paling depan, meja pak Rahmat. Kejadian tadi cukup mengagetkan Dika, memang Dika tidak terlalu mengenal Tiara. Tapi mengapa Ibu Tiara mengetahui nama Dika?
Tak jauh dari kejadian itu ada siswa laki-laki berseragam sekolah yang melihat kejadian itu. “Maafin gue, sepertinya ini harus segera berakhir,” ujar laki-laki itu.
Cerpen Karangan: Annisaa Syafriani Blog / Facebook: Annisaa Syafriani