Dika merebahkan diri ke kasur single. Sekarang Dika sedang berada di kamar yang ada di apartementnya sambil memandang ke langit-langit kamar. Dika memang tinggal sendiri, orangtuanya sudah meninggal 1 tahun yang lalu karena kecelakaan mobil tunggal dan Dika tidak terlalu dekat dengan keluarganya. Dika hanya menerima uang setiap bulannya dari perusahaan peninggalan Ayahnya yang diurus adik Ayahnya.
Mata Dika menatap jaket kulit hitamnya yang tergantung di dekat lemari. Dika lebih menyukai jaket kulit dibandingkan jaket lainnya, entahlah mengapa. Dika bangkit dan meraih jaket itu memeriksa saku jaket, sepertinya Dika mempunyai permen. Yah, Dika menghindari merokok dan menggantinya dengan mengonsumsi permen.
Saat Dika merogoh saku, matanya melihat sisi depan bagian kiri jaket. Ada robekkan cukup besar, sehingga terlihat lapisan kain di dalamnya. Dahinya mengernyit bingung. ‘Mengapa ada robekkan?’ Tapi Dika mengacuhkan itu, lalu mengambil permen tadi dan membukanya.
Pikiran Dika terlempar pada kejadian di sekolah tadi. Dika bingung dari mana orangtua Tiara mengetahui namanya. Ada satu kemungkinan, Dika menghembuskan nafas. ‘Apakah dia kembali?’ Kepala Dika berdenyut hebat memikirkannya. Dikapun memutuskan untuk tidur berharap sakit kepalanya akan berkurang.
—
“Dik, dari mana?” tanya Vito santai saat Dika baru menduduki bangkunya sembari meletakkan tasnya kasar. Kelas sudah sangat ramai. “Ada urusan tadi,” jawab Dika pendek. Vito menaikkan alis.
Dika terlihat berbeda hari ini. Pakaiannya juga tampak berantakkan dengan kantung di bawah mata. Namun Vito mengangkat bahu acuh. Saat Dika mengambil sebatang rokok di saku bajunya.
“Dika? Sejak kapan lo merokok? Ini sekolah woy! Lo aneh banget hari ini. Berantakkan tau nggak,” ujar Vito bingung. Dika tersenyum miring mendengarnya, “berantakkan? Heh! Apa peduli lo?” tanya Dika dengan nada menantang. Saat Vito hendak menjawab, tiba-tiba Anita, salah satu teman perempuan sekelas Dika menghampiri mereka. “Dika, Pak Adi manggil. Lo disuruh ke ruangannya sekarang.” Anita meninggalkan Dika dengan kebingungan. Dika memandang Vito yang tak lagi memandang ke arah Dika, Vito sedang sibuk atau berusaha untuk sibuk dengan mengobrak abrik tasnya sendiri.
Beranjak dari tempat duduk, Dika berjalan menuju ruang kepala sekolah. Ini cukup jarang terjadi pada Dika atau siswa lainnya. Biasanya Pak Adi jarang turun langsung dalam menghadapi siswanya. Kecuali, ada masalah serius.
“Permisi!” Dika memasuki ruangan kepala sekolah.
Tampak Pak Adi duduk di sofa dengan suami istri yang tak bukan adalah orangtua Tiara duduk di sofa sebelah kanannya dan disana ada dua orang berjaket kulit di hadapan dua orangtua Tiara. Semua orang menatap ke arah Dika. Terlihat Ayah Tiara menenangkan istrinya.
“Silahkan duduk Dika,” ujar Pak Adi. Dika duduk di sofa single bersebrangan dengan Pak Adi. “Dika ada yang mau bapak-bapak dari kepolisian ini bicarakan. Silahkan bapak-bapak bicara,” ujar pak Adi mempersilahkan.
Dika melirik Orangtua Tiara yang turut menyimak. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah kedua Pria berjaket hitam.
“Saya dan rekan saya ini dari tim penyidik kepolisian yang menangani kasus pembunuhan di SMA Candra Bakti. Kami mendapat surat izin penangkapan untuk menahan Nak Dika,” ujar pria yang berjaket kulit sembari menyerahkan selampir kertas yang diambil dari saku jaketnya pada Dika. Dika menerima dan membaca sekilas kertas itu.
“Dan juga kami mendapat laporan dari seseorang mengenai Anda. Bahwa Anda adalah tersangka dalam kejadian yang menimpa Korban Saudari Tiara dan juga saudara Kristian. Sebelumnya kami sudah memeriksa Apartemen Anda, dan kami menemukan barang bukti jaket kulit dan buku serta kertas, yang sama dengan barang bukti yang ditemukan di rumah korban. Untuk informasi lebih lanjut bisa dibicarakan di kantor kepolisian,” jelas pria yang berada di sebelah pria yang menyerahkan kertas tadi.
Dika tidak tampak terkejut dia hanya tersenyum kecil, sepertinya dia harus menjeda niatnya lagi.
“Mari Saudara Dika ikut kami ke kantor. Kami permisi pak Adi, bu Mira dan pak Surya.” Pamit pria yang diduga adalah polisi.
Dika digiring keluar ruangan pak Adi menuju mobil yang akan membawanya ke kantor Polisi bersama orangtua Tiara dan pak Adi. Saat hendak keluar Dika melihat Vito berpapasan dengannya di depan Ruangan pak Adi. Dika menahan tangan polisi di sebelah kanannya. Terlihat beberapa orang yang melintas sempat memperhatikan Dika.
“Saya ingin bicara dengan teman saya sebentar,” ujar Dika pelan.
Setelah diizinkan Dika berjalan menghampiri Vito yang berdiri tak jauh darinya, “gue salah,” Dika menyeringai. “Seharusnya gue matiin lo lebih dulu!” tungkas Dika menatap tajam Vito yang berada tepat di depannya. “Berhenti, Dik! Ini nggak bakal ngerubah apapun,” Vito balas menatap Dika prihatin, “atau ini Alex, kepribadian lo yang lain?” tanya Vito pelan yang cukup hanya didengar oleh Dika atau kepribadian lainnya Dika, Alex.
Iya, Dika memang memiliki kepribadian ganda yang bernama Alex. Alex selama ini tersembunyi dan kini sudah kembali. Berbeda dengan Dika yang lebih pendiam, sifat Alex lebih berandal dan berjiwa pemberontak. Kepribadian ganda yang dialami Dika berawal sejak SMP, karena pembullyan yang membuatnya trauma psikis. Hanya beberapa orang yang mengetahui bahwa Dika berkepribadian ganda, termasuk Vito.
“Iya! gue bukan Dika sialan itu, gue Alex. Berhenti nasihatin gue dan berhenti natap gue dengan pandangan itu! Lo kan yang ngelapor gue ke polisi?” tanya Alex Tajam. “Sudah gue duga, dan pasti elo juga yang ngebunuh Tiara dan Kristian kan?” tanya Vito dengan nada menuduh. “Bukan urusan lo! Lagian juga ini setimpal dengan yang dilakuin kalian ke gue dulu. Gue bahkan jadi berkepribadian ganda gini karena kalian! gue bahkan dianggap gila sama orangtua gue sendiri! Sampai gue nggak pernah lagi dapat perhatian dari mereka, bahkan sampai mereka meninggal,” jelas Alex tungkas sembari menatap tajam Vito.
“Ini udah selesai lama Lex, gue kira kita bisa temenan dan lo bakal ngelupain itu,” ujar Vito putus asa. Alex menyeringai, “ini belum selesai Vito dan nggak akan pernah semudah itu untuk selesai, gue ingetin lagi sama lo, gue bukan Dika.” Tekan Alex menyeringai.
“Mari, kita harus segera ke kantor polisi sekarang,” sela pria berjaket kulit yang sedari tadi memperhatikan Mereka.
Setelah itu mereka berjalan menuju mobil sedan hitam yang terpakir tak jauh dari ruang Pak Adi, diikuti kedua orang tua Tiara. Lalu meninggalkan SMA Candra Bakti. Dan meninggalkan Vito dengan wajah datar.
—
“Dasar cupu! Beraninya sama cewek, Untung kemarin Tiara nggak Hanyut ataupun mati!” ujar laki-laki yang berseragam putih biru. Sembari menendang keras seorang laki-laki sebayanya yang telah meringkuk di lantai.
“Lanjut aja, Kris! Biar nggak berani lagi nih bocah. Belagu!” umpat seorang laki-laki yang menyender di dinding gudang di sebelahnya.
“Vito nggak usah ngomporin. Kristian udah deh! Tuh anak nanti bisa mati udah babak belur juga. Kalo mati Berabe deh urusannya. Nih cupu juga nyusahin aja! Udah kita pulang aja kalo si cupu ini sok belagu kita kasih pelajaran lagi,” ujar perempuan bername tag ‘Tiara Saputri’.
Tiara menarik tangan pria yang dipanggil kristian itu pergi meninggalkan laki-laki yang meringkuk dan meringis kesakitan. Pria yang dipanggil Vito menyeringai sebelum menyusul Tiara dan Kristian.
“A-aku ba-bakalan bal-ba-lass kalian!” umpat laki-laki itu disela ringisannya.
—
Beberapa tahun kemudian…
Seorang pria dewasa sedang berdiri di atas gedung berlantai 5 dan melihat hilir mudik jalan raya di depannya, ia mengulas senyum miring. Sudah lama Pria itu tak melihat kesibukkan seperti ini. Tapi dia tak ada waktu lama untuk menikmati ini. Ada yang harus dituntaskan. Tidak peduli apapun resikonya nanti.
“Tiara tewas setelah aku membawanya paksa dari kamarnya. Aku melukainya, lalu memaksanya terjun dari atas gedung sekolah. Sedangkan Kristian aku bunuh dengan sayatan disekujur tubuh di Toilet sekolah, Setelah surat yang kukirim untuknya. Dan apa lagi berikutnya? Haruskah aku tabrak dengan truk tikus yang satu lagi? Atau memenggal kepalanya?” pria itu tertawa geli memikirkannya.
“Ahh sebaiknya aku jangan lagi memakai jaket kulit sialan itu. Kali ini tak akan aku biarkan Si kepribadianku, Dika sialan itu menggagalkan rencanaku,” ujar pria itu terkekeh pelan.
Ia mengambil sebatang rokok dan pemantik dari saku jaket jeansnya, pria itu menghidupkan rokok dan menyesapnya.
“Lo, target berikutnya Vito.” Gumamnya pelan menatap seorang pria berambut kriting yang sedang keluar dari gedung di seberang jalan.
Cerpen Karangan: Annisaa Syafriani Blog / Facebook: Annisaa Syafriani