Peristiwa aneh pernah menimpaku ketika aku tak sengaja mengingat tiga kejadian di masa depan, ya, DI MASA DEPAN. Dulu saat usiaku sembilan tahun, tepat di hari ke dua puluh di Bulan Ramadhan, aku terjatuh dari ketinggian yang membuatku tak sadarkan diri dan hilang ingatan sementara. Bukan jatuh dari pesawat atau gedung tinggi, tetapi dari pohon jambu yang tak lebih dari 7 meter tingginya. Saat ingatanku pulih kembali dalam jangka tiga hari, aku mengingat tiga peristiwa yang tidak pernah kualami sama sekali. Justru, peristiwa dalam ingatan itu terjadi ketika aku sudah berusia dua puluh tahun kemudian.
Biar kuceritakan. Sore hari menjelang satu jam menuju waktu berbuka, aku dan temanku naik ke sebuah pohon cermai yang kebetulan sedang berbuah lebat. Kala usiaku saat itu, aku memang hobi memanjat pohon. Bahkan tak jarang di hari biasa bukan Bulan Ramadhan, aku membawa jajananku ke atas pohon dan memakannya di atas sana.
Karena sudah semakin sore, orangtuaku menyuruhku untuk turun, namun tak kuhiraukan. Sementara temanku sudah turun dan pulang. Gemas dan khawatir karena aku belum juga turun, aku sampai diingatkan oleh kakek buyutku. Omong-omong pria tua bangka itu seorang kiai setengah dukun. Atau dukun berkedok kiai? Ah, tidak tahu. Intinya dia menyuruhku turun, namun dari ucapannya terdengar seperti menyumpahiku.
“Turun sia, cilaka siah ku sanékala. Labuh, modar ngké. Turun haburu!” (turun kau, celaka gara-gara senja, loh. Jatuh nanti mati. Cepat turun!) Kakek buyutku itu berteriak di balik pintu rumah reotnya.
Kali ini aku mendengar dan memutuskan untuk turun dari pohon cermai tersebut. Hanya saja, aku tak pulang ke rumah, tetapi kembali naik ke atas pohon yang berbeda. Ke sebuah pohon jambu yang tumbuh di bagian ujung bawah (bagian kaki) kuburan nenek buyutku, istrinya si kakek dukun tadi. Kebetulan, sepupu laki-lakiku sedang di atas pohon juga. Jadi, bisa dikatakan anak-anak lain juga suka sekali memanjat pohon.
Ah, iya, aku ingat saat akan menaiki pohon jambu itu aku membawa sebuah mainan dari lilin berwarna merah yang kubentuk bulat seperti buah apel. Kemudian aku pamerkan mainan itu ke sepupu laki-lakiku yang sudah berada di atas lebih lama tengah bermain dengan ponsel Nokia kuno dengan earphone menyumbat telinganya. Seperti yang bisa ditebak, dia tak mendengarku, lantas tanpa babibu lagi, aku langsung memanjat pohon itu, otomatis menginjak kuburan bagian bawah almarhum buyutku.
Saat di atas, beberapa menit aku menikmati keberadaanku, melihat pemandangan dari atas, merasakan angin sore berembus, suara gemeresik daun yang tertiup udara, namun karena lama kelamaan aku merasa bosan, aku ingat ketika itu dua tanganku meraih sebuah dahan sangat kecil, berniat menggelantung sambil berayun dan … GEDEBUK! Aku tidak ingat apa pun setelah itu.
Tiba-tiba saja aku terbangun di ranjang dengan luka di punggung dan di kepala bagian samping kiri, dan ternyata itu sudah hari ke dua puluh satu Bulan Ramadhan. Pikiranku benar-benar kacau saat itu, orang-orang banyak yang katanya menjenguk, tetapi aku tidak merasa sakit. Kakakku memberikan obat luar berupa salep untuk ia gunakan di punggungku, katanya banyak luka di sana, sungguh aku tidak merasa sakit sama sekali.
Dua hari berlalu, orang-orang kembali membicarakanku. Ibuku, dia merasa geram dengan pohon jambu itu yang ia anggap menjadi penyebab aku kecelakaan, karena itu ia menebang pohon tersebut sehari setelah aku jatuh. Mereka menceritakan semua padaku. Mereka bilang aku jatuh tepat di atas kuburan nenek buyutku, kepalaku hampir saja menimpa sebuah batu besar penanda makam, namun mujur, masih meleset dan hanya menimpa batu kerikil dan tanah kuburan yang keras, tetapi luka-lukanya tidak boleh disepelekan.
Aku diberitahu bahwa keadaan sangat ricuh sesaat setelah aku ditemukan jatuh. Kakakku berteriak-teriak meminta tolong sembari memangku tubuhku yang terkulai tak sadarkan diri, ibuku kelimpungan menangis mengira aku … ya tuhan, dia mengira aku mati. Orang-orang berdatangan penasaran siapa anak kecil yang katanya jatuh dari pohon jambu di waktu hendak berbuka puasa. Orang yang biasa menabuh beduk pertanda buka puasa, ia malah ikut mengerumuniku dan melewatkan waktu berbuka tanpa menabuh beduk, akhirnya orang-orang heran kenapa waktu berbuka hari ini terasa lama. Salahkan si penabuh beduk itu.
Mereka juga bilang bahwa aku di bawa ke kakek buyutku yang sebelumnya menyumpahiku. Kakek dukun itu menjampi-jampi dan menyemburkan air dari mulutnya tepat di wajahku. Iyuhh! katanya aku celaka karena ulah jin yang iseng di sore hari menjelang malam atau sanékala.
Kata mereka pula, aku sempat sadar, namun demi apa pun aku tidak ingat. Dan, katanya karena jampi-jampi kakek buyutku tidak mujarab akhirnya aku dibawa ke klinik dan luka tak terlalu besar di kepalaku dijahit di sana. Kakak dan pamanku yang membawaku dengan sepeda motor.
Tiga hari berlalu di mana ingatanku mulai pulih. Saat keadaan kembali normal aku mulai berpuasa kembali karena merasa sudah sehat. Perlahan aku mengingat mengapa aku sampai jatuh, aku ingat mainan dari lilin berwarna merah itu, aku juga ingat aku sempat sadar ketika orang-orang mengerumuniku dan aku memanggil ibuku dengan lirih, aku ingat ketika di pelukan kakakku saat di motor mataku terbuka dan melihat pemandangan kabur malam hari dengan lampu-lampu di jalan raya dan suara deru kendaraan, saat aku di klinik sedang ditangani seorang dokter, aku ingat semuanya.
Aku jadi banyak melamun setelah itu. Hingga suatu pagi setelah mandi, aku kembali mengingat sesuatu. Aku ingat pernah melihat bangkai mayat perempuan berbadan gemuk mengambang di rawa. Tubuhnya semakin besar karena membengkak di air, dan, aku ingat aku turun ke rawa dan mencium bau busuk dari bangkai tersebut, bahkan aku ingat beberapa belatung dari bangkai itu menggerayangi betisku. Rasanya geli.
Beberapa hari kemudian, saat berbuka puasa, dua hari menjelang lebaran, di kepalaku teringat sesuatu, aku berjalan di atas tumpukan mayat dengan kaki telanjang. Aku dapat merasakan kakiku menginjak tulang belulang dan daging manusia yang sudah menghitam. Jumlahnya banyak, benar-benar sebuah tumpukan mayat.
Terakhir, aku teringat di mana aku memasuki sebuah gua yang dialiri sungai. Gua itu gelap, dingin dan senyap. Aku melihat cipratan darah di beberapa batu sungai yang kulewati, serta sebagian air sungai yang mengalir berwarna merah berbau anyir. Hanya dalam ingatan itu aku tidak sendirian, seorang pria yang tak kukenali wajahnya mengatakan padaku bahwa seorang anak kecil telah terbunuh di gua tersebut.
Aku ragu, sempat bertanya pada diri sendiri, apa benar peristiwa dalam ingatan itu benar-benar pernah aku saksikan selama aku hidup? Dan, kapan tepatnya?
Waktu itu aku terlalu kecil untuk memahami semua itu, jadi aku tidak menganggap hal itu serius. Aku pikir itu hanya mimpi buruk di malam hari. Tidak kuceritakan kepada siapa pun. Aku beraktivitas seperti biasa, bermain, sekolah, tetapi untuk beberapa waktu aku tidak mencoba memanjat pohon lagi. Masih ada sedikit rasa trauma ketika melihat pohon tinggi.
Sebelas tahun berlalu, tepatnya saat aku menginjak usia kepala dua. Kejadian terjatuh dari pohon jambu itu selalu terbayang hingga aku dewasa. Aku berusaha melupakannya karena menurutku itu peristiwa yang memalukan, tetapi ingatannya malah semakin jelas. Di usia sepuluh sampai tiga belas tahun tak jarang teman-teman mengejekku karena kejadian itu. Memanggilku si bocah degil yang jatuh dari pohon menimpa kuburan. Menyebalkan.
Dan, terkait ingatan-ingatan janggal itu, aku justru dihadapkan dengan situasi yang berat selama menjalani tahun itu.
Yang pertama, ketika itu aku tengah pulang dari tempat kerjaku di sebuah toko pakaian, aku pulang dengan angkutan umum hanya sampai gapura perbatasan kampung, selebihnya berjalan kaki cukup jauh hingga sampai ke rumah. Hari sudah hampir gelap, dan lampu jalan hanya beberapa yang sudah menyala. Ketika sedang menyusuri jalan menuju rumah, aku melihat kerumunan orang di pinggir danau.
Meskipun harus segera pulang, tetapi aku penasaran apa gerangan terjadi di sana. Akhirnya, aku menghampiri dan menyelusup di antara kerumunan tersebut hingga terlihat garis polisi di pinggiran danau yang menghentikan langkahku. Terdengar dari riuh orang-orang membicarakan sesuatu di ujung danau, tetapi tidak jelas.
Terlihat beberapa orang dengan pelampung oranye turun ke danau. Aku belum mengetahui hendak apa mereka sampai mencemplungkan diri ke danau. Setelah beberapa saat akhirnya mereka menarik sesuatu di balik rimbunan tanaman rambat yang ada di ujung danau. Alangkah terkejutnya aku saat beberapa orang pria itu menarik mayat seorang perempuan ke permukaan.
Tidak, tidak mungkin. Mataku terbelalak dan tak berkedip melihat mayat itu. Mayat yang sama yang aku ingat setelah peristiwa terjatuh dari pohon jambu dulu. Perempuan berbadan besar, tubuh sudah membengkak, hanya saja bukan digerayangi belatung, melainkan ikan-ikan kecil yang memakan bangkai perempuan tersebut. Aku tidak tahu apakah dia warga kampung sini atau bukan. Dilihat dari kondisinya seperti sudah berhari-hari berada di air. Satu bola matanya sudah hilang, entah hanyut di air atau ditelan ikan yang lebih besar. Perutku terasa mual saat itu dan aku memutuskan untuk segera pulang.
Beberapa hari setelah penemuan mayat perempuan itu, diketahui dari keterangan polisi bahwa wanita itu memang bukan warga kampung ini karena tidak ada laporan orang hilang sejauh ini. Identitasnya sulit diketahui karena wajahnya sudah hancur, namun setelah dilakukan autopsi, perempuan malang itu mengalami luka akibat benturan benda tumpul yang terlihat dari retakkan tulang bahunya, tulang lehernya dinyatakan mengalami patah diduga akibat pukulan juga.
Aku tak berbicara pada siapa pun tentang apa yang telah kualami. Aku yakin mereka akan sulit untuk percaya. Di sisi lain, sesuatu seolah menghalangiku untuk membicarakan tentang ingatan-ingatan itu pada orang lain.
Cerpen Karangan: Rifdatur Rusdah Blog / Facebook: Yusri Rifda Si pengen jadi penulis tapi males nulis.